Seiring pergantian tahun Hijriyyah sudah sepantasnya kaum muslimin melakukan evaluasi dan introspeksi akan perjalanan sejarahnya selaku sebuah ummat. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam telah memprediksi bahwa perjalanan sejarah ummat Islam akan ditandai dengan silih bergantinya pola kepemimpinan yang berlaku. Bakal ada lima babak perjalanan sejarah ummat Islam dengan lima pola kepemimpinan sejak awal Nabi Akhir Zaman shollallahu ’alaih wa sallam tersebut diutus hingga datangnya hari Kiamat. Inilah hadits yang dimaksud:
تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا
ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ
ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ
مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا
ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا
إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
“Muncul (1) babak Kenabian di tengah kalian selama masa yang Allah kehendaki, kemudian Allah mencabutnya ketika Allah menghendakinya. Kemudian muncul (2) babak Kekhalifahan mengikuti manhaj (cara/metode/sistem) Kenabian selama masa yang Allah kehendaki, kemudian Allah mencabutnya ketika Allah menghendakinya. Kemudian muncul (3) babak Raja-raja yang menggigit selama masa yang Allah kehendaki, kemudian Allah mencabutnya ketika Allah menghendakinya. Kemudian muncul (4) babak Penguasa-penguasa yang memaksakan kehendak selama masa yang Allah kehendaki, kemudian Allah mencabutnya ketika Allah menghendakinya. Kemudian muncul babak (5) Kekhalifahan mengikuti manhaj (cara/metode/sistem) Kenabian. Kemudian Nabi diam.” (HR Ahmad)
Berdasarkan hadits di atas berarti dewasa ini ummat Islam sedang menjalani babak keempat perjalanan sejarahnya. Ummat Islam telah meninggalkan babak pertama yaitu babak kepemimpinan langsung Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam hingga beliau berpulang ke Rahmatullah. Kemudian ummat ini telah meninggalkan babak kedua yaitu babak kepemimpinan para khalifah yang berpegang teguh kepada manhaj (cara/metode/sistem) Kenabian dimana kita saksikan munculnya para Khulafa Ar-Rasyidiin (Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Ustman bin ’Affan dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ’anhum). Kemudian ummat ini meninggalkan babak ketiga yaitu babak kepemimpinan para khalifah yang masih berusaha ”menggigit” Kitabullah dan Sunnah Rasul shollallahu ’alaih wa sallam walaupun dalam pola suksesinya menggunakan cara pewarisan turun-temurun seperti pola kerajaan. Itulah babak kepemimpinan yang ditandai dengan munculnya Dinasti Bani Umayyah, Dinasti Bani Abbasiyyah dan Kesultanan Utsmani Turki. Pada babak ketiga sistem yang berlaku secara formal masih bisa dikatakan sistem Islam, hanya saja soal kepemimpinannya sangat bergantung kepada sosok figur Khalifah atau Sultannya. Bilamana ia seorang yang adil seperti Umar bin Abdul Aziz, maka keadilannya sangat dirasakan oleh masyarakat luas. Tidak sedikit juga para Sultan zalim yang berkuasa di babak ketiga tersebut. Namun satu hal yang pasti ialah ketiga babak terdahulu secara nyata telah ditinggalkan oleh ummat Islam.
Kemudian tibalah ummat ini ke dalam babak keempat, yaitu babak kepemimpinan para penguasa yang memaksakan kehendak mereka dan mengabaikan kehendak Allah dan RasulNya. Inilah babak yang sedang dialami ummat Islam dewasa ini. Tidak ada lagi kepemimpinan yang benar-benar mengembalikan segenap urusannya kepada rujukan utama ummat, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan ummat Islam tidak lagi berada dalam suatu jama’ah tunggal dengan kepemimpinan tunggal atau Imam. Ketika masih berada di babak pertama, kedua dan ketiga ummat Islam masih merasakan sistem kepemimpinan yang secara formal berlandaskan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Dan pada ketiga babak sebelumnya dunia masih menyaksikan hadirnya Jama’atul Muslimin dengan Imam tunggal yang menaungi seluruh ummat Islam tersebut. Seiring waktu keutuhan persatuan ummat Islam kian melemah sehingga pada gilirannya pecahlah entitas Jama’atul Muslimin tersebut. Puncaknya pada tahun 1924 secara resmi dibubarkanlah sistem Kekhalifahan dan mulailah ummat Islam hidup dengan kondisi terpecah-belah dalam nation-states (negara berdasarkan kebangsaan/faham nasionalisme) masing-masing. Maka mulailah ummat Islam hidup tanpa kejelasan Jama’atul Muslimin wa Imaamuhum (jamaah muslimin dan Imam mereka).
Pada hadits lainnya Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam pernah ditanya oleh sahabat Hudzaifah ibnul Yaman mengenai keadaan yang bakal menimpa ummat Islam di masa depan. Subhaanallah…! Hudzaifah rupanya memiliki pandangan futuristic (jauh ke masa depan). Beliau sangat mengkhawatirkan nasib jatuh-bangun ummat Islam. Sehingga beliau bertanya kepada Nabi shollallahu ’alaih wa sallam apakah ummat Islam akan berada dalam keadaan yang konstan atau tidak. Nabi shollallahu ’alaih wa sallam berkata tidak. Maka Hudzaifah-pun memohon arahan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam apa yang mesti dilakukan ketika keadaan ummat memburuk. Maka Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menyuruh agar berpegang teguh kepada Jama’atul Muslimin wa Imaamuhum. Namun sahabat Hudzaifah yang terkenal cerdas terus mencecar Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dengan pertanyaan berikutnya. Bagaimana jika pada masa tertentu tidak hadir Jama’atul Muslimin wa Imaamuhum..? Maka Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menyuruh agar ummat menjauhi segenap firqoh (kelompok) yang ada walaupun itu berarti harus hidup istiqomah dalam keadaan susah-payah.
كَانَ النَّاسُ يَسْأَلُونَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
عَنْ الْخَيْرِ وَكُنْتُ أَسْأَلُهُ عَنْ الشَّرِّ مَخَافَةَ أَنْ يُدْرِكَنِي
فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّا كُنَّا فِي جَاهِلِيَّةٍ وَشَرٍّ
فَجَاءَنَا اللَّهُ بِهَذَا الْخَيْرِ فَهَلْ بَعْدَ هَذَا الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ
قَالَ نَعَمْ قُلْتُ وَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الشَّرِّ مِنْ خَيْرٍ
قَالَ نَعَمْ وَفِيهِ دَخَنٌ قُلْتُ وَمَا دَخَنُهُ قَالَ قَوْمٌ يَهْدُونَ بِغَيْرِ هَدْيِي
تَعْرِفُ مِنْهُمْ وَتُنْكِرُ قُلْتُ فَهَلْ بَعْدَ ذَلِكَ الْخَيْرِ مِنْ شَرٍّ
قَالَ نَعَمْ دُعَاةٌ إِلَى أَبْوَابِ جَهَنَّمَ مَنْ أَجَابَهُمْ إِلَيْهَا قَذَفُوهُ فِيهَا
قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ صِفْهُمْ لَنَا فَقَالَ هُمْ مِنْ جِلْدَتِنَا وَيَتَكَلَّمُونَ بِأَلْسِنَتِنَا
قُلْتُ فَمَا تَأْمُرُنِي إِنْ أَدْرَكَنِي ذَلِكَ قَالَ تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ وَإِمَامَهُمْ
قُلْتُ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلَا إِمَامٌ قَالَ فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا
وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ
“Artinya: Dari Hudzaifah Ibnul Yaman rodhiallohu ta’ala ‘anhu berkata: Manusia bertanya kepada Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir jangan-jangan menimpaku. Maka aku bertanya; Wahai Rasulullah, sebelumnya kita berada di zaman Jahiliah dan keburukan, kemudian Alloh mendatangkan kebaikan ini. Apakah setelah ini ada keburukan? Beliau bersabda: ‘Ada’. Aku bertanya: Apakah setelah keburukan itu akan datang kebaikan? Beliau bersabda: “Ya, akan tetapi di dalamnya ada dakhanun”. Aku bertanya: Apakah dakhanun itu? Beliau menjawab: “Suatu kaum yang mensunnahkan selain sunnahku dan memberi petunjuk dengan selain petunjukku. Jika engkau menemui mereka maka ingkarilah”. Aku bertanya: Apakah setelah kebaikan itu ada keburukan? Beliau bersabda: “Ya”, dai – dai yang mengajak ke pintu Jahanam. Barang siapa yang mengijabahinya, maka akan dilemparkan ke dalamnya. Aku bertanya: Wahai Rasulullah, berikan ciri-ciri mereka kepadaku. Beliau bersabda: “Mereka mempunyai kulit seperti kita dan berbahasa dengan bahasa kita”. Aku bertanya: Apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku menemuinya? Beliau bersabda: “Berpegang teguhlah pada Jama’ah Muslimin dan imamnya”. Aku bertanya: “Bagaimana jika tidak ada jama’ah maupun imamnya?” Beliau bersabda: “Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”. (Riwayat Bukhari VI615-616, XIII/35. Muslim XII/135-238 Baghawi dalam Syarh Sunnah XV/14. Ibnu Majah no. 3979, 3981. Hakim IV/432. Abu Dawud no. 4244-4247.Baghawi XV/8-10. Ahmad V/386-387 dan hal. 403-404, 406 dan hal. 391-399)
Saudaraku, bukankah keadaan ummat Islam dewasa ini sangat mirip dengan yang digambarkan hadits di atas? Khususnya dalam hal bahwa:
1. Tidak ada jama’tul muslimin dan Imam tunggal yang memimpin ummat Islam. Artinya, dewasa ini yang ada hanyalah jama’ah minal muslimin (kelompok jama’ah dari sebagian ummat Islam) dengan pemimpinnya masing-masing yang tidak terkoordinasi dan terkonsolidasi. Masing-masing memandang kelompoknya sebagai yang paling patut diikuti. Penyakit ta’assub (fanatisme kelompok) merebak dengan suburnya. Bahkan tidak sedikit kelompok yang memandang jama’ahnya saja yang benar dan yang lainnya salah. Malah lebih jauh daripada itu ada yang sampai tega mengkafirkan segenap ummat Islam di luar kelompok jama’ahnya. Sebagaimana dikatakan oleh seorang penulis: ”Sebenarnya para pengamal untuk Islam (aktifis Islam) itu adalah Jama’ah minal muslimin (kumpulan sebagian dari muslimin) dan bukan Jamaatul Muslimin atau Jamaatul ‘Umm (Jamaah Induk), karena kaum muslimin sekarang ini tidak mempunyai Jamaah ataupun Imam. Ketahuilah wahai kaum muslimin, bahwa yang disebut Jamaah Muslimin adalah yang tergabung di dalamnya seluruh kaum muslimin yang mempunyai Imam yang melaksanakan hukum-hukum Alloh. Adapun jamaah yang bekerja untuk mengembalikan daulah khilafah, mereka adalah jamaah minal muslimin yang wajib saling tolong menolong dalam urusannya dan menghilangkan perselisihan yang ada di antara individu supaya ada kesepakatan di bawah kalimat yang lurus dalam naungan kalimat tauhid.”
2. Hadirnya du’aatun ilaa abwaabi jahannam (para dai yang mengajak ke pintu Jahanam). Mereka tidak mengajak manusia kepada keridhaan Allah semata dan ajaran Islam berdasarkan sunnah Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Sebagaimana dikatakan oleh seorang penulis: ”Dinyatakan dalam hadits Hudzaifah tersebut supaya menjauhi semua firqah jika kaum muslimin tidak mempunyai jamaah dan tidak pula imam pada hari terjadi keburukan dan fitnah. Semua firqah tersebut pada dasarnya akan menjerumuskan ke dalam kesesatan, karena mereka berkumpul di atas perkataan/teori mungkar (mungkari minal qaul) atau perbuatan mungkar, atau hawa nafsu. Baik yang mendakwahkan mashalih (pembangunan) atau mathami’ (ketamakan) dan mathamih (utopia). Atau yang berkumpul di atas asas pemikiran kafir, seperti; sosialisme, komunisme, kapitalisme, dan demokrasi. Atau yang berkumpul di atas asas kedaerahan, kesukuan, keturunan, kemazhaban, atau yang lainnya. Sebab mereka semua itu akan menjerumuskan ke dalam neraka Jahanam, dikarenakan membawa misi selain Islam atau Islam yang sudah diubah…!”
Saudaraku, sungguh babak keempat ini merupakan perjalanan sejarah ummat Islam yang paling kelam. Namun, yakinlah bahwa jika kita mematuhi arahan Nabi Muhammad yaitu: “Hindarilah semua firqah itu, walaupun dengan menggigit pokok pohon hingga maut menjemputmu sedangkan engkau dalam keadaan seperti itu”, insyaAllah kita akan dipertemukan dengan sesama mukmin yang menempuh jalan yang serupa dengan kita. Sehingga ketika fitnah kian mengganas bahkan hingga keluarnya puncak fitnah yakni Dajjal, insyaAllah orang-orang beriman yang mematuhi arahan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bakal tahan banting manakala yang lainnya telah ditelan dan masuk dalam perangkap fitnah Dajjal. Yang penting adalah mempertahankan iltizam (komitmen) kepada Kitabullah dan Sunnah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam di zaman penuh fitnah ini. Dan yakinlah, saudaraku bahwa orang-orang ini walau awalnya tidak saling mengenal bahkan tidak pernah saling berjumpa, insyaAllah bakal dipersatukan Allah dalam barisan penjemput Jama’atul Muslimin wa Imaamuhum yang sejati. Merekalah yang pantas diberi kepercayaan oleh Allah untuk menjemput datangnya babak kelima berdasarkan hadits perjalanan sejarah ummat Islam di atas. Sebab Nabi shollallahu ’alaih wa sallam telah bersabda:
الْأَرْوَاحُ جُنُودٌ مُجَنَّدَةٌ فَمَا تَعَارَفَ
مِنْهَا ائْتَلَفَ وَمَا تَنَاكَرَ مِنْهَا اخْتَلَفَ
“Ruh-ruh manusia diciptakan laksana prajurit berbaris, maka mana yang saling kenal di antara satu sama lain akan bersatu. Dan mana yang saling mengingkari di antara satu sama lain akan berpisah.” (HR Muslim)