Di dalam menerangkan makna ghurur, Dr Sayyid Muhammad Nuh menyebutnya sebagai perasaan i’jab (bangga) seorang aktivis terhadap dirinya sendiri dengan merendahkan dan meremehkan segala sesuatu yang timbul dari orang lain, tetapi tidak sampai merendahkan orangnya. Adapun secara lughawi (bahasa) ghurur bermakna “sesuatu yang menipu, yang memperdayakan”. Apa sebab timbulnya ghurur? Masih menurut Dr SM Nuh, ia menempatkan “tidak melakukan muhasabah (introspeksi) terhadap diri sendiri” sebagai sebab paling pertama yang terkait dengan “ke-tidak mauan melihat kekurangan dan kelemahan-kelemahan diri sendiri”. (Terapi Mental Aktivis Harakah hal 169-171)
Jadi, melakukan muhasabah terhadap diri sendiri merupakan hal yang sangat penting bilamana seseorang atau sekelompok orang ingin terhindar dari penyakit ghurur. Penghalang utama keberhasilan muhasabah ialah ke-tidak mauan melihat kekurangan dan kelemahan-kelemahan diri. Artinya, seorang atau sekelompok aktivis gagal menyingkap kekurangan dan kelemahan diri bukan karena tidak mampu, melainkan karena tidak mau. Mereka cenderung mengabaikannya.
Dan hal ini disebabkan terlalu besarnya perhatian ditujukan kepada keberhasilan. Keberhasilan itu bisa berupa sanjungan, respect, pujian, sambutan atau dukungan material dan finansial dari masyarakat. Begitu besarnya konsentrasi perhatian ditujukan kepada antusiasme masyarakat atas keberhasilan dirnya, sehingga ia mengabaikan sisi-sisi kelemahan diri yang potensial menimbulkan penolakan – setidaknya keraguan- masyarakat. Ironisnya, bilamana ada yang menasihati agar tidak hanya memperhatikan aspek keberhasilan semata, tetapi juga aspek kelemahan, ia memandang pemberi nasihat tersebut sebagai seorang pesimis. Bila ada yang mengingatkannya agar tidak ghurur dan bermimpi, ia menepisnya dengan mengatakan bahwa si pemberi nasihat hendaknya membangun optimisme dan hamasah (semangat). Bahkan ketika ada yang secara tegas mengungkap kelemahan dirinya, ia cenderung berkata:”Anda jangan mendramatisasi persoalan, donk!”
Memang, bersikap adil –terlebih terhadap diri sendiri- bukanlah perkara mudah. Sehingga Allah swt menegaskan secara khusus:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَى أَنْفُسِكُمْ
“Hai orang-orang beriman, jadilah kalian benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri…” (QS An Nisaa ayat 135)
Indonesia merupakan negeri dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia saat ini. Artinya, jatuh-bangunnya umat Islam Indonesia merupakan concern banyak fihak. Fihak pendukung Islam di luar Indonesia berharap kejayaan bagi umat Islam Indonesia. Fihak penentang Islam di luar Indonesia tentu berharap sebaliknya.
Kesadaran akan hal ini tentu menuntut persiapan yang matang. Sebab ibaratnya Indonesia berperan sebagai barometer kebangkitan atau keruntuhan Islam dan umat Islam di seluruh dunia. Kesadaran ini semestinya melahirkan komitmen umat Islam Indonesia akan pentingnya mentaati seruan Allah swt di dalam surah Al-Anfaal ayat 60
وَأَعِدُّوا لَهُمْ مَا اسْتَطَعْتُمْ مِنْ قُوَّةٍ وَمِنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُرْهِبُونَ بِهِ عَدُوَّ اللَّهِ وَعَدُوَّكُمْ
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka segala jenis kekuatan yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuh kalian…”
Allah tidak akan terima persiapan dari kita yang bersifat sekedarnya. Allah meminta kita melakukan suatu comprehensive preparation atau persiapan menyeluruh
الاعداد الكامل
(al-I’dad al-kaamil). Bukan saja kita dituntut mempersiapkan kekuatan aqidah dan akhlaq. Melainkan juga kekuatan ilmu, harta, ukhuwwah (persaudaraan), wahdah (persatuan-kesatuan), jamaah, da’wah dan jihad. Bukan saja kita dituntut mempersiapkan kekuatan ideologi. Melainkan juga kekuatan politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, pendidikan, pertahanan dan keamanan.
Ringkasnya, setiap pemimpin ummat ini –atau siapa saja yang merasa dirinya pemimpin ummat ini- semestinya mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut (terutama sebelum memasuki gelanggang political involvements): Sudahkah saya dan ummat di bawah saya mempersiapkan berbagai hal untuk suksesnya sebuah parpol? Perlukah saya dan kelompok saya membentuk sebuah parpol tersendiri? Tidakkah lebih baik saya dan para pendukung saya melebur ke salah satu parpol yang memang telah exist dan lebih berpeluang meraih dukungan publik?
Melihat kondisi perpolitikan di Indonesia selama ini, kita khawatir para elite politik umat tidak sempat mengajukan berbagai pertanyaan introspektif di atas. Kalaupun mereka mengajukan, kita khawatir jawaban yang mereka berikan bernuansa ghurur. Sehingga mereka cenderung menjawabnya dengan semangat “hanya melihat kelebihan-kelebihan diri dan kelompok” seraya mengabaikan “kelemahan-kelemahan diri dan kelompok”. Akibatnya, bermunculanlah berbagai parpol Islam atau parpol berbasis umat Islam bak cendawan di musim hujan. Secara kuantitas jumlahnya banyak. Namun secara kualitas –dengan segala kerendahan hati dan jiwa besar- kita harus akui persiapannya masih sebatas partial preparation.