Dalam kitab monumentalnya Fii Zhilalil Qur’an (Di Bawah Naungan Al-Qur’an) Sayyid Quthb rahimahullah memberikan sub-judul ”Jalan Islam Sangat Jelas” ketika menafsirkan surah Yusuf ayat 108. Ayat tersebut berbunyi sebagai berikut:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا
وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
”Katakanlah: "Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".
Ayat ini merupakan perintah Allah kepada para du’at ila Allah (para penda’wah yang mengajak manusia ke jalan Allah). Para aktifis da’wah Islam diperintahkan Allah agar memproklamasikan bahwa jalan yang mereka tempuh merupakan jalan yang satu dan lurus, tidak bengkok sedikitpun, tidak mengandung keraguan atau syubhat apapun. Manusia yang mereka ajak kepada Allah dan jalan Allah tidak boleh dan tidak akan menjadi bingung dan kehilangan orientasi karena para penyeru tidak mengajak kecuali kepada jalan yang satu, lurus dan jelas tersebut. Jalan tersebut merupakan jalan kebenaran abadi yang telah dilalui oleh para Nabi dan Rasul utusan Allah dari masa ke masa. Dengan seruan tunggal yakni: ”Sembahlah Allah semata dan jauhilah Thaghut.”
وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ
”Dan sesungguhnya Kami telah mengutus rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): "Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah Thaghut itu…" (QS An-Nahl ayat 36)
Lalu para aktifis da’wah Islam disuruh pula oleh Allah untuk menegaskan bahwa ”… aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata…” Mereka tidak akan mengajak manusia menuju Allah bermodalkan sekedar asumsi-asumsi atau prasangka-prasangka yang tidak jelas. Mereka hanya akan mengajak manusia menuju Allah dengan hujjah, dalil dan petunjuk yang valid dan bisa dipertanggung-jawabkan di sisi Allah yang menjadi tujuan seruan mereka itu. Sehingga ketika mengomentari bagian ini Sayyid Quthb menggambarkan sikap para aktifis da’wah Islam sebagai berikut: ”Kami berada dalam hidayah dan cahaya Allah. Kami sangat mengenal jalan kami. Kami berjalan di atasnya dengan penuh kesadaran, pengetahuan dan pengenalan. Kami sama sekali tidak akan sesat, kemudian mencari-cari petunjuk jalan dan menerka-nerka. Jalan kami adalah jalan yang meyakinkan, terang dan bercahaya. Mahasuci Allah dari apa-apa yang tidak layak dengan keagunganNya. Kami memisahkan diri, mengasingkan diri, membedakan diri dari orang-orang musyrik yang menyekutukan Allah. ”Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik".
Para da’i sepatutnya menegaskan bahwa mereka tidak sama dengan orang-orang musyrik. Seruan mereka menuju kepada Allah Yang Maha Sempurna. Sedangkan seruan kaum musyrik menuju kerugian dan kebinasaan. Seruan para da’i mengantarkan masyarakat kepada ajaran Tauhid yang dibawa oleh kafilah panjang para Nabi dan Rasul utusan Allah Yang Maha Tahu lagi Maha Bijaksana. Sedangkan seruan kaum musyrik berlandaskan prasangka dan asumsi bikinan manusia yang penuh sifat zalim lagi jahil (bodoh alias tidak berpengetahuan). Seruan para da’i mengantarkan masyarakat kepada hakikat kemerdekaan dimana setiap individu hanya menghamba kepada Allah Yang Maha Tinggi lagi Maha Mulia. Sedangkan seruan kemusyrikan menyebabkan timbulnya penghambaan manusia terhadap sesama manusia di dalam masyarakat jahiliyyah.
Selanjutnya Sayyid Quthb menulis: ”Para da’i yang menda’wahkan jalan menuju Allah harus memiliki karakteristik ini. Mereka harus memaklumatkan bahwa mereka suatu ummat yang berbeda dengan orang-orang yang tidak meyakini aqidah mereka, dan tidak berjalan di jalur mereka, dan tidak tunduk kepada kepemimpinan mereka.”
Sesungguhnya perkara pertama dan utama yang membedakan para da’i di jalan Allah dengan kaum musyrikin ialah pada urusan aqidah serta ideologi. Sebab dari perkara inilah munculnya sistem dan peradaban yang secara diameteral berbeda dan berseberangan satu sama lain. Aqidah Tauhid menghasilkan masyarakat Islam dengan karakteristik khusus dengan kondisi masyarakat khusus serta kepemimpinan Islamiyyah yang bersumber dari aqidah istimewa tersebut. Sementara kaum musyrikin membentuk masyarakat jahiliyyah dengan karakteristik khusus serta kondisi masyarakat khusus dan kepemimpinan jahiliyyah yang bersumber dari ideologi dangkal bikinan manusia yang lemah. Pantaslah bilamana Allah menggambarkan masyarakat jahiliyyah yang mengandalkan dan menuhankan tuhan-tuhan selain Allah sebagai masyarakat yang rapuh. Sedemikian rapuh laksana rumah laba-laba.
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ إِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ مِنْ شَيْءٍ وَهُوَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ وَتِلْكَ الْأَمْثَالُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ وَمَا يَعْقِلُهَا إِلَّا الْعَالِمُونَ
”Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui. Sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang mereka seru selain Allah. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Dan perumpamaan-perumpamaan ini Kami buatkan untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu.” (QS Al-Ankabut ayat 41-43)
Para du’at di jalan Allah pada satu sisi tidak cukup hanya menda’wahkan pemeluk ideologi lain agar pindah memeluk Islam, namun pada sisi lain mereka tetap berbaur dan mencair dalam masyarakat jahiliyyah. Da’wah seperti itu tidak bermanfaat dan tidak bernilai. Mereka mestinya membedakan diri dari masyarakat jahiliyyah dan juga membedakan diri dari kepemimpinan jahiliyyah.
Sesungguhnya bercampur-baur dan mencairnya mereka dalam masyarakat jahiliyyah dan tetapnya mereka dalam naungan kepemimpinan jahiliyyah pasti menghilangkan setiap kekuasaan yang dibawa oleh aqidah Islamiyyah mereka, setiap pengaruh yang mungkin diciptakan oleh da’wah mereka dan setiap daya tarik yang dimiliki oleh da’wah mereka.
Selanjutnya Sayyid Quthb menulis: ”Hakikat ini tidak hanya cocok pada sasaran da’wah Nabi ditengah-tengah kaum musyrikin. Sesungguhnya sasarannya tertuju kepada setiap jahiliyyah yang mendominasi kehidupan manusia. Jahiliyyah abad ke duapuluh satu tidak berbeda samasekali dari jahiliyyah-jahiliyyah lainnya sepanjang sejarah, baik dalam norma-normanya yang mendasar maupun isyarat-isyarat yang dominan.”
Orang-orang yang menyangka akan berhasil memetik suatu hasil dengan cara bercampur baur dengan masyarakat jahiliyyah apalagi mencampur aqidah Tauhid dengan ideologi jahiliyyah berarti tidak menyadari tabiat jalan yang telah ditempuh oleh para Nabi dan Rasul utusan Allah. Sejak awal para Nabi dan Rasul telah menyatakan aqidah Tauhid yang sangat beda dengan kemusyrikan.
وَإِلَى عَادٍ أَخَاهُمْ هُودًا قَالَ يَا قَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ
مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ إِنْ أَنْتُمْ إِلَّا مُفْتَرُونَ
”Dan kepada kaum `Aad (Kami utus) saudara mereka, Huud. Ia berkata: "Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Kamu hanyalah mengada-adakan saja.” (QS Huud ayat 50)