“Di zaman PNI ini, orang telah mengangkatku sebagai pemimpin, akan tetapi keadaanku masih tetap melarat,” kata Sukarno dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia yang ditulis oleh Cindy Adams.
Tahun 1933, Bung Hatta menulis artikel berjudul “Pemimpin dan Penghidupannya” di koran Daulat Rakyat. Melalui artikel pendek ini, Hatta mau menjawab polemik soal tetap bisa bertahan hidup, tanpa harus bertukar haluan perjuangan.
Dia berpendapat, soal kehidupan aktivis, terutama pemimpin pergerakan, adalah soal prinsipil. Tidak bisa dianggap enteng. Tidak bisa dijawab dengan sekedar bilang, “diurus masing-masing aja.” Sebab, daya tahan seseorang dalam perjuangan kadang ditentukan oleh daya dukung ekonomi.
Menurut Hatta, syarat utama seorang aktivis adalah punya ketetapan hati dan keteguhan iman. Ia menyebutnya conditio sine qua non; keharusan mutlak. Dengan begitu, si aktivis akan tahan sakit dan cobaan. Hanya dengan begitu, seorang aktivis bisa tetap teguh-kukuh berlapis baja, sehingga tidak gampang menukar perjuangannya dengan uang.
Namun, sekeras dan seteguh apa pun semangat juang seseorang, jika diperhadapan dengan kesulitan hidup terus-menerus, pelan-pelan bisa terkikis. Karena itu, bukanlah hal yang haram bagi aktivis untuk mencari penghidupan.
Hanya saja, Hatta mengingatkan lewat pepatah Jerman: “Sikap (perangai) manusia sepadan dengan caranya mendapat makan.” Artinya, mereka yang mencari makan dengan cara yang baik, tidak menipu atau mengorbankan pihak lain, tentu juga punya perangai yang baik. Sebaliknya, mereka yang cari makannya jorok, tentu perilakunya juga jorok.
Nah, bagaimana dengan aktivis?
Di masa lalu, sebagian besar aktivis pergerakan, terutama jajaran pengurusnya, hidup dari iuran organisasi. Ini berlaku pada Sarekat Islam, Partai Komunis Indonesia (PKI), hingga Partai Nasionalis Indonesia (PNI).