لِلذَّاكِرِ يُسْتَحَبُّ لَهُ قَطْعُ الذِّكْرِ بِسَبَبِهَا (الْاَحْوَالِ) ثُمَّ يَعُوْدُ اِلَيْهِ بَعْدَ زَوَالِهَا مِنْهَا اِذَاسُلِّمَ عَلَيْهِ رَدَّ السَّلَامَ ثُمَّ عَادَ اِلَى الذِّكْرِ وَكَذَا اِذَا عَطَسَ عِنْدَهُ عَاطِسٌ شَمَّتَهُ ثُمَّ عَادَ اِلَى الذِّكْرِ وَكَذَا اِذَا سَمِعَ الْخَطِيْبَ ثُمَّ عَادَ إِلَى الذِّكْرِ وَكَذَا إِذَا سَمِعَ الْمُؤَذِّنَ أَجَابَهُ فِيْ كَلِمَاتِ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ ثُمَّ عَادَ إِلَى الذِّكْرِ وَكَذَا إِذَا رَأَى مُنْكَرًا أَزَالَهُ اَوْمَعْرُوْفًا اَرْشَدَ اِلَيْهِ اَوْ مُسْتَرْشِدًا اَجَابَهُ ثُمَّ عَادَ اِلَى الذِّكْرِ وَكَذَا اِذَا غَلَبَهُ النُّعَاسُ اَوْ نَحْوُهُ وَمَااَشْبَهَ هَذَا كُلَّهُ
“Disunnahkan bagi seseorang yang berzikir memutus zikirnya dalam beberapa kondisi, kemudian ia kembali berzikir setelahnya. Pertama, ketika ada yang memberi salam, maka ia wajib menjawab dan setelah itu kembali berzikir. Kedua, ketika ada yang bersin, maka ia mendoakannya, dan setelah itu kembali berzikir. Ketiga, ketika mendengar khatib berkhutbah ia lebih baik mendengarkan, setelah itu kembali berzikir. Keempat, ketika mendengar adzan dan iqamah, maka ia menjawab dengan lafal yang sama, setelah itu kembali berzikir. Kelima, ketika melihat kemungkaran, ia mencegahnya; atau melihat kebaikan, ia menunjukkan kepadanya; atau ada seseorang yang meminta petunjuk, ia memenuhinya, setelah itu kembali berzikir. Keenam, ketika dalam keadaan sangat mengantuk dan sebagainya” (Imam Nawawi, Al-Adzkar, Semarang: Alawiyah, hlm. 13-14).
Imam Nawawi dalam kitabnya menyebutkan ada beberapa kondisi yang dianjurkan untuk memutus lafal zikir dan kemudian mengulanginya. Hal ini tentu berdasarkan alasan-alasan yang menguatkan pendapat tersebut. Zikir merupakan perintah Allah, hal ini menunjukkan bahwa zikir adalah amalan yang baik lagi bermanfaat bagi manusia. Namun demikian, barangkali ada hal lain yang nilai kebaikannya bisa membandingi atau bahkan melebihi dari sekadar berzikir dengan lisan. Sebagaimana penjelasan di atas dapat dianalisa sebagai berikut: