Namun, sebagai organisasi pergerakan, apalagi yang keberpihakannya pada rakyat jelata, tentu sulit berharap banyak pada iuran. Lah, wong rakyat jelata. Jangankan bayar iuran, itu membiayai hidup keluarganya saja sudah sulit.
Bung Hatta punya solusi. Menurutnya, tidak semua anggota organisasi terlibat penuh di aktivis harian organisasi. Ada yang sifatnya pasif: hanya terlibat kalau ada kegiatan penting dari organisasi.
Terhadap anggota organisasi semacam ini, Hatta mengusulkan agar mereka bekerja atau membuat usaha. Nantinya, kelebihan gaji atau hasil usaha mereka bisa disumbangkan ke partai. Jika memang mereka mencintai organisasinya, mendukung perjuangan organisasinya, harusnya dia menyumbang.
“Kalau tidak, kecintaannya itu tidak lebih Platonik, percintaan yang tidak sampai ke dasar,” tulis Hatta.
Hatta menegaskan, kalau sebuah organisasi mau punya semangat yang kuat dan murni, yang teguh-kukuh berlapis baja, maka harus ada pengorbanan dari seluruh anggotanya.
“Di bagian sini berkorban tenaga dan otak untuk mengatur organisasi, di bagian lain kurban yang tidak sedikit, supaya pekerjaan berjalan baik,” kata Hatta.
Tetapi, terkadang iuran organisasi tidak cukup untuk membiayai kehidupan pengurus. Alhasil, pengurus organisasi harus mencari sumber penghidupan yang lain.
Nah, di masa lalu, salah satu jurunya adalah: menulis di koran komersil. Dengan menulis di koran komersil, tentu si penulis akan mendapat honor. Dahulu kala, generasi Sukarno dan Hatta mendapat tambahan uang jajan dari cara ini.
Tetapi ini pun masih jadi perdebatan. Misalnya, ada yang mempersoalkan, bisakah seorang aktivis menulis di koran yang berbeda haluan atau pandangan politik dengan organisasinya?
Hatta menjawab: boleh. Justru itu positif bagi pergerakan. Sebab, menulis di media komersil, yang jangkauan pembacanya lebih luas, justru akan membuat gagasan si penulis bisa ikut meluas ke khalayak umum. Ibarat pepatah: sekali merengkuh dayung, dua-tiga pulau terlampaui. Sekali menulis, propogandanya dapat, honornya juga dapat.
Sukarno kerap melakukan itu. Bahkan, kalau keadaan ekonominya sangat terjepit, dia rela menulis dengan bayaran yang sangat murah. Asalkan bisa mentraktir istrinya atau kawan seperjuangannya dengan kopi dan peuyeum.
Darimana lagi para aktivis zaman dahulu kala itu membiayai hidupnya?
Satu lagi: dari donasi. Dalam perjuangan, selalu ada orang-orang berkecukupan, bahkan pengusaha, yang bersimpati pada perjuangan.
Dalam perjuangan Hatta, ada sosok donator bernama Ayub Rais. Dalam memoirnya, Hatta kerap memanggilnya “Mak Etek”. Ia pengusaha hasil hutan.
Deliar Noer, dalam bukunya Mohammad Hatta, Hati Nurani Bangsa, 1902-1980, menyebut Ayub Rais inilah yang menyokong sebagian besar pendidikan Hatta di Hindia maupun di Belanda. Tak hanya itu, ia juga memberi Hatta uang saku 75 gulden per bulan.
Sementara dalam perjuangan Sukarno, ada sosok Agoes Moesin Dasaad, seorang pengusaha besar di zamannya. Dasaad merupakan donator perjuangan Sukarno.
Dalam bukunya, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Sukarno menceritakan, ketika dirinya baru keluar dari penjara. 31 Desember 1931, Dasaad menjemputnya dan memberinya segepok uang.
“Di pagi hari aku keluar dari penjara sebagai seorang bebas, seorang laki-laki yang belum pernah kulihat sebelumnya, menggenggamkan kepadaku dengan begitu saja uang empat-ratus rupiah, lain tidak karena aku tidak mempunyai uang,” kenang Sukarno.
Sejak itu, kalau Sukarno terjepit, Dasaad kerap membantu. Tak hanya Sukarno, Dasaad juga kerap memberi donasi ke pejuang-pejuang yang lain.
Begitulah, para aktivis di masa lalu, yang notabene para Pendiri Bangsa kita, menjalani hidupnya.(sumber)
Penulis: Mahesa Danu