Peprangan itu dilakukan sebagai perlawanan terhadap pihak VOC Belanda yang dibantu oleh Kesultanan Bone, yang pada saat itu dikuasai oleh satu wangsa (dinasti) Suku Bugis dengan rajanya, Arung Palakka.
Namun sebenarnya Perang Makassar bukanlah perang antar suku, karena pihak Gowa memiliki sekutu dari kalangan Bugis juga. Demikian pula pihak Belanda-Bone memiliki sekutu orang Makassar pula. Perang Makassar adalah perang terbesar yang pernah dilakukan VOC pada abad ke-17.
Pengaruh terhadap warga Australia
Hubungan Makassar dengan penduduk asli Australia masih diingat hingga kini, melalui sejarah lisan, lagu-lagu, tarian dan lukisan-lukisan batu, dan juga melalui perubahan warisan budaya yang diakibatkan oleh hubungan ini.
Makassar menukar barang-barang seperti pakaian, tembakau, pisau, nasi, dan alkohol demi hak untuk menangkap ikan di perairan Aborigin. Mereka juga mempekerjakan penduduk asli.
Beberapa komunitas Yolngu di Arnhem Land mengubah ekonomi mereka dari berbasis darat menjadi berbasis laut, karena masuknya teknologi Makassar seperti kano.
Kapal-kapal yang mampu berlayar itu, tidak seperti kano tradisional, memungkinkan penangkapan dugong dan penyu di laut.
Beberapa pekerja Aborigin menemani orang Makassar kembali ke Sulawesi Selatan. Pijin Makassar menjadi lingua franca di pantai utara dan ini berlangsung tidak hanya antara Makassar dengan penduduk Aborigin, tetapi juga antara suku-suku Aborigin yang berbeda. Selain itu, kemungkinan Makassar telah membawa agama Islam ke Australia.
Kental Budaya Nusantara
Beberapa lafal dari orang Marege hingga hari ini juga masih dapat dibuktikan, misalnya menyebut “rupiah” sebagai kata ganti “uang”, padahal mata uang mereka pada masa kini adalah Dollar Australia. Orang Merege juga menyebut “dinar” untuk koin emas Australia.
Bahkan dahulu sempat ditemukan koin “Gobog Wayang” di desa Marege di kota Darwin, Australia Utara. Padahal koin Gobog merupakan koin resmi Majapahit.