Mengajak manusia ke jalan Allah ta’aala sangat memerlukan ke-ikhlas-an. Ikhlas berarti melakukan sesuatu hanya karena Allah ta’aala atau biasa disebut lillaahi ta’aala. Termasuk berda’wah atau mengajak manusia ke jalan Allah ta’aala haruslah diniatkan lillaahi ta’aala. Harus jernih dan bersih alias bebas dari segala kepentingan lainnya selain mengharapkan ke-ridha-an Allah. Lawan dari sikap ikhlas adalah berlaku syirik (mempersekutukan Allah ta’aala). Allah ta’aala menjelaskan bahwa di antara makna mempersekutukan Allah ta’aala ialah bilamana suatu kumpulan manusia yang berhimpun dalam suatu organisasi, kelompok, golongan, jama’ah atau partai kemudian lebih meninggikan group values daripada Islamic values.
Bilamana setiap kumpulan kaum muslimin mengembangkan spirit lebih meninggikan group values daripada Islamic values, maka dapat dipastikan ummat akan terperosok ke dalam bencana menjadi terpecah-belah. Masing-masing golongan merasa paling benar dan paling mulia dibandingkan golongan lainnya. Bahkan secara langsung maupun tidak langsung masing-masing jama’ah atau partai akan merendahkan jama’ah atau partai lainnya.
وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ
وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
”…dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.”
(QS Ar Ruum ayat 31-32)
Dan memang, dalam situasi dunia seperti dewasa ini, sangat besar kemungkinan hal ini terjadi. Mengapa? Karena belum pernah terjadi semenjak zaman Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat radhiyallahu ’anhum ummat Islam berada dalam keadaannya seperti sekarang ini. Sejak Nabi shollallahu ’alaih wa sallam hijrah dari Makkah ke Madinah ummat Islam senantiasa hidup dalam kejelasan kepemimpinan. Sehingga mereka layak disebut sebagai jamaatul muslimin, yaitu kumpulan ummat Islam sedunia yang bersatu di bawah naungan kepemimpinan tunggal seorang pemimpin Islam. Adapun kondisi kita sekarang –terutama semenjak runtuhnya khilafah Islamiyah pada tahun 1924- adalah ibarat anak-anak ayam kehilangan induk. Maka jangan heran bila ummat Islam hampir setiap tahun selalu meributkan soal perbedaan penetapan hari raya, sebab mereka tidak memiliki final decision maker yang menetapkan tanggal pasti hari raya untuk diberlakukan bagi segenap ummat Islam sedunia.
Kalaupun ummat berusaha mengorganisir diri ke dalam suatu bentuk pengelompokan dalam rangka kerjasama, maka maksimal mereka hanya bisa berkumpul dalam suatu jama’atun minal muslimin (himpunan sebagian ummat Islam). Suatu kelompok yang tentunya tidak meliputi segenap ummat Islam sedunia. Sehingga jama’atun minal muslimin tidak mungkin dan tidak berhak untuk meng-claim diri sebagai representasi tunggal ummat Islam. Lalu apakah itu berarti bahwa dalam situasi dunia seperti sekarang ummat Islam tidak dibenarkan untuk mengelompokkan diri dalam bentuk sebuah organisasi, jama’ah, harokah, institusi atau partai? Tidakkah banyaknya kelompok-kelompok ummat Islam akan mengakibatkan potensi perpecahan semakin hebat? Sebenarnya tidak juga. Asalkan masing-masing kelompok tersebut menyadari dan memiliki komitmen untuk:
(1) Menjadikan hablillah (tali Allah ta’aala) semata sebagai ikatan pemersatu organisasi, jama’ah, harokah, institusi atau partai tersebut. Jangan hendaknya ada nilai-nilai lain yang diam-diam atau terang-terangan dipandang bisa mempersatukan kelompok tersebut.
(2) Menjadikan organisasi, jama’ah, harokah, institusi atau partainya sebagai sebuah kendaraan untuk benar-benar memperjuangkan nilai-nilai Islam secara murni dan konsisten. Jangan sampai terjadi sebaliknya. Justru Islam yang dijadikan kendaraan untuk memperjuangkan kepentingan kelompok apalagi kepentingan individu-individu kelompok tersebut.
(3) Menjalin kerjasama dalam spirit mahabbah (cinta) dan ukhuwwah (persaudaraan) dengan berbagai organisasi, jama’ah, harokah, institusi atau partai Islam lainnya. Tidak pernah memandang yang lainnya sebagai pesaing apalagi ancaman bagi kemajuan perjuangan Islam. Sebab sudah semestinya sesama saudara muslim dan jamaah muslim saling berkoordinasi dalam suasana mahabbah wal ukhuwwah.
(4) Memastikan bahwa setiap anggota di dalam organisasi, jama’ah, harokah, institusi atau partai tersebut lebih mengutamakan Islamic Values daripada Group Values. Sebab bilamana nilai-nilai Islam dikalahkan oleh nilai-nilai kelompok berarti ia telah terjangkiti penyakit ashobiyyah (fanatisme kelompok) yang jelas dikecam oleh Rasulullah Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ
وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ
“Tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang menyeru kepada ashobiyyah (fanatisme kelompok). Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang berperang atas dasar ashobiyyah (fanatisme kelompok). Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang terbunuh atas nama ashobiyyah (fanatisme kelompok).” (HR Abu Dawud 13/325)