Benarkah Hamas sebagai sebuah gerakan perlawanan Islam yang sudah membuktikan dirinya konsisten berjihad di garis terdepan menghadapi musuh utama ummat Islam yaitu Zionis Yahudi Israel, telah terjebak dalam permainan sistem kafir demokrasi? Ketika Syeikh Abu Bakar Al-Awawida, anggota Ikatan Ulama Palestina, berkunjung ke kantor redaksi Eramuslim, muncullah pertanyaan soal keikutsertaan Hamas yang dianggap sudah mengikuti sistem demokrasi yang oleh sebagian Muslim dianggap sebagai sistem orang-orang kafir, yang diusung oleh Barat.
Apa sesungguhnya yang telah menyebabkan Hamas pada bulan Januari 2006 perlu ikut dalam pemilihan umum alias masuk dalam gelanggang pertarungan politik menurut sistem kafir Demokrasi ala Barat? Padahal bagi sebagian ummat Islam yang sangat kagum dengan keberanian dan konsistensi gerakan perlawanan Hamas tidakkah cukup Hamas sebagai sebuah gerakan yang berjihad secara suci membebaskan dirinya dari ikut serta dalam permainan politik jahiliyyah yang sarat kebusukan? Padahal di dalam anggaran dasar Hamas jelas ditulis: Hamas menjadikan Islam sebagai manhaj-nya, sumber pemikiran, pemahaman dan konsepsinya mengenai alam, kehidupan dan manusia. Islamlah yang menuntun seluruh tindakan dan langkah gerakan ini. Padahal Hamas tidak mengakui keberadaan negara Zionis Yahudi Israel sebagaimana mereka sebutkan di dalam konstitusinya: ”Hamas meyakini bahwa bumi Palestina adalah tanah waqaf Islam kepada segenap generasi Islam sampai hari Kiamat. Tidak boleh dikurangi sebagian atau seluruhnya atau diserahkan kepada orang lain. Tanah ini tidak bopleh dimiliki oleh satu atau seluruh negara Arab. Tidak boleh dimiliki oleh seorang presiden atau raja atau seluruh raja dan kepala negara. Juga tidak boleh dimiliki oleh satu atau seluruh organisasi Pa;estina ataupun Arab. Karena Palestina merupakan tanah waqaf Isalm kepada seluruh generasi Islam sampai hari Kiamat. Siapakah yang memiliki hak mewakili seluruh generasi Islam hingga har Kiamat? Demikianlah hukum negeri Palestina dalam syari’at Islam.”
Perlu diingat bahwa deklarasi resmi kelahiran Gerakan Perlawanan Islam Hamas terjadi pada Desember 1987. Semenjak dideklarasikan mulailah rakyat Palestina merasakan kehadiran dan manfaat berbagai program Hamas. Hamas mengawali gerakannya dengan mensosialisasikan Tarbiyyah Islamiyyah Harakiyyah Manhajiyyah (Kaderisasi Islami Operasional Sistemik). Melalui berbagai halaqah, daurah, tahfidz Al-Qur’an (Menghafal Al-Qur’an), majelis ilmu, pembangunan sekolah dan universitas. Melalui sarana-sarana ini mereka mempersiapkan suatu generasi ummat yang siap menerima aqidah dan fikrah Islamiyyah (keimanan dan ideologi Islam). Hamas menekankan bahwa tarbiyyah merupakan awal segala-galanya, walaupun tarbiyyah bukanlah segala-galanya. Hamas senantiasa mementingkan tarbiyyah karena yakin bahwa inilah jalan pasti untuk melahirkan para kader-kader militan handal.
Selanjutnya sambil mulai menuai hasil tarbiyyah dan tetap meneruskannya, mereka mengembangkan berbagai kegiatan lainnya seperti kegiatan ’amal khairiyyah-ijtima’iyyah (aktifitas kebajikan-sosial) menyantuni para janda dan yatim syuhada, petani, pekerja dan keluarga pejuang yang berada dalam tahanan penjara Israel, kaum fakir dan miskin, menyelenggarakan nikah massal bagi kalangan pemuda yang kurang mampu dan lain sebagainya. Selain aktifitas tarbiyyah dan khairiyyah-ijtima’iyyah, Hamas mengembangkan aktifitas al-jihad wal-muqowwamah (jihad dan perlawanan). Aspek ini bisa dikatakan merupakan primadona sekaligus pesona utama gerakan Hamas. Oleh karenanya Hamas membentuk sayap militer khusus bernama Kataib AsySyahid Izzuddin Al-Qossam (Batalion AsySyahid Izzuddin Al-Qossam). Aktifitas ini dilakukan melalui unit-unit militernya, dengan menyelenggarakan berbagai mukhayyam ’askari (perkemahan militer) serta mengajarkan cara membuat persenjataan sendiri mulai dari amunisi, roket bahkan senjata pelontar mortir atau RPG.
Selain aktifitas tarbiyyah, khairiyyah-ijtima’iyyah dan al-jihad wal-muqowwamah, Hamas juga mengembangkan aktifitas siyasah (politik). Dalam bidang ini mereka kemudian mengkaji situasi politik masyarakat Palestina. Mereka mengamati terus perkembangan aspirasi masyarakat. Hamas sadar bahwa sistem politik yang berlaku merupakan sistem kafir Demokrasi ala Barat. Ini bukanlah sistem Islam. Tetapi mereka juga sadar bahwa sistem jahiliyyah Demokrasi dapat dijadikan sebagai sebuah kuda tunggangan untuk mencapapai sasaran antara perjuangan. Maka ketika ada Pemilu tahun 1996, para pimpinan Hamas mengkaji kemungkinan untuk berpartisipasi. Namun setelah menimbang antara mafsadat dan maslahat-nya, mereka berkesimpulan bahwa jika partai Hamas terlibat pada saat itu niscaya mereka bakal mengalami kekalahan yang menyebabkan Hamas menjadi masuk dalam jebakan permainan sistem Demokrasi. Hamas hanya mau terlibat jika kemenangan besar kemungkinan dapat diraih. Pada tahun 1996 Hamas tahu diri dan menilai bahwa hasil aktifitas tarbiyyah, khairiyyah-ijtima’iyyah dan al-jihad wal-muqowwamah yang mereka lakukan belumlah mencakup jumlah cukup mayoritas rakyat Palestina. Sehingga mereka tunda keterlibatannya dalam Pemilu.
Sepuluh tahun kemudian ketika diselenggarkan Pemilu tahun 2006, Hamas kembali mengkaji kemungkinan terlibat dalam Pemilu. Dan pada saat itu mereka optimis bahwa sebagian besar masyarakat telah terbentuk menjadi pendukung Hamas berkat berbagai program multidimensi yang dijalankan Hamas. Jika saat itu Hamas ikut pemilu kemungkinan besar mereka bakal meraih kemenangan. Lalu, kita bertanya sekali lagi, apakah ini berarti Hamas telah khianat kepada sistem Islam dan berfihak kepada sistem kafir Demokrasi ala Barat?
Satu-satunya saingan politik pada masa itu hanyalah partai Fatah. Partai ini bersifat sekularis-nasionalis. Dan Partai Fatah telah meninggalkan jalan jihad dan perlawanan diganti dengan jalan damai dan negosiasi sebagai solusi menghadapi negara penjajah Zionis Yahudi Israel. Ini berarti bahwa PLO dan Fatah telah mengakui eksistensi negara ilegal Zionis Yahudi Israel. Sedangkan fihak Barat memandang PLO dan Fatah sebagai wakil sahih rakyat Palestina yang bisa mereka kendalikan. Dengan kata lain Barat ingin memaksakan opini bahwa rakyat Palestina pada umumnya menyetujui pula eksistensi negara Israel. Sebaliknya hasil kajian Hamas menilai bahwa kebanyakan rakyat Palestina sudah menunjukkan keberfihakan kepada solusi jihad dan perlawanan yang ditunjukkan oleh Hamas, sehingga merekapun memberanikan diri untuk membuktikannya di Tempat Pemungutan Suara. Jadi kesimpulannya, Hamas tidak pernah mengakui sistem Demokrasi sebagai solusi, melainkan sebagai sekedar kuda tunggangan untuk membuktikan di hadapan semua fihak bahwa mayoritas rakyat Palestina memilih sikap dan jalur jihad dan perlawanan bukan jalur yang ditawarkan oleh partai sekularis-nasionalis Fatah, yaitu jalan damai dan negosiasi dalam menghadapi musuh.
Subhaanallah, begitu Pemilu dilangsungkan pada akhir Januari 2006, terbukti bahwa perhitungan Hamas benar adanya. Hamas berhasil memperoleh 74 dari 132 kursi legislatif. Suatu kemenangan yang mencapai hampir 60% suara pemilih yang masuk. Media massa barat seperti CNN dan BBC langsung menyebutnya sebagai suatu Political Earthquake. Semua fihak dibuat terkejut. Padahal Pemilu yang diadakan sarat kecurangan yang dilakukan oleh fihak pemerintah PLO yang berkuasa dibawah kepemimpinan partai Fatah. Padahal Hamas merupakan organisasi yang baru pertama kali berpartisipasi dalam pemilu..!
"Kemenangan Hamas yang berhasil meraih hampir 60 persen suara rakyat Palestina dalam pemilu membuktikan bahwa rakyat Palestina mendukung jihad dan perlawanan terhadap penjajahan Zionis Israel," ujar Syeikh Abu Bakar Al-Awawida. Lalu ia melanjutkan, "Dalam hal ini, bukan berarti Hamas mengikuti konsep demokrasi ala Barat. Demokrasi itu semata-mata hanya sebagai ‘wasilah’ (sarana), Hamas mengambil manfaat dari demokrasi untuk menuju kemenangan, untuk membela agama dan umat dan bukan untuk kepentingan Hamas."
Berarti upaya AS, Eropa, Israel dan antek-antek mereka di Palestina dalam tubuh Fatah, untuk membentuk opini publik bahwa jihad dan perlawanan bukanlah pilihan rakyat Palestina melalui hasil Pemilu 2006 tersebut terbukti salah. Lalu ketika akhirnya fihak Barat tidak mengakui kemenangan poltik Hamas, maka mereka lalu berkonspirasi untuk memerangi rakyat Palestina melalui perang fisik yang tidak seimbang. Fihak Hamas-pun meladeninya dengan heroisme jihad dan perlawanan yang memang merupakan watak orisinal perjuangan gerakan ini. Dan melalui Ma’rokah Al-Furqon (perang Gaza) yang berlangsung selama 22 hari di akhir Desember 2008 hingga Januari 2009 Hamas kembali membuktikan kepada dunia bahwa rakyat Palestina memang berfihak kepada jihad dan perlawanan bukan kepada jalan damai dan negosiasi menghadapi musuh Zionis Yahudi Israel. Sehingga selama perang berlangsung tidak ada terdengar seorangpun warga Gaza maupun Tepi Barat yang menyalahkan Hamas, kecuali dari para politisi Fatah yang memang dengki dan berseberangan dengan gagasan al-jihad wal-muqowwah (jihad dan perlawanan).
Saudaraku, belajar dari pengalaman Hamas berarti ada beberapa kesimpulan yang sepatutnya diambil oleh setiap organisasi, jamaah, da’wah, harokah (gerakan) dan partai Islam bila hendak berpartisipasi dalam sistem kafir Demokrasi ala Barat, khususnya Pemilu:
Pertama, Hamas memandang Pemilu -sebagai bagian dari sistem Demokrasi- merupakan sebuah sistem di luar Islam yang bisa dijadikan kuda tunggangan untuk meraih sasaran antara perjuangan. Di dalamnya mengandung unsur mafsadat (kerusakan) dan maslahat (manfaat). Partai Hamas memastikan bahwa institusinya telah cukup immune untuk tidak terkontaminasi oleh mafsadatnya dan cukup yakin sanggup memetik maslahatnya. Oleh karenanya Hamas telah melakukan assessment yang akurat dan teliti akan dukungan masyarakat terhadap ide-ide Partai Hamas.
Kedua, hendaknya ada sasaran kuantitatif yang bisa diukur untuk memastikan bahwa ide Partai didukung oleh masyarakat. Dalam hal Hamas, ide yang mereka usung adalah al-jihad wal-muqowwah (jihad dan perlawanan). Dan mereka secara tegas menawarkannya kepada publik. Sedikitpun mereka tidak surut dalam menawarkan gagasan militannya itu. Mereka sejak awal telah secara tegas mengumumkan kepada publik bahwa Hamas tidak akan menempuh jalan damai dan negosiasi dalam menghadapi musuh Zionis Yahudi Israel.
Ketiga, Hamas tidak pernah tunduk kepada selera masyarakat dalam berpolitik, khususnya dalam tampilan kampanyenya. Malah Hamas-lah yang mengarahkan masyarakat. Dan mengingat bahwa kerja tarbiyyah, khairiyyah-ijtima’iyyah dan al-jihad wal-muqowwamah telah berlangsung dengan kokoh dan meluas di tengah masyarakat, maka Hamas cukup confident untuk memastikan mereka bakal memenangkan suara rakyat. Dan terbukti dalam realita bahwa estimasi mereka bukanlah sekadar asumsi apalagi mimpi di siang bolong.
Keempat, Hamas membuktikan dirinya sebagai sebuah partai Islam yang tidak sekedar pandai menebar janji. Bahkan jauh sebelum berpartisipasi dalam Pemilu Hamas telah membuktikan janji-janji yang kemudian dilontarkannya di masa menjelang Pemilu. Sehingga bagi rakyat mereka tidak perlu bertanya apakah janji Hamas sanggup ditepati atau tidak, karena yang terjadi selama ini ialah bukti lapangan telah ditunjukkan sebelum janji dilontarkan.
Kelima, sejak hari pertama berkiprah di tengah masyarakat Hamas tanpa ragu telah mengedepankan identitas Islam. Mereka tidak pernah seharipun meninggalkan dan menanggalkan identitas dan ideologi Islam dalam berjuang, sebab mereka sangat yakin bahwa kemuliaan hanyalah bersama Iman dan Islam dan sebaliknya bila meninggalkan Iman dan Islam kehinaanlah yang akan didapat di dunia dan siksa pedih menanti di akhirat. ”Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab dan ingkar terhadap sebahagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat.” (QS AlBaqarah ayat 85)
Keenam, Hamas telah sukses membuktikan bahwa Pemilu/Demokrasi hendaknya hanya dijadikan sebatas kuda tunggangan untuk benar-benar hanya menawarkan Islam sebagai solusi tunggal kehidupan ke-ummatan dan bernegara. Hamas tidak pernah malu-malu mengumumkan bahwa Syariat Islam merupakan cita-cita bersama. Sehingga masyarakat Palestina tidak pernah memiliki kesamaran dalam melihat maksud dan tujuan Partai Hamas. Sehingga jelas sekali perbedaan antara Hamas sebagai partai Islam dengan Fatah sebagai partai nasionalis-sekularis. Sehingga batallah anggapan yang mengatakan bahwa Hamas terjebak terjebak dalam permainan sistem kafir demokrasi sebagaimana banyak partai-partai Islam kebanyakan di negeri lainnnya.
Ketujuh, Hamas dengan mudah dan relatif cepat memperoleh dukungan dan kepercayaan luas masyarakat karena mereka sukses membuktikan dirinya bukan sekedar sebuah partai politik yang hanya haus dan sibuk mengejar kekuasaan. Hamas dikenal luas sebagai sebuah organisasi multidimensi mencakup aspek da’wah, tarbiyyah, sosial-kebajikan, jihad-perlawanan dan politik.
‘Janganlah kamu bersikap lemah, dan janganlah (pula) kamu bersedih hati, padahal kamulah orang-orang yang paling tinggi (derajatnya), jika kamu orang-orang yang beriman.” (QS Ali Imran ayat 139)