اِذَا سَمِعْتُمْ النِّدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ مَا يَقُوْلُ الْمُؤَذِّنُ رواه البخارى و مسلم
“Ketika kalian semua mendengar panggilan (shalat) maka ucapkanlah kalimat yang serupa sebagaimana diucapkan oleh orang yang adzan.” (HR. Imam Baukhari dan Muslim).
Artinya bahwa menjawab azan juga merupakan kesunnahan, bahkan Nabi Muhammad sendiri memerintahkannya. Oleh karenanya ketika sedang berzikir disunnahkan berhenti sejenak dan menjaawab azan baru kemudian kembali berzikir.
Kelima, pada poin ini terkait dengan hubungan sesama makhluk. Islam mengajarkan agar memiliki akhlak yang baik secara vertikal begitupun secara hrisontal. Dengan demikian segala kemungkaran, yang bisa membahayakan harus sesegera mungkin dicegah atau bahkan dihilangkan. Begitupun menebar kebaikan, sebaiknya secepatnya ditunaikan, apalagi benar-benar dibutuhkan oleh orang banyak. Sehingga, tak masalah berhenti berzikir sejenak demi mencegah kemungkaran dan menebar kebaikan, baru kemudian kembali berzikir. Karena pada hakikatnya mencegah kemungkaran dan menebar kebaikan adalah bagian dari zikir.
Keenam, dalam kondisi yang sangat mengantuk. Kitab At-Tibyan (hlm. 94) menjelaskan tentang kemakruhan membaca Alquran dalam keadaan sangat mengantuk. Hal ini dapat tarik pemahaman dari ayat:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَقْرَبُوا الصَّلاةَ وَأَنْتُمْ سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُولُونَ (٤٣)
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan…” (QS AN-Nisa[4]: 43).
Jika seseorang membaca Alquran ataupun zikir lain dalam kondisi sangat mengantuk dikhawatirkan apa yang diucapkan tidak sesuai dengan lafal yang benar dikarenakan kesadarannya tidak sempurna. (okz)
Demikianlah penjelasan Dosen Fakultas Agama Islam UNU Surakarta, Jaenuri, sebagaimana dikutip dari laman resmi Nahdatul Ulama (NU) pada Senin (13/1/2020).