Generasi awal ummat Islam yakni para sahabat radhiyallahu ’anhum, merupakan generasi terbaik ummat ini. Oleh karenanya mereka memperoleh kehormatan untuk mendampingi Rasulullah Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam dalam perjuangan beliau sejak Islam masih lemah di Makkah hingga tegaknya tatanan Islam atau Daulah Islamiyah di kota Madinah yang langsung dipimpin Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam.
Mereka merupakan generasi yang terbaik dalam meneladani Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam dalam berbagai aspek kehidupan. Termasuk dalam da’wah. Mereka sangat menghayati ambisi utama Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam, yaitu bagaimana agar manusia di dunia menjadi orang beriman sehingga selamat di dunia dan di akhirat. Mereka tidak saja menyaksikan bagaimana gigihnya Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam dalam berda’wah kepada setiap manusia yang dijumpainya. Namun mereka meneladani dan turut melakukan hal serupa terhadap siapapun manusia yang mereka temui.
Para sahabat radhiyallahu ’anhum biasanya tatkala berda’wah menyampaikan penjelasan ringkas saja mengenai Islam tidak panjang dan berbelit seperti kebanyakan kita di zaman sekarang. Namun uniknya, walaupun singkat tetapi tidak jarang penyampaian singkat namun berisi itu cukup membuat seorang musyrik atau kafir kemudian tersentuh lalu masuk Islam. Adapun sebagian besar kita di zaman modern ini kadang sudah berbicara panjang lebar hingga mulut berbusa-busa namun tidak memberi pengaruh berarti bagi pendengar apalagi sampai ia memperoleh hidayah lalu masuk Islam.
Keberhasilan para sahabat radhiyallahu ’anhum dalam berda’wah tentunya karena mereka merupakan generasi terbaik dalam meneladani Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam dalam segala hal, termasuk berda’wah. Sedangkan Aisyah radhiyallahu ’anha mengatakan:
كَانَ كَلَامُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَلَامًا فَصْلًا يَفْهَمُهُ كُلُّ مَنْ سَمِعَهُ
“Ucapan Rasulullah adalah ucapan fashlan (singkat dan jelas). Setiap orang yang menyimaknya pasti segera memahaminya.” (HR Abu Dawud 12/467)
Di samping itu, ada hal lain lagi yang menyebabkan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ’anhum dimudahkan Allah subhaanahu wa ta’aala merebut hati kaum musyrik dan kafir sehingga mereka mau menerima ajakan da’wah Islam. Hal ini berkaitan dengan konsistennya mereka mematuhi tiga pilar da’wah yang disebutkan Allah subhaanahu wa ta’aala di dalam Al-Qur’an, yakni:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
”Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata, "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri” (QS Fushilat ayat 33)
Dalam ayat di atas setidaknya terdapat tiga pilar utama dalam berda’wah. Bila seorang muslim sanggup memenuhi ketiga pilar da’wah tersebut insyaAllah ia bakal diizinkan Allah subhaanahu wa ta’aala sukses merebut hati manusia sehingga mau menyambut seruan da’wah Islam. Ketiga pilar da’wah tersebut adalah:
Pertama, ajakan secara lisan. Seorang muslim tidak mungkin atau kecil sekali kemungkinannya bakal sukses mengajak seorang manusia yang asalnya non-muslim untuk menyambut ajakan da’wah Islam bila ia tidak mau secara ekspilisit mengajaknya secara lisan kepada agama Allah subhaanahu wa ta’aala yang mulia ini. Inilah yang dimaksud dengan potongan ayat di atas:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ
”Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah.”
Itulah sebabnya kita wajib menghafalkan kata-kata bertuah penuh cinta kasih bernuansa da’wah yang sering disampaikan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam kepada non-muslim:
أَسْلِمْ تَسْلَمْ
”masuk Islamlah engkau, niscaya engkau bakal selamat di dunia dan akhirat”
Kedua, akhlak mulia (keteladanan). Selain itu, seorang muslim juga perlu memastikan bahwa ia tidak hanya om-do (omong doang). Tapi ia perlu memastikan bahwa ucapannya didukung dengan perilaku nyata yang menunjukkan keselarasan antara ucapan dan tindakan. Hal ini akan menjadikan dirinya memiliki nilai keteladanan di hadapan obyek da’wahnya. Salah satu kesulitan kita dewasa ini mengajak kaum non-muslim masuk Islam adalah karena adanya fakta pahit bahwa sebagian ummat Islam sendiri tidak memperlihatkan akhlak terpuji sehingga kaum non-muslim belum apa-apa sudah kehilangan kepercayaan terhadap kita, dan akhirnya hilang pula kepercayaan mereka terhadap agama kita, Al-Islam. Inilah yang diisyaratkan Allah dalam ayat di atas:
وَعَمِلَ صَالِحًا
“…mengerjakan amal yang saleh…”
Ketiga, konsistensi dalam memelihara identitas keIslaman. Pilar ketiga yang akan menyempurnakan kesuksesan da’wah seorang muslim adalah konsistensinya dalam menjaga dan mempertahankan identitas keIslamannya. Ke manapun ia pergi dan dengan siapapun ia berinteraksi hendaknya ia selalu memperlihatkan identitas keIslamannya betapapun situasinya. Jangan hendaknya ia membaca doa sebelum makan, misalnya, ketika di tengah kerumunan saudara muslimnya saja. Namun ketika ia makan di sebuah restoran di tengah masyarakat asing ia segan atau malu atau bahkan takut membaca doa makan. Padahal boleh jadi dengan ia konsisten membaca doa makan hal itu menjadi stimulans bagi terjadinya proses da’wah. Inilah makna potongan ayat yang berbunyi:
وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
”…dan ia berkata, "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri”