“Saya telah mengirim Anda hadiah batu mulia amoer, wewangian, kamper. Terimalah dan jadikan aku sebagai saudara dalam Islam.”
Surat tersebut terjadi pada tahun ke 99 H, atau 717-718 M. Lebih dalam lagi Fatimi meyakinkan kita bahwa surat yang ditulis oleh Umar bin Abdul Aziz tidak saja mengajak masuk Islam. Namun, khalifah menginginkan mereka juga memberikan kesetiaan kepada Khilafah Bani Umayyah.
Mereka harus mempertahankan wilayah mereka masing-masing, dan juga hak-hak mereka dijamin sama dengan hak kaum Muslimin. Dan yang terpenting adalah keterikatan mereka dengan kewajiban atau konsekuensi yang diberikan Khalifah ‘Umar kepada mereka. Raja-raja menyepakatinya, bahkan cenderung tunduk, status mereka yang berubah menjadi Muslim menjadi sebuah keharusan mengubah nama dengan nama Islam.
Ia membuktikan keabsahan surat tersebut dengan melihat kondisi yang terjadi di Nusantara pada masa itu. Tepatnya, kekuasaan Sriwijaya menjadi salah satu kerajaan terbesar tidak hanya di Nusantara saja, tetapi di Semenanjung Malaya. Dan sangat mungkin melakukan hubungan dengan negara-negara lain di luar wilayah Sriwijaya. Yakni, korespondensi dengan Khilafah Bani Umayyah.
Bahkan, kebenaran surat dari Khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz dikuatkan dengan laporan dari China, bahwa Sriwijaya mengirim Zanji yang berarti seorang budak. Dalam pandangan Fatimi hal tersebut adalah bukti nyata adanya relasi Sriwijaya dengan orang Arab.
Bukti China tersebut menurutnya juga menyebutkan nama Raja dari Kerajaan Sriwijaya, yaitu She-li-pa-mo (Srindavarman). Walhasil, Islam benar telah diterima oleh Raja al-Hind, yang disini Sriwijayalah yang dimaksudkan.
Poin penting yang Fatimi tunjukkan kepada khalayak umum adalah surat dakwah khalifah ‘Umar bin Abdul Aziz menunjukkan besar dan kuatnya keinginan politik Umat Islam pada saat itu. Jelas, kajian Fatimi telah membangkitkan minat ilmuan Muslim khususnya Asia Tenggara. Berharap, besarnya minat untuk menggali sejarah Islam lebih dalam, dan khususnya di Kawasan Timur. (rol)