Dikutip dari buku Da’wah Al-Muqawwamah Al-Islamiyyah Al-‘Alamiyyah’ atau Perjalanan Gerakan Jihad (1930 – 2002) Sejarah, Eksperimen, dan Evaluasi.
***
Doktrin Murji’ah muncul bersamaan dengan kemunculan ulama penguasa, yaitu saat sistem monarki lahir dan sistem khilafah lenyap. Di sini, terjadi pemisahan antara penguasa dan Alquran.
Akidah menyimpang ini secara ringkas bisa digambarkan bahwa iman adalah pembenaran dengan hati dan pernyataan dengan lisan saja. Para penganut doktrin ini tidak memasukkan amal dari bagian makna iman.
Mereka berkata: iman adalah pembenaran dan kemaksiatan tidak akan membahayakan iman. Barangsiapa yang mengucapkan kalimat syahadat ‘laa ilaaha illallah’ kami hukumi Islam, tanpa peduli apa yang ia katakan atau perbuat setelahnya.
Mereka mengesampingkan semua kaidah nawaqidhul iman (hal-hal yang membatalkan iman) yang diterangkan oleh Al-Quran, Sunnah, dan pendapat-pendapat fuqaha yang terpercaya.
Ibnu Asakir meriwayatkan melalui jalur An-Nadhar bin Syumail, berkata, “Saya masuk ke tempat Al-Ma’mun, lalu dia bertanya, ‘Bagaimana kabarmu pagi ini, wahai Nadhar?’ Saya menjawab, ‘Baik-baik saja, wahai Amirul Mukminin.’ Dia bertanya lagi, ‘Apakah Murji’ah itu?’ Saya menjawab, ‘Murji’ah adalah agama yang menyesuaikan para raja. Mereka mendapatkan kekayaan dunia dengan agama dan mengurangi agama mereka.’ Al-Makmun berkata, ‘Kamu benar.’”
Para fuqaha kerajaan mengambil doktrin tersebut hingga para ulama peneliti mengistilahkan mazhab Murji’ah sebagai agama (keyakinan) yang disukai para raja. Menurut mazhab ini, para penguasa tetaplah muslim, mereka waliyyul amr (pemegang urusan kita) yang berhak ditaati, walaupun mereka merampas harta dan mencambuk punggung kita. Umat ini tetap harus berkata, “Kami ridha.” Ya, mereka tetap muslim, walaupun mengambil harta rakyat dan mencambuk punggung.
Fuqaha kerajaan itu lebih melonggarkan lagi kepada mereka dengan tambahan; walaupun para penguasa melecehkan harga diri dan menumpahkan darah kita; walau mereka berteriak dengan kata dan perbuatan seperti para pendahulunya sesumbar, ‘Dan Fir’aun berseru kepada kaumnya (seraya) berkata, ‘Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat(nya)?” (Az-Zukhruf: 51)
Walaupun, para penguasa tersebut terang-terangan mengatakan ketidakcocokan hukum syariah untuk zaman sekarang. Walaupun mereka mengangkat pelindung dari musuh-musuh Allah. Walau mereka berperang dan memberangkatkan tentara untuk berperang di bawah panji-panji Yahudi dan Nasrani untuk membunuh muslimin. Dan walau…walau… yang lain.
Fuqaha kerajaan itu beralasan: bukankah penguasa tersebut menunaikan shalat Idul Fitri dan Idul Adha? Bukankah dia merayakan maulid nabi? Bukankah dia berzina dengan alibi nikah mut’ah yang dibolehkan oleh sebagian fuqaha? Bukankah ketika penguasa menelanjangi muslim dan muslimah yang bukan budak di berbagai penjara dan menyiksa mereka ada dalilnya, yaitu perkataan Ali kepada utusan Hatib bin Abu Balta’ah, “Keluarkan suratmu atau kami akan menelanjangimu?”
Bukankah penguasa boleh membunuh sepertiga rakyatnya agar dua pertiga rakyatnya menyerah kepada dirinya. Semuanya itu ada dalil-dalilnya menurut anggapan para ulama palsu saat ini. Mazhab Murji’ah ini karena begitu longgarnya, berisikan para Musailamah tukang bohong!
Demikianlah, Imamul Ulama, Ibnu Utsaimin melakukan pengembangan dari mazhab Murji’ah dengan mengatakan -sungguh, apa yang dikatakannya adalah pendapat yang hampir-hampir bumi pun pecah dan gunung pun runtuh karena begitu tidak masuk akalnya-, “Katakan, andai penguasa itu dihukumi kafir, apakah itu berarti kita harus ikut mengobarkan kemarahan orang terhadap penguasa hingga terjadi pembangkangan, chaos dan peperangan? Tentu saja tindakan itu salah.”
Agar orang tidak salah memahami bahwa yang dia maksud adalah penguasa di negaranya –karena menurut Ibnu Utsaimin, mereka masih berhukum dengan syariat Islam, alhamdulillah- maka Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Seandainya penguasa di negara lain menjadi kafir, tetap saja tidak boleh keluar (memberontak)…”
Ucapannya yang seperti itu menantang pernyataan Alquran yang sharih (jelas), Sunnah yang shahih, dan ijma’ umat! Kemudian, Syaikh Al-Albani mengadopsi aliran kontemporer lain dalam kerangka mazhab Murji’ah, ia berkata, “Keluar (membangkang) penguasa pada masa sekarang ini sama saja keluar dari Islam itu sendiri.” Al-Albani bersaksi para penguasa Saudi Arabia itu tetap dalam keislaman mereka.
Selanjutnya, pembohong lain yang disebut sebagai mufti Agung Pakistan, Rafi’ Utsmani berkata, “Orang-orang yang terbunuh karena membela diri melawan serangan tentara pemerintah Pakistan bukanlah syuhada!” Rafi’ Utsmani membantah hadits Rasulullah, “Barangsiapa terbunuh membela hartanya, keluarganya, atau darahnya, atau agamanya, maka dia mati syahid.” (HR Abu Daud: 4774)
Rafi’ Utsmani juga menyatakan bahwa orang-orang Amerika dan kaki tangannya termasuk musta’man (non muslim luar yang dijamin keamanannya karena adanya perjanjian tertentu) sekaligus dzimmi (non muslim yang tinggal di negara Islam yang harus dilindungi harta, jiwa, dan kehormatannya selama mau membayar pajak), tidak boleh diganggu di Pakistan atau di negara mereka.
Rafi’ juga mencabut fatwa sebelumnya yang membolehkan operasi istisyhad (bom berani mati syahid). Ia berkata, “Kita tidak terbebani wajib jihad, kecuali apabila pemerintah (Presiden Musyarraf) menyerukannya.”
Ini seperti kasus ketika Dhiyaul Haq menyerukan jihad melawan Rusia. Mufti berkata, barangsiapa bertempur bersama Amerika melawan kaum muslimin, dia hanya berdosa saja dan tidak kafir dan bahwa berhukum dengan selain hukum Allah itu berdosa, namun tidak mengeluarkan dari Islam. Paling banter itu adalah kufur kecil.
Itulah yang kebanyakan terjadi pada para imam dakwah dan ilmu agama dari kelompok Murji’ah modern pada masa sekarang ini, baik yang sudah mangkat atau pun yang masih hidup dan berbuat demikian.
Hal yang patut digarisbawahi mengenai aliran politik Murji’ah adalah, mereka mau bertenggang rasa pada perilaku para raja dan penguasa, tetapi mereka tidak mau bertenggang rasa pada aksi para mujahid dan aktivis dakwah yang istiqamah. Mereka berani menghukumi para mujahidin sebagai anjing-anjing penghuni neraka! Mereka itu harus dibunuh, disalib, dipotong silang tangan dan kakinya, serta harus diusir dari tempat kediamannya di dunia ini.
Aliran Murji’ah ini mempertanyakan, “Bagaimana mujahidin membunuh Nasrani yang duduk di negeri kita dengan izin dari penguasa kita sehingga dia telah menjadi musta’min dan mu’ahid! Bagaimana boleh para penjahat dari orang-orang yang menyerukan jihad itu lalu menumpahkan darah salibis yang ‘suci’! Bagaimana boleh mereka melanggar jaminan keamanan penguasa murtad yang memberinya hak aman?”
Satu catatan aneh dan mengherankan dari fenomena aliran Murji’ah politik adalah bahwa para pemimpin mereka dari ekstrin tasawuf hingga yang disebut ekstrim salafi, atau Asy’ari, Maturidi, dan aliran Ahli Hadits memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang zat, asma, dan sifat Allah.
Namun subhanallah, mereka justru sepakat dalam hal keislaman penguasa (murtad), nama-nama, dan sifat-sifatnya, seperti yang terjadi di Maroko dan Pakistan, yang aliran ini eksis di sana. Aliran Murji’ah politik ini mau bersikap longgar kepada raja di bumi, tapi tidak mau bertenggang kepada Raja langit dan bumi serta isinya.
Penulis tampaknya tidak menemukan justifikasi bagi fenomena mazhab ini ketika mereka memilih dunia politik dan aktivitas demokrasi, kecuali dengan menggolongkan mereka sebagai bagian dari al-mala’ (kroni-kroni). Sebab, mereka akan masuk kedalam parlemen (institusi yang membuat hukum selain hukum Allah) dan masuk pemerintahan (institusi yang menerapkan hukum selain hukum Allah). Lantas, bagaimana mereka kemudian mengingkari penguasa, sedangkan mereka sudah masuk dalam golongan, sekutu, dan kroninya?
Lalu, apa solusinya? Solusinya adalah dengan tidak masuk kedalam institusi-institusi tersebut atau dengan menyatakan keislaman penguasa tersebut! Dan ternyata mereka lebih memilih yang mudah dan enak, yaitu menyatakan keislaman penguasa murtad yang menantang Allah dengan perang dan permusuhan, serta mencabut hak paling khusus Allah berupa uluhiyah.
– Syeikh Abu Mus’ab Assuri-