Spudnik menegaskan, Indonesia sebenarnya sudah mandiri benih cabai, baik cabai rawit, cabai keriting dan cabai besar. Bahkan sejauh ini, Indonesia telah memiliki 40 produsen benih cabe di dalam negeri. Indonesia pun, lanjut dia, tidak perlu melakukan impor karena kebutuhan benih cabai dalam negeri telah dipenuhi oleh produsen benih dalam negeri. “Kebutuhan benih cabai nasional dengan luas tanaman kurang lebih 360 ribu hektar, maka setidaknya diperlukan benih sebanyak 72 ribu kg.”
Dia pun memastikan benih yang dibawa oleh ke empat warga China tersebut ilegal karena sama sekali tidak pernah mendapat persetujuan dari Kementerian Pertanian. Adapun prosedur pemasukan benih hortikultura termasuk cabai ke Indonesia, tegas Spudnik, sangat ketat karena tidak hanya harus mendapatkan persetujuan dari menteri pertanian tapi juga terlebih dahulu harus diuji keunggulan varietasnya dan mendapatkan persetujuan dari Badan Karantina untuk memastikan benih yang masuk bebas penyakit.
“Pemasukan cabai ke Indonesia dilakukan hanya untuk menambah kekauaan plasma nutfah, untuk bahan pemuliaan,” katanya.
Spudnik menambahkan, jumlah benih cabai yang dimasukkan dalam satu tahun terakhir ini, tidak lebih dari 3 persen dari kebutuhan benih cabai nasional. Indonesia juga sudah mengekspor benih cabai dalam tiga tahun terakhir dengan rata-rata 4,6 kg/tahun. “Negara tujuan eksport antara lain Thailand, Malaysia, Korea Selatan, dan lainnya,” tambah dia.
Pakar pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof. Hermanto Siregar mengatakan, bakteri Erwinia Chrysanthemi memang sangat berbahaya bagi pertumbuhan tanaman yang berada disekitar tanaman terjangkit bakteri. “Ini bahaya sekali, bisa menggangu produksi cabai kita,” ujar Hermanto.
Wakil Rektor Bidang Sumberdaya dan Kajian Strategis IPB merincikan, bakteri berbahaya itu jika tidak dimusnahkan dapat tersebar dan merusak pertanian sekitar. Biasanya, penyebaran bakteri ini melalui udara maupun serangga yang hinggap di tanaman berbakteri.
Nah, dengan udara dan serangga yang tidak hinggap di satu perkebunan, maka akan berpindah ke perkebunan lain. Alhasil, kebun yang dihinggapi serangga dan terkena angin dari cabai berbakteri, akan rusak.
“Ini akan menyebar pelan-pelan, tidak seperti sakit flu yang cepat menyebar. Tapi ini berbahaya, bisa seluruh Bogor kena, kemudian Cianjur, Sukabumi bisa merata terkena wabah,” rincinya.
Hermanto menduga, bakteri ini adalah senjata biologis untuk menghancurkan ekonomi Indonesia. Tujuannya, untuk menghancurkan pertanian cabai nasional, sehingga pemerintah melakukan impor cabai ke negeri Tiongkok.
“Bisa jadi senjata biologis. Artinya, dia sengaja merusak hortikultura kita. Bisa jadi akal-akalan mereka seperti itu,” terkanya.
Untuk itu, agar tidak berkembang rasa curiga terhadap China, sebaiknya pemerintah segera mengusut peristiwa ini. Apakah pelaku sengaja merusak pertanian Indonesia, atau tidak. “Ini kan kecolongan namanya, harus diusut dari mana dapat bibitnya, modusnya, dan lainnya,” pungkasnya. (kl/rmol)