Allah subhaanahu wa ta’aala memerintahkan ummat Islam agar mengajak manusia ke jalan Allah ta’aala. Pengertian mengajak manusia ke jalan Allah ta’aala menunjukkan bahwa kegiatan da’wah haruslah bersih dari tujuan selain menuju keridhaan Allah ta’aala. Seorang muslim yang mau berda’wah harus memastikan dirinya bersikap ikhlas hanya mengajak manusia ke jalan Allah ta’aala semata.
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ
”Serulah (manusia) kepada jalan Rabb-mu (Allah ta’aala).” (QS AnNahl ayat 125)
Mengajak manusia ke jalan Allah ta’aala berarti membebaskan diri dari segenap kepentingan lainnya, termasuk kepentingan mengajak manusia ke diri sang da’i itu sendiri. Ia tidak punya ambisi untuk membesarkan dirinya sebab ia tahu bahwa yang patut dibesarkan hanyalah Allah ta’aala dan ajaranNya, yakni Al-Islam. Bahkan ia tidak berambisi membesarkan kelompok, organisasi, partainya karena ia tetap faham bahwa yang lebih utama untuk dibesarkan bukanlah kelompok, organisasi, maupun partainya melainkan Allah ta’aala dan ajaran-Nya, yakni Al-Islam. Seorang da’i tidak perlu bersedih hati bila ummat kecewa dan menjauh dari dirinya, sebab yang paling penting bagi sang da’i ialah jangan sampai ummat kecewa dan menjauh dari Allah ta’aala serta ajaran-Nya, Al-Islam.
Kesadaran akan hal ini tentunya sangat membutuhkan kesungguhan serta keberanian untuk berpegang-teguh kepadanya. Sebab manusia memiliki kecenderungan untuk ananiyah (berorientasi pada ego-nya). Ia sering menjadikan standar nilai dirinya sebagai standar penilaian terhadap segala sesuatu yang ada di sekitarnya. Di sinilah pentingnya Allah ta’aala memerintahkan manusia agar mencelupkan dirinya ke dalam shibghah (celupan) Allah ta’aala. Hendaknya diri sang da’i-lah yang masuk ke dalam pewarnaan Islam. Jangan di balik. Jangan sampai Islam yang harus tunduk mengikuti selera pribadi sang da’i.
صِبْغَةَ اللَّهِ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ صِبْغَةً وَنَحْنُ لَهُ عَابِدُونَ
“Shibghah Allah. Dan siapakah yang lebih baik shibghahnya daripada Allah? Dan hanya kepada-Nya-lah kami menyembah.” (QS Al-Baqarah ayat 138)
Janganlah seorang da’i menghalalkan sesuatu yang sesungguhnya Allah ta’aala haramkan semata karena ia melihat ada kemaslahatan bagi dirinya di sana. Atau sebaliknya ia mengatakan suatu perintah kewajiban dari Allah ta’aala tidak bersifat wajib hanya karena dirinya belum sanggup melaksanakannya.
Demikian pula bila seorang da’i atau aktifis bergabung dalam sebuah kelompok, organisasi atau partai. Hendaknya ia waspada jangan sampai group values lebih mendominasi dirinya daripada Islamic values yang semestinya ia perjuangkan. Ia harus sadar bahwa betapapun ia bergabung dengan sebuah kelompok namun kelompok itu terdiri atas kumpulan manusia yang tidak bebas dari kemungkinan kesalahan dan penyimpangan. Oleh karenanya ia mesti selalu mengevaluasi apakah organisasi yang ia perjuangkan masih on the right track di jalan Allah ta’aala. Ataukah ia telah keluar dan menyimpang dari jalan yang haq. Sebab Rasulullah Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengarahkan seorang muslim agar jangan sampai terjebak dalam fanatisme kelompok.
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَيْسَ مِنَّا مَنْ دَعَا إِلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ قَاتَلَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ وَلَيْسَ مِنَّا مَنْ مَاتَ عَلَى عَصَبِيَّةٍ
Sesungguhnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam bersabda: “Tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang menyeru kepada ashobiyyah (fanatisme kelompok). Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang berperang atas dasar ashobiyyah (fanatisme kelompok). Dan tidaklah termasuk golongan kami barangsiapa yang terbunuh atas nama ashobiyyah (fanatisme kelompok).” (HR Abu Dawud 13/325)
Hendaknya setiap aktivis da’wah dan aktivis Islam menyadari bahwa dewasa ini kita hidup di dalam zaman yang penuh fitnah. Zaman di mana kekalahan sedang melanda ummat Islam di berbagai lini kehidupan. Zaman ini merupakan the darkest ages of the Islamic era. Maka dalam situasi seperti sekarang ini di antara induk persoalan ummat Islam ialah raibnya institusi-formal khilafah Islamiyyah yang bisa menaungi segenap ummat Islam dalam suatu jama’atul muslimin tunggal.
Dewasa ini ummat Islam hidup laksana anak-anak ayam kehilangan induk. Terpecah-belah dan tidak terintegrasi dalam satu organisasi, kelompok, himpunan ataupun partai tunggal. Maka bila ummat Islam kemudian secara terpisah-pisah membentuk kelompok, organisasi, himpunan, jama’ah atau partai masing-masing hal ini tidaklah mengherankan karena ia merupakan tuntutan ummat untuk ber-’amal jama’iy (mengekspresikan aspirasi perjuangan bersama).
Namun yang perlu disadari ialah bahwa tidak satupun di antara kelompok, organisasi, himpunan, jama’ah atau partai tersebut yang dibenarkan meng-claim dirinya sebagai representasi tunggal jama’atul muslimin sebab tidak satupun di antara mereka yang sanggup menghimpun seluruh ummat Islam sedunia. Paling jauh mereka hendaknya menyadari bahwa kelompok, organisasi, himpunan, jama’ah atau partainya merupakan sebuah jama’atun minal muslimin (jama’ah yang menghimpun sebagian ummat Islam).
Oleh karenanya dalam dunia di mana khilafah Islamiyyah sedang absen, maka salah satu penyakit kronis yang perlu dihindari oleh suatu gerakan da’wah atau gerakan Islam ialah ashobiyyah (fanatisme kelompok). Sebab bila ashobiyyah telah merasuki suatu kelompok berarti kelompok tersebut tidak lagi mengajak manusia ke jalan Allah ta’aala melainkan mengajak manusia ke jalan kelompok tersebut. Group values menjadi lebih dominan daripada Islamic values. Bila demikian adanya berarti kelompok tersebut telah berjalan keluar rel ke-ikhlas-an serta terjebak ke dalam apa yang Allah ta’aala peringatkan di dalam kitab-Nya. Lawan dari sikap ikhlas adalah berlaku syirik(mempersekutukan Allah ta’aala).
وَلَا تَكُونُوا مِنَ الْمُشْرِكِينَ مِنَ الَّذِينَ فَرَّقُوا دِينَهُمْ
وَكَانُوا شِيَعًا كُلُّ حِزْبٍ بِمَا لَدَيْهِمْ فَرِحُونَ
”…dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.”
(QS Ar Ruum ayat 31-32)