Artinya, 23 negara lainnya yang masuk program BRI punya potensi untuk terlilit utang. Nah, setelah lima tahun BRI berjalan, ada delapan negara dengan risiko krisis finansial paling tinggi.
Yakni, Pakistan, Maladewa, Montenegro, Laos, Mongolia, Djibouti, Kyrgyzstan, dan Tajikistan. Mereka itulah yang disebut masuk ”jebakan Tiongkok” lewat iming-iming proyek infrastruktur tadi.
Yang terparah adalah Pakistan. Negara tersebut terikat perjanjian China-Pakistan Economic Corridor senilai USD 62 miliar atau Rp 903 triliun. Belum termasuk pinjaman lain. Pemerintah Tiongkok mengambil jatah 80 persen dari proyek yang sebagian besar digunakan proyek pembangkit listrik itu.
Lalu, bagaimana jika gagal bayar? Negara-negara tersebut bisa jadi harus melewati skema tukar aset. Contohnya Sri Lanka. Negara yang bertetangga dengan India itu memperoleh pinjaman pada 2015. Saat itu Sri Lanka terpojok karena Presiden Mahinda Rajapaksa dituduh melanggar HAM.
Kondisinya terkucil. Namun, Tiongkok tetap mengucurkan dana bertubi-tubi. Jumlahnya mencapai USD 8 miliar atau Rp 116 triliun.
Saat tak sanggup membayar, Sri Lanka harus menyerahkan 70 persen saham kepemilikan Pelabuhan Hambantota serta hak pengelolaan ke pemerintah Tiongkok. Hak pengelolaan selama 99 tahun itu mengganti utang USD 1,1 miliar atau Rp 16 triliun.