Dari Maluku, ada yang kemudian mengenalkannya ke Jakarta (dikenal sebagai cecenet), Jepara (sebagai ceplukan), Madura (sebagai nyor-nyoran). Bali (keceplokan atau ciciplukan) dan Lombok (dededes). Dari Jakarta baru diperkenalkan ke Sumatra Timur (sebagai leletop).
Jenis yang mula-mula datang ialah Physalis angulata dan Physalis minima, yang kemudian tumbuh merajalela sebagai gulma di ladang kering, kebun buah-buahan, diantara semak belukar, dan tepi jalan. Bersama dengan itu dimasukkan pula sebagai tanaman hias Physalis peruviana dari daerah pegunungan Peru.
Tiga spesies Ciplukan di Indonesia
Tamanam Ciplukan ini termasuk tanaman keluarga atau family Solanaceae, yaitu keluarga terong-terongan, adalah salah satu suku tumbuhan berbunga. Suku ini memiliki nilai ekonomi cukup tinggi bagi kepentingan manusia.
Beberapa anggota family Solanaceae, seperti kentang, tomat, terong, paprika, berbagai cabai termasuk ciplukan ini, menjadi bagian utama bahan pangan manusia di berbagai belahan dunia. Khusus Ciplukan, di Indonesia terdapat tiga spesies yang tumbuh akibat kolonialisme pada masa lalu, yaitu:
- Physalis angulata
Berumur satu tahun, tegak, tinggi bisa sampai 1 meter. Batang berusuk bersegi tajam dan berongga. Daun berbentuk bundar telur memanjang berujung runcing.
Jenis ini sangat mudah beradaptasi di dataran rendah dan tumbuh merajalela sebagai gulma di ladang dan sawah yang kering, termasuk di kebun buah-buahan, diantara semak belukar, hingga di tepi jalan.
- Physalis minima
Lebih rendah, tegak, tinggi tak sampai 1 meter, berumur satu tahun. Batang berusuk bersegi tajam dan berongga.
Memiliki rambut-rambut kecil yang panjang pada bagian-bagian batang dan daun yang berwarna hijau, sementara pada angulataberambut pendek atau gundul, terdapat tanda V di bawah noda pada leher mahkota tidak begitu jelas.