Eramuslim.com – Mereka adalah manusia biasa. Tentu saja, mereka butuh makan, minum, tempat tinggal, dan pakaian. Berhak untuk ngopi dan nongkrong. Juga berhak untuk menikmati hiburan maupun liburan.
Di sisi lain, karena hidupnya ditumpahkan di gelanggang pergerakan, entah sebagai aktivis full-timer atau part-timer, mereka berjibaku dengan persoalan biaya hidup.
Saya tak perlu mengumbar jerit-pedih kehidupan aktivis, terutama yang memilih berjuang di jalur persimpangan kiri jalan, nanti artikel ini malah menjadi mimbar curhat. Hehehe..
Singkat cerita, menjadi aktivis memang tidak enak. Bermimpi ideal untuk memperbaiki kehidupan rakyat banyak, tetapi nasib sendiri terkatung-katung di dalam lembah penderitan. Kadang berpuasa, meski belum bulan Puasa (Ramadhan).
Tidak mengherankan, banyak yang menjadi aktivis di kala masih kuliah, ketika biaya hidup masih ditanggung oleh orang tua di kampung halaman. Banyak yang berteriak revolusi, ketika urusan dapur dan susu anak belum memanggil.
Lantas, bagaimana aktivis seharusnya menghidupi dirinya?
Ini sebetulnya cerita lama. Dahulu kala, ketika Sukarno dan Hatta beserta kawan-kawan juga berjuang, persoalan begini sudah muncul ke permukaan. Bahkan berkali-kali tersuarakan lewat artikel di koran.