Tauhid terdiri atas dua sisi yang mesti hadir secara simultan. Di satu sisi ada keharusan untuk memfokuskan ibadah (pengabdian/penghambaan) kepada Allah سبحانه و تعالى semata, dan di lain sisi ada keharusan untuk menjauhi dan mengingkari segala bentuk thaghut. Ada kewajiban ber-wala (menyerahkan kesetiaan/loyalitas) kepada Allah سبحانه و تعالى dan ada kewajiban untuk ber-baro (melepaskan diri/disasiosiasi) dari segala macam dan bentuk thaghut. Inilah pesan abadi para utusan Allah سبحانه و تعالى sepanjang zaman.
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan ), “Sembahlah Allah (saja) dan jauhilah Thaghut itu.” (QS. An-Nahl [16] : 36)
Tidak sah iman seorang muslim bila ia hanya sibuk menghamba kepada Allah سبحانه و تعالى namun ia tidak bersedia menjauhi dan mengingkari thaghut. Bagaimana mungkin seorang yang mengaku muslim dikatakan ber-tauhid bilamana di satu sisi ia beribadah kepada Allah سبحانه و تعالى namun di lain sisi ia mendekat bahkan bekerjasama dengan thaghut? Tidak sah imannya! Bukan tidak sempurna imannya, tetapi tidak sah. Mengapa? Karena ibarat coin yang memiliki dua muka, tidak dapat dikatakan coin jika hanya terdiri dari satu muka saja. Demikian pula dengan iman tauhid seorang muslim. Tidak disebut tauhid jika hanya mengandung ibadah kepada Allah سبحانه و تعالى sedangkan menjauhi dan mengingkari thaghut tidak ada. Hadirnya tauhid di dalam diri seseorang ialah ketika ia beribadah kepada Allah سبحانه و تعالى seraya menjauhi serta mengingkari berbagai jenis thaghut. Sehingga Allah سبحانه و تعالى berfirman:
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى لا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat (La ilaha illa Allah) yang tidak akan putus.” (QS. Al-Baqarah [2] : 256)
Thaghut-thaghut itu banyak sekali dan ada lima di antaranya yang merupakan thaghut utama alias pentolan thaghut:
- Syaitan yang selalu mengajak untuk beribadah kepada selain Allah سبحانه و تعالى
- Pemerintah yang zalim yang merubah hukum-hukum Allah سبحانه و تعالى
- Orang yang memutuskan hukum dengan sesuatu yang bukan diturunkan Allah سبحانه و تعالى
- Orang yang mengklaim mengetahui hal yang Ghaib, padahal itu hak khusus Allah سبحانه و تعالى
- Segala sesuatu yang disembah selain Allah سبحانه و تعالى , sedangkan dia rela dengan penyembahan tersebut
Inilah lima pentolan thaghut. Setiap orang yang mengaku muslim wajib menjauhi dan mengingkari semua thaghut di atas. Jika tidak, berarti ia telah mengingkari ikrar keimanannya atau tauhid-nya. Dan sah-tidaknya iman seseorang bergantung kepada pengingkarannya kepada thaghut. Bila ia tidak mengingkari thaghut berarti imannya tidak sah. Walaupun ia rajin sholat, puasa di bulan Ramadhan, bersedekah dan berbagai amal kebaikan lainnya, namun bila ia mendekat apalagi bekerjasama dengan thaghut, berarti apa yang ia kerjakan tidak mendapat penilaian di sisi Allah سبحانه و تعالى . Mengapa demikian? Karena orang yang tidak sah imannya alias tidak sah tauhidnya, berarti ia telah syirik. Sebab lawannya tauhid adalah syirik, mempersekutukan Allah سبحانه و تعالى . Dan barangsiapa terlibat di dalam dosa syirik, semua kebaikan yang pernah ia lakukan di dunia akan terhapus dan tidak memperoleh penilaian apapun di sisi Allah سبحانه و تعالى . Wa na’udzubillaahi min dzaalika..!
لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Sungguh, bila kamu berbuat syirik, niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (QS. Az-Zumar [39] : 65)
Dan Allah سبحانه و تعالى telah memperingatkan bahwa sekadar mengaku beriman, tetapi tidak memenuhi konsekuensinya, maka sangat boleh jadi seseorang terjatuh kepada kemusyrikan:
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلا وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” (QS. Yusuf [12] : 106)
Pada tulisan sebelumnya berjudul “Lima Pentolan Thaghut (1)” kami telah membahas pentolan thaghut yang pertama yaitu “syaitan yang selalu mengajak untuk beribadah kepada selain Allah سبحانه و تعالى”. Lalu pada tulisan berikutnya yang berjudul “Lima Pentolan Thaghut (2) Pemerintah Zalim” kami telah membahas pentolan thaghut yang kedua. Kemudian pada tulisan berikutnya yang berjudul “Lima Pentolan Thaghut: (3) Yang Memutuskan Bukan Dengan Hukum Allah” kami telah membahas pentolan thaghut ketiga. Dan pada tulisan “Lima Pentolan Thaghut: (4) Yang Mengaku Tahu Perkara Ghaib Selain Allah” kami telah membahas pentolan thaghut keempat.
Maka pada tulisan kali ini kita akan membahas pentolan thaghut yang kelima, yaitu “Orang yang diibadati selain Allah سبحانه و تعالى dan dia rela dengan peribadatan itu”.Thaghut jenis ini seringkali tampil dalam bentuk para pemuka agama. Mengapa pemuka agama bisa menjadi thaghut?
Karena mereka merupakan fihak yang seringkali mendapat pernghormatan dari masyarakat, jamaah, murid-murid, anak-buah, kader-kader di sekeliling dirinya. Jika menyikapi penghormatan tersebut mereka tidak sanggup menata hati dan fikirannya untuk tetap bersikap “tawadhu” (rendah hati), niscaya ia akan berkembang menjadi melampaui batas. Akhirnya pemuka agama itu menjadi lupa diri, kemudian mengeluarkan pendapat atau fatwa yang tidak dilandasi oleh ayat Allah سبحانه و تعالى (Al-Qur’an) atau Hadits Nabi Muhammad صلى الله عليه و سلم. Seenaknya saja ia mengeluarkan pendapat pribadinya tanpa mengacu kepada Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya صلى الله عليه و سلم sebab ia sudah terlalu senang dan bangga akan sikap tsiqoh (kepercayaan) serta tho’ah (ketaatan) dari jamaahnya yang selalu memandangnya sebagai Kyai, Ajengan, Mursyid, Habib, Imam, Amir, Ustadz atau Qiyadah yang tidak pernah salah, selalu benar dalam ucapan maupun perbuatan. Jiwa kritis dari orang-orang di sekelilingnya menjadi mati. Tradisi keilmuan diganti dengan pola indoktrinasi. Keharusan memahami diganti dengan sikap dogmatis dalam mempercayai dan mematuhi sang pemuka agama.
عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ قَالَ أَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِي عُنُقِي صَلِيبٌ مِنْ ذَهَبٍ فَقَالَ يَا عَدِيُّ اطْرَحْ عَنْكَ هَذَا الْوَثَنَ وَسَمِعْتُهُ يَقْرَأُ فِي سُورَةِ بَرَاءَةٌ { اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ } قَالَ أَمَا إِنَّهُمْ لَمْ يَكُونُوا يَعْبُدُونَهُمْ وَلَكِنَّهُمْ كَانُوا إِذَا أَحَلُّوا لَهُمْ شَيْئًا اسْتَحَلُّوهُ وَإِذَا حَرَّمُوا عَلَيْهِمْ شَيْئًا حَرَّمُوهُ
Adi bin Hatim ra berkata, “Aku mendatangi Nabi صلى الله عليه و سلم dan di leherku ada salib emas, beliau bersabda, ‘Hai Adi, buanglah patung ini darimu.’ Dan aku mendengar beliau membaca dalam surat Al-Baraa`ah:
اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ
“Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb-Rabb selain Allah.” (QS At-Taubah [9] : 31) beliau bersabda, ‘Ingat, sesungguhnya mereka (kaum Yahudi dan Nasrani) tidak menyembah orang-orang alim dan rahib-rahib tersebut, tapi bila para pemuka agama itu menghalalkan sesuatu, mereka menghalalkannya dan bila mengharamkan sesuatu, mereka mengharamkannya’.” (Hadits Hasan Riwayat Tirmidzi No. 3020)
Berdasarkan hadits di atas bila suatu kaum sedemikian mempercayai dan mentaati para pemuka agama sampai memberikan hak menetapkan halal dan haram kepada mereka, berarti itu merupakan suatu bentuk peribadatan. Para pemuka agama tersebut telah menjadi Rabb-Rabb selain Allah سبحانه و تعالى . Tidak perlu umat itu bersujud atau menyembah di hadapan para pemuka agama, cukup dengan menghalalkan apa-apa yang mereka halalkan padahal Allah سبحانه و تعالى haramkan, atau mengharamkan apa-apa yang mereka haramkan padahal Allah سبحانه و تعالى halalkan, maka itu berarti para pemuka agama tersebut telah diibadati oleh umat, dan itu berarti pemuka agama tadi telah berubah menjadi thaghut..!
Hak menetapkan at-tahlil wat-tahrim (halal dan haram) merupakan hak khusus Allah سبحانه و تعالى . Sehingga Nabi صلى الله عليه و سلم bersabda:
الْحَلَالُ بَيِّنٌ وَالْحَرَامُ بَيِّنٌ
Rasulullah صلى الله عليه و سلم bersabda: “Yang halal sudah jelas dan yang haram juga sudah jelas.” (Hadits Shahih Riwayat Al-Bukhari No. 50)
Para thaghut jenis ini seringkali mengeluarkan pendapat berdasarkan fikiran pribadi, tanpa menimbang bagaimana sebenarnya menurut Allah سبحانه و تعالى dan RasulNya صلى الله عليه و سلم. Lalu karena tsiqoh dan taat dari jamaahnya sudah tertanam sedemikian rupa, akhirnya mereka tidak pernah dikritisi. Bahkan jika ada di antara muridnya yang sedikit saja menunjukkan keingintahuan yang di atas rata-rata murid lainnya, lalu bertanya: “Ya Syaikh, atau pak Kyai, atau Pak Habib, kira-kira apa yang tadi dijelaskan bisa kita rujuk ke surah berapa ayat berapa di dalam Al-Qur’an? Atau di dalam hadits Nabi صلى الله عليه و سلم yang mana?” Maka pertanyaan seperti ini seringkali tidak perlu dijawab oleh sang pemuka agama, sebab salah seorang muridnya akan segera menghardiknya dengan mengatakan: “Hai fulan, kurang ajar sekali kamu dengan Syaikh kita, atau pak Kyai, atau pak Habib…! Apakah kamu tidak tsiqoh dengan beliau? Kamu mesti percaya donk dengan apa yang dikatakannya…! Sudahlah, kalaupun dijelaskan kamu juga tidak akan cukup ilmu untuk memahaminya. Taat sajalah…!” Maka di dalam majelis para pemuka agama yang telah menjadi thaghut ini biasanya atmosfir keilmuan sudah redup. Yang ada hanyalah doktrin dan dogma yang mesti dipatuhi. Jika tidak, maka si murid “nakal” tersebut akan dihukum bahkan akan dicabut pengakuannya sebagai murid majelis sang pemuka agama yang telah menjadi thaghut tersebut.
Oleh karenanya Allah سبحانه و تعالى mengkritik kaum Nasrani yang memperlakukan Nabiyullah Isa alahis-salam berlebihan sehingga diyakini sebagai tuhan atau anak tuhan. Allah سبحانه و تعالى berfirman:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah سبحانه و تعالى berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan kenabian, lalu dia berkata kepada manusia: “Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah سبحانه و تعالى .” Akan tetapi (dia berkata): “Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (QS. Ali-Imran [3] : 79)
Nabiyullah Isa alaihis-salam telah diberikan oleh Allah سبحانه و تعالى Al-Kitab Injil, hikmah dan kenabian. Tidak mungkin beliau kemudian malah menyuruh manusia untuk menyembah dirinya bukan menyembah Allah سبحانه و تعالى . Jadi, adalah satu tuduhan keji bila kaum Nasrani yang mengaku pengikut Nabi Isa alaihis-salam mengatakan bahwa Isa merupakan tuhan atau anak tuhan. Malah yang pantas dikatakan oleh seorang berstatus seorang Nabi dan telah memperoleh wahyu dari Allah سبحانه و تعالى ialah: “Hendaklah kamu menjadi orang-orang Rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.”
Artinya, seorang Nabi atau pemuka agama sejati adalah orang yang senantiasa menghidup-suburkan budaya belajar dan mengajar di dalam majelis yang dipimpinnya. Seorang pemuka agama sejati akan dengan senang hati menuntun dan membimbing murid-muridnya menjadi orang-orang yang cinta ilmu, gemar belajar dan senang mengajar. Sehingga tradisi bertanya bukanlah suatu aib atau bentuk kekurangajaran, tetapi tradisi bertanya merupakan bukti keberhasilan pemuka agama tersebut di dalam membentuk murid-muridnya menjadi Rabbaniyyiin. Bila budaya bertanya segera diartikan sebagai suatu ketidak-tsiqohan dan ketidak-taatan murid kepada gurunya, berarti sangat besar kemungkinan sang Kyai, Ajengan, Mursyid, Habib, Imam, Amir, Ustadz atau Qiyadah yang memimpin majelis, jamaah, tarekat, perkumpulan, organisasi atau partai tersebut telah berkembang menjadi seorang thaghut. Wa na’udzu billaahi min dzaalika…!
اللَّهُمَّ إِنَّا نَعُوذُ بِكَ مِنْ أَنْ نُشْرِكَ بِكَ شَيْئًا نَعْلَمُهُ وَنَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لَا نَعْلَمُ
”Ya Allah, sesungguhnya kami berlindung kepada-Mu dari menyekutukan-Mu dengan sesuatu yang kami mengetahuinya dan kami meminta ampun kepada-Mu terhadap apa yang kami tidak ketahui”. (HR. Ahmad No. 18781)