”Harga yang harus dibayar untuk mengurangi utang tersebut bisa jadi lebih merugikan bagi Sri Lanka,” ujar Sathiya Moorthy, pakar Sri Lanka di Observer Research Foundation, kepada New York Times.
Sudah banyak negara yang khawatir akan bernasib seperti Sri Lanka. Myanmar, misalnya, meminta pengurangan jumlah pinjaman untuk proyek Pelabuhan Kyaukpyu.
Perdana Menteri Tonga Akalisi Pohiva pun meminta ada penghapusan pinjaman USD 160 juta atau Rp 2 triliun. Dia mengajak negara-negara Oseania lainnya untuk ikut memohon utangnya dihapuskan saja.
”Kami takut mereka (Tiongkok) mengambil aset kami jika tak bisa membayar,” ujar Akalisi.
Ketakutan itu menciptakan istilah kolonialisme utang. Yakni, sistem untuk mengekang dan menjajah negara dengan lilitan utang. Dengan begitu, Tiongkok bisa memiliki aset atau tanah di berbagai negara.
Namun, pemerintah Tiongkok tak sependapat. Mereka menilai bahwa label debt colonialism hanya upaya politik untuk memojokkan Tiongkok. Padahal, setiap pinjaman investasi itu disetujui kedua pihak.
”Banyak juga lelang (proyek) yang tak dimenangkan perusahaan Eropa dan Amerika. Apakah mereka juga melakukan debt colonialism?” ujar Wu Dongxu, general manager Trans Continental Management Consultancy, kepada Global Times.
Tentang Jalur Sutra Gaya Baru ala Tiongkok
– Belt and Road Initiative (BRI) merupakan upaya Tiongkok untuk mengulang kejayaan Jalur Sutra.
– Terdiri atas jalur ekonomi darat yang membentang ke Eropa dan jalur laut menuju Asia dan Afrika.
– Program BRI melingkupi 68 negara dengan skema pinjaman hingga 2018.
– Terdiri atas 14 negara di Asia Timur dan Tenggara, 13 negara di Asia Selatan dan Tengah, 17 negara di Timur Tengah, serta 24 negara di Eropa.
– 31 di antara total 36 negara miskin utang tinggi (HIPC) mendapatkan suntikan BRI.
– Di antara 68 negara yang berutang ke Tiongkok melalui BRI, 23 berisiko mengalami gagal bayar.
– Delapan negara dengan risiko paling tinggi: Djibouti, Kyrgyzstan, Laos, Maladewa, Mongolia, Montenegro, Pakistan, dan Tajikistan.
– Tiongkok menukar utang yang tak terbayar dengan aset negara dalam beberapa kasus. Misalnya, penyerahan lahan sengketa Tajikistan pada 2011. Atau, hak pengelolaan Pelabuhan Hambantota selama 99 tahun di Sri Lanka.
Sumber: Center for Global Development [jpnn]