Menurut kitab tafsir Ibnu Katsir rahimahullah ketika Rasulullah Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam selesai menerima perintah langsung dari Allah ta’aala untuk menegakkan sholat lima waktu dalam perjalanan Israa wal Mi’raaj, beliau turun dari langit lalu singgah sekali lagi di Baitul Maqdis. Turun pula para Nabi ’alihimus-salaam bersama beliau. Beliau sholat bersama mereka ketika tiba waktunya.
Di antara sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa beliau mengimami mereka sewaktu di langit. Namun, menurut penjelasan beberapa riwayat hal itu terjadi di Baitul Maqdis. Sebagian riwayat juga mengatakan bahwa sholat itu terjadi saat beliau pertama kali memasukinya. Yang jelas sholat itu dilakukan setelah beliau kembali ke Masjid Al-Aqsho, sebab tatkala beliau melintasi mereka pada (langit) tempat masing-masing, mereka bertanya kepada Jibril ’alahis-salaam siapa yang menyertainya, dan Jibril ’alahis-salaam memberitahukan siapa beliau. Inilah pendapat yang relevan karena tujuan utama menghadap Zat Yang Maha Tinggi Allah subhaanahu wa ta’aala ialah untuk menerima kewajiban sholat baginya dan ummatnya sesuai dengan kehendak-Nya. Seteleh menerimanya maka Nabi shollallahu ’alaih wa sallam berkumpul dengan saudara-saudaranya dari kalangan para Nabi ’alihimus-salaam. Kemudian Allah ta’aala menonjolkan kemuliaan dan keutamaannya atas nabi lain dengan menjadikannya sebagai imam sholat melalui isyarat yang diberikan Jibril ’alahis-salaam.
Kemudian Nabi shollallahu ’alaih wa sallam keluar dari Baitul Maqdis, lalu menunggangi Buraq ke Makkah pada akhir malam. Allah ta’aala Maha Mengetahui tentang hal itu. Wallahu a’lam bish-showwab.
Adapun di antara riwayat shohih yang menjelaskan tentang informasi di atas adalah hadits riwayat Imam Muslim di bawah ini.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَقَدْ رَأَيْتُنِي فِي الْحِجْرِ وَقُرَيْشٌ تَسْأَلُنِي عَنْ مَسْرَايَ فَسَأَلَتْنِي عَنْ أَشْيَاءَ مِنْ بَيْتِ الْمَقْدِسِ لَمْ أُثْبِتْهَا فَكُرِبْتُ كُرْبَةً مَا كُرِبْتُ مِثْلَهُ قَطُّ قَالَ فَرَفَعَهُ اللَّهُ لِي أَنْظُرُ إِلَيْهِ مَا يَسْأَلُونِي عَنْ شَيْءٍ إِلَّا أَنْبَأْتُهُمْ بِهِ وَقَدْ رَأَيْتُنِي فِي جَمَاعَةٍ مِنْ الْأَنْبِيَاءِ فَإِذَا مُوسَى قَائِمٌ يُصَلِّي فَإِذَا رَجُلٌ ضَرْبٌ جَعْدٌ كَأَنَّهُ مِنْ رِجَالِ شَنُوءَةَ وَإِذَا عِيسَى ابْنُ مَرْيَمَ عَلَيْهِ السَّلَام قَائِمٌ يُصَلِّي أَقْرَبُ النَّاسِ بِهِ شَبَهًا عُرْوَةُ بْنُ مَسْعُودٍ الثَّقَفِيُّ وَإِذَا إِبْرَاهِيمُ عَلَيْهِ السَّلَام قَائِمٌ يُصَلِّي أَشْبَهُ النَّاسِ بِهِ صَاحِبُكُمْ يَعْنِي نَفْسَهُ فَحَانَتْ الصَّلَاةُ فَأَمَمْتُهُمْ فَلَمَّا فَرَغْتُ مِنْ الصَّلَاةِ قَالَ قَائِلٌ يَا مُحَمَّدُ هَذَا مَالِكٌ صَاحِبُ النَّارِ فَسَلِّمْ عَلَيْهِ فَالْتَفَتُّ إِلَيْهِ فَبَدَأَنِي بِالسَّلَامِ
Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam: “Ketika aku berada di Hijir, orang-orang Quraisy menanyaiku tentang Isra. Mereka menanyaiku tentang berbagai hal yang berhubungan dengan Baitul Maqdis yang tidak aku ketahui. Maka aku merasakan kesulitan yang belum pernah kualami. Tiba-tiba Allah ta’aala menayangkannya kepadaku sehingga aku dapat melihatnya. Tidak ada satupun yang mereka tanyakan yang tidak dapat kujawab. Aku juga teringat ketika aku berada di tengah-tengah para Nabi ’alihimus-salaam. Tiba-tiba aku melihat Musa ’alihis-salaam tengah sholat. Dia tampak gagah perkasa seperti orang-orang Banu Syanu’ab. Akupun melihat Isa bin Maryam ’alihis-salaam sedang sholat. Dia sangat mirip dengan Urwah bin Mas’ud ats-Tsaqofi. Juga aku melihat Ibrahim ’alihis-salaam tengah sholat. Dia sangat mirip dengan sahabatmu (maksudnya dengan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam sendiri) Ketika waktu sholat tiba, aku mengimami mereka. Setelah sholat selesai, ada yang berkata: ”Hai Muhammad, ini adalah malaikat penjaga Jahannam.” Kemudian aku menoleh kepadanya lalu dia mendahuluiku dengan mengucapkan salam.” (HR Muslim 1/403)
Jadi, kita dapat menyimpulkan bahwa Allah ta’aala hendak menjadikan Nabi kita yaitu Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sebagai Sayyidul Anbiyaai wal Mursaliin (Penghulu para Nabi dan Rasul ’alihimus-salaam) bahkan Imamul Anbiyaai wal Mursaliin. Bayangkan, berarti saat beliau mengimami sholat istimewa di Masjid Al-Aqsho tersebut berma’mum-lah di belakang beliau Nabi Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Isa dan Nabi-nabi ’alihimus-salaam lainnya…!
Memang, sungguh mulia kedudukan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Beliau Nabi terakhir yang diutus Allah ta’aala ke dunia namun ditempatkan pada posisi sebagai penghulu dan imam para Nabi ’alihimus-salaam sebelumnya. Pantas bila beliau dijuluki sebagai rahmat bagi semesta alam.
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS Al-Anbiya ayat 107)
Bila demikian keadaannya, berarti kita ummat Islam yang menjadi pengikut Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam sudah sepantasnya meneladani mentalitas beliau selaku penghulu dan imam para Nabi ’alihimus-salaam terdahulu. Artinya, tidak ada alasan samasekali bagi seorang muslim untuk merasa minder apalagi lemah mental bila berjumpa dengan ummat yang mengaku pengikut Nabi Musa ’alihis-salaam atau Nabi Isa ’alihis-salaam misalnya. Bila Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam merupakan penghulu dan imam para nabi dan rasul, berarti ummat Islam merupakan penghulu dan imam ummat manusia seluruhnya. Pantaslah bilamana di dalam Al-Qur’an Allah ta’aala menjuluki ummat Islam sebagai sebaik-baiknya ummat.
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
”Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia.” (QS Ali Imran ayat 110)
Jadilah ummat yang berperan sebagai rahmatan lil-’aalamin. Ajak dan yaknikanlah sebanyak mungkin manusia ke dalam rahmat Allah ta’aala berupa hidayah iman dan Islam. Jangan berfikir ingin masuk surga seorang diri. Jangan bakhil dan jangan pula minder. Ajaklah manusia ke satu-satunya jalan keselamatan dunia dan akhirat. Jalan Islam.