Eramuslim.com – Pada 15 November 1962, di majalah Gema Islam, Prof DR Hamka (Buya Hamka) mendapat pertanyaan pembaca dari Garut, tentang seorang pemuda yang berzina dengan istri orang lain. Orang itu menanyakan bagaimana caranya menurut Alquran dan hadist pemuda tersebut terlepas dari azab Allah, baik di dunia maupun di akhirat.
Kemudian, pembaca itu juga menanyakan kesediaan Buya Hamka menjalankan hukuman ke atas diri pemuda itu jika dia datang ke Jakarta meminta dijatuhi hukuman. Karena, menurut pembaca itu, sang pemuda terpengaruh dengan keterangan-keterangan tentang dosa zina yang termuat dalam Tafsir Al Azhar karangan Buya Hamka. Sehingga, pemuda itu rela dilakukan rajam atas dirinya, sebagaimana hukum Alquran yang membahas tentang zina di Tafsir Al Azhar.
Mendapat pertanyaan itu, Buya Hamka menjawab bahwa di Republik Indonesia belum berlaku hukum razam bagi orang yang berzina. Dan, pada negara-negara yang 100 persen menjalankan hukum Alquran seperti di Arab Saudi, hukum rajam pun jarang sekali dijalankan.
“Sebab tuduhan zina berkehendak kepada empat saksi,” tulis Buya Hamka.
Menurut Buya Hamka, kalapun hukum rajam berlaku di Indonesia, maka tidaklah dirinya (Buya Hamka), memiliki wewenang untuk menjalankannya. Sebab, itu adalah hak hakim (pengadilan).