Soal alih bahasa, Rasulullah menunjuk beberapa sahabatnya yang lantas disebut sebagai penerjemah (mutarjim). Ada 43 sahabat yang tergabung dalam tim yang biasa mengurusi bidang surat-menyurat pada zaman Rasulullah. Aktivitas dan tradisi berkirim surat pada zaman Rasulullah SAW itu diulas secara khusus dalam kitab bertajuk A’lam as-Sailin an Kutub Sayyid al-Mursalin. Kitab itu ditulis oleh Muhammad Ibnu Thulun ad-Dimasyqi (880-953 H), seorang ulama serbabisa.
Karya yang ditulis oleh tokoh bermazhab Hanafi itu diklaim sebagai kitab pertama yang mencoba menginventarisasi surat-surat Rasulullah secara khusus. Klaim itu barangkali saja benar lantaran tokoh kelahiran Salhia, Damaskus, Suriah, itu memang ilmuwan Muslim pertama yang fokus mengumpulkan risalah-risalah tersebut.
Jumlahnya memang relatif sedikit sebab tidak semua surat yang pernah dikirimkan oleh Rasulullah terekam oleh para sahabat. Dan, hampir keseluruhannya beralih dari generasi satu ke generasi lainnnya melalui cara periwayatan.
Meski begitu, bukan berarti tidak pernah terdapat tokoh atau ulama yang mendokumentasikan surat-surat Rasulullah tersebut sebelumnya. Sejatinya ada. Hanya saja, mereka belum menuangkannya secara khusus ke dalam sebuah karya. Surat-surat itu ditulis berserakan di berbagai kitab sejarah nabi atau buku-buku sejarah.
Ulama-ulama lain, misalnya Ibnu Ishaq (151 H), memuat surat-surat yang dikirim Rasulullah SAW dalam kitabnya bertajuk As-Sirah an-Nabawiyah. Muhammad Ibnu Sa’ad (230 H) juga menuliskannya dalam kitab Ath-Thabaqat al-Kubra. Selain itu, Muhammad Ibnu Sayyid an-Nass al-Yamuri (734 H) menuangkannya dalam kitab ‘Uyun al-Atsar.
Dari dua kitab yang terakhir itulah, ditambah dengan kitab Nashb ar-Riwayah lil Ahadits al-Hidayah karangan az-Zaila’i, Ibnu Thulun banyak menyadur dan menukil surat-surat yang pernah dikirimkan Rasulullah SAW kepada para raja dan kepala suku agar mereka memeluk Islam.