Di dalam buku-buku pelajaran sejarah dan media massa nasional, beberapa tahun sebelum terciptanya perdamaian di Nangroe Aceh Darussalam, kita sering mendengar istilah ‘pemberontakan rakyat Aceh’ atau ‘pemberontakan Aceh’ terhadap Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Sejak zaman kekuasaan Bung Karno hingga presiden-presiden penerusnya, sejumlah ‘kontingen’ pasukan dari berbagai daerah—terutama dari Jawa—dikirim ke Aceh untuk ‘memadamkan’ pemberontakan ini. Kita seakan menerima begitu saja istilah ‘pemberontakan’ yang dilakukan Aceh terhadap NKRI.
Namun tahukah kita bahwa istilah tersebut sesungguhnya bias dan kurang tepat? Karena sesungguhnya—dan ini fakta sejarah—bahwa Naggroe Aceh Darussalam sebenarnya tidak pernah berontak pada NKRI, namun menarik kembali kesepakatannya dengan NKRI. Dua istilah ini, “berontak” dengan “menarik kesepakatan” merupakan dua hal yang sangat berbeda.
Sudah Merdeka Sebelum NKRI Lahir
NKRI secara resmi baru merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Sedangkan Nanggroe Aceh Darussalam sudah berabad-abad sebelumnya merdeka, memiliki hukum kenegaraan (Qanun)nya sendiri, menjalin persahabatan dengan negeri-negeri seberang lautan, dan bahkan pernah menjadi bagian (protektorat) dari Kekhalifahan Islam Tuki Utsmaniyah.
Jadi, bagaimana bisa sebuah negara yang merdeka dan berdaulat sejak abad ke-14 Masehi, bersamaan dengan pudarnya kekuasaan Kerajaan Budha Sriwijaya, dianggap memberontak pada sebuah Negara yang baru merdeka di abad ke -20?
Nanggroe Aceh Darussalam merupakan negara berdaulat yang sama sekali tidak pernah tunduk pada penjajah Barat. Penjajah Belanda pernah dua kali mengirimkan pasukannya dalam jumlah yang amat besar untuk menyerang dan menundukkan Aceh, namun keduanya menemui kegagalan, walau dalam serangan yang terakhir Belanda bisa menduduki pusat-pusat negerinya.
Sejak melawan Portugis hingga VOC Belanda, yang ada di dalam dada rakyat Aceh adalah mempertahankan marwah, harga diri dan martabat, Aceh Darussalam sebagai bangsa yang merdeka dan berdaulat berdasarkan Qanun Meukuta Alam yang bernafaskan Islam.
Saat itu, kita harus akui dengan jujur, tidak ada dalam benak rakyat Aceh soal yang namanya membela Indonesia. Sudah ratusan tahun, berabad-abad Kerajaan Aceh Darussalam berdiri dengan tegak bahkan diakui oleh dunia Timur dan Barat sebagai “Negara” yang merdeka dan berdaulat.
Istilah “Indonesia” sendiri baru saja lahir di abad ke-19. Jika diumpamakan dengan manusia, maka Aceh Darussalam adalah seorang manusia dewasa yang sudah kaya dengan asam-garam kehidupan, kuat, dan mandiri, sedang “Indonesia” masih berupa jabang bayi yang untuk makan sendiri saja belumlah mampu melakukannya.
Banyak literatur sejarah juga lazim menyebut orang Aceh sebagai “Rakyat Aceh”, tapi tidak pernah menyebut hal yang sama untuk suku-suku lainnya di Nusantara. Tidak pernah sejarah menyebut orang Jawa sebagai rakyat Jawa, orang Kalimantan sebagai rakyat Kalimantan, dan sebagainya. Yang ada hanya rakyat Aceh. Karena Aceh sedari dulu memang sebuah bangsa yang sudah merdeka dan berdaulat.
Dipersatukan Oleh Akidah Islamiyah
Kesediaan rakyat Aceh mendukung perjuangan bangsa Indonesia, bahkan dengan penuh keikhlasan menyumbangkan segenap sumber daya manusia dan hartanya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia—lebih dari daerah mana pun di seluruh Nusantara, adalah semata-mata karena rakyat Aceh merasakan ikatan persaudaraan dalam satu akidah dan satu iman dengan rakyat Indonesia yang mayoritas Muslim.
Ukhuwah Islamiyah inilah yang mempersatukan rakyat Aceh dengan bangsa Indonesia. Apalagi Bung Karno dengan berlinang airmata pernah berjanji bahwa untuk Aceh, Republik Indonesia akan menjamin dan memberi kebebasan serta mendukung penuh pelaksanaan syariat Islam di wilayahnya. Sesuatu yang memang menjadi urat nadi bangsa Aceh.
Namun sejarah juga mencatat bahwa belum kering bibir Bung Karno mengucap, janji yang pernah dikatakannya itu dikhianatinya sendiri. Bahkan secara sepihak hak rakyat Aceh untuk mengatur dirinya sendiri dilenyapkan. Aceh disatukan sebagai Provinsi Sumatera Utara. Hal ini jelas amat sangat menyinggung harga diri rakyat Aceh.
Dengan kebijakan ini, pemerintah Jakarta sangat gegabah karena sama sekali tidak memperhitungkan sosio-kultural dan landasan historis rakyat Aceh. Bukannya apa-apa, ratusan tahun lalu ketika masyarakat Aceh sudah sedemikian makmur, ilmu pengetahuan sudah tinggi, dayah dan perpustakaan sudah banyak menyebar seantero wilayah, bahkan sudah banyak orang Aceh yang menguasai bahasa asing lebih dari empat bahasa, di wilayah yang sekarang dikenal sebagai Provinsi Sumatera Utara pada waktu itu, manusia-manusia yang mendiami wilayah itu masih berperadaban purba. Masih banyak suku-suku kanibal, belum mengenal buku, apa lagi baca-tulis. Hanya wilayah pesisir yang sudah berperadaban karena bersinggungan dengan para pedagang dari banyak negeri.
Saat perang mempertahankan kemerdekaan melawan Belanda pun, bantuan dari Aceh berupa logistik dan juga pasukan pun mengalir ke Medan Area. Bahkan ketika arus pengungsian dari wilayah Sumatera Utara masuk ke wilayah Aceh, rakyat Aceh menyambutnya dengan tangan terbuka dan tulus. Jadi jelas, ketika Jakarta malah melebur Aceh menjadi Provinsi Sumatera Utara, rakyat Aceh amat tersinggung.
Tak mengherankan jika rakyat Aceh, dipelopori PUSA dengan Teungku Daud Beureueh, menarik kembali janji kesediaan bergabung dengan Republik Indonesia di tahun 1953 dan lebih memilih untuk bergabung dengan Negara Islam Indonesia (NII) yang lebih dulu diproklamirkan S. M. Kartosuwiryo di Jawa Barat. Ini semata-mata demi kemaslahatan dakwah dan syiar Islam. Dengan logika ini, Aceh bukanlah berontak atau separatis, tapi lebih tepat dengan istilah: menarik kembali kesediaan bergabung dengan republik karena tidak ada manfaatnya.
Pandangan orang kebanyakan bahwa Teungku Muhammad Daud Beureueh dan pengikutnya tidak nasionalis adalah pandangan yang amat keliru dan a-historis. Karena sejarah mencatat dengan tinta emas betapa rakyat Aceh dan Daud Beureueh menyambut kemerdekaan Indonesia dengan gegap-gempita dan sumpah setia, bahkan dengan seluruh sisa-sisa kekuatan yang ada berjibaku mempertahankan kemerdekaan negeri ini menghadapi rongrongan konspirasi Barat.
Cara Pandang ‘Majapahitisme’
Mengatakan Aceh pernah melakukan pemberontakan terhadap NKRI merupakan cara pandang yang berangkat dari paradigma ‘Majapahitisme’. Bukan hal yang perlu ditutup-tutupi bahwa cara pandang Orde Lama maupun Baru selama ini terlalu Majapahitisme’ atau Jawa Sentris, semua dianggap sama dengan kultur Jawa Hindu. Bahkan simbol-simbol negara pun diistilahkan dengan istilah-istilah sansekerta, yang kental pengaruh Hindu dan paganisme yang dalam akidah Islam dianggap sebagai syirik, mempersekutukan Allah SWT dan termasuk dosa yang tidak terampunkan.
Bukankah suatu hal yang amat aneh, suatu negeri mayoritas Islam terbesar dunia tapi simbol negaranya sarat dengan istilah Hindu. Ini merupakan suatu bukti tidak selarasnya aspirasi penguasa dengan rakyatnya. Padahal Islam tidak mengenal, bahkan menentang mistisme atau hal-hal berbau syirik lainnya. Rakyat Aceh sangat paham dan cerdas untuk menilai bahwa hal-hal seperti ini adalah sesuatu yang tidak bisa diterima.
Sosio-kultural raja-raja Jawa sangat kental dengan nuansa Hinduisme. Raja merupakan titisan dewa, suara raja adalah suara dewa. Sebab itu, di Jawa ada istilah “Sabda Pandhita Ratu” yang tidak boleh dilanggar. Raja di Jawa biasa berbuat seenaknya, bisa menciptakan peraturanya sendiri dan tidak ada yang protes ketika dia melanggarnya. Malah menurut beberapa literatur sejarah, ada raja-raja di Jawa yang memiliki hak untuk “mencicipi keperawanan” setiap perempuan yang disukainya di dalam wilayah kekuasaannya. Jadi, ketika malam pengantin, mempelai perempuan itu bukannya tidur dengan sang mempelai laki, tetapi dengan rajanya dulu untuk dicicipi, setelah itu baru giliran sang mempelai lelaki.
Ini sangat bertentangan dengan sosio-kultural para Sultan dan Sultanah di Kerajaan Aceh Darussalam. Dalam Islam, penguasa adalah pemegang amanah yang wajib mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di hari akhir kelak kepada Allah SWT.
Kerajaan Aceh Darussalam saat diperintah oleh Sultan Iskandar Muda telah memiliki semacam Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Permusyawaratan Rakyat (DPR-MPR) yang hak dan kewajibannya telah di atur dalam ‘Konstitusi Negara” Qanun Meukota Alam. Ada pula Dewan Syuro yang berisikan sejumlah ulama berpengaruh yang bertugas menasehati penguasa dan memberi arahan-arahan diminta atau pun tidak. Aceh juga telah memiliki penguasa-penguasa lokal yang bertanggungjawab kepada pemerintahan pusat. Jadi, seorang penguasa di Kerajaan Aceh Darussalam tidak bisa berbuat seenaknya, karena sikap dan tindak-tanduknya dibatasi oleh Qanun Meukuta Alam yang didasari oleh nilai-nilai Quraniyah.
Jadi, jelaslah bahwa sosio-kultur antara Nanggroe Aceh Darussalam dengan kerajaan-kerajaan Hindu amat bertolak-belakang.
Nangroe Aceh Darussalam bersedia mendukung dan menyatukan diri dengan NKRI atas bujukan Soekarno, semata-mata karena meyakini tali ukhuwah Islamiyah. Namun ketika Aceh dikhianati dan bahkan di masa Orde Lama maupun Orde Baru diperah habis-habisan seluruh sumber daya alamnya, disedot ke Jawa, maka dengan sendirinya Aceh menarik kembali kesediaannya bergabung dengan NKRI. Aceh menarik kembali kesepakatannya, bukan memberontak. Ini semata-mata karena kesalahan yang dilakukan “Pemerintah Jakarta” terhadap Nanggroe Aceh Darussalam.
Dan ketika Nanggroe Aceh Darussalam sudah mau bersatu kembali ke dalam NKRI, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bersedia meletakkan senjatanya dan memilih jalan berparlemen, Aceh sekarang dipimpin seorang putera daerahnya lewat sebuah pemilihan yang sangat demokratis, maka sudah seyogyanya NKRI memperlakukan Aceh dengan adil dan proporsional.
Puluhan tahun sudah Aceh menyumbangkan kekayaannya untuk kesejahteraan seluruh Nusantara, terutama Tanah Jawa, maka sekarang sudah saatnya “Jawa” membangun Aceh. Mudah-mudahan ‘kesepakatan’ ini bisa menjadi abadi, semata-mata dipeliharanya prinsip-prinsip keadilan dan saling harga-menghargai. (Rz)