Berlaku shiddiq atau jujur merupakan salah satu nilai utama dalam ajaran Islam. Shiddiq merupakan salah satu karakter utama Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Sedemikian utamanya nilai shiddiq sehingga Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menjelaskan dalam sebuah hadits betapa besar manfaatnya:
إِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِي إِلَى الْبِرِّ وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِي إِلَى الْجَنَّةِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَصْدُقُ حَتَّى يَكُونَ صِدِّيقًا
“Sesungguhnya shiddiq (jujur) mengantarkan seseorang kepada kebaikan. Dan sesungguhnya kebaikan mengantarkan seseorang kepada surga. Dan sesungguhnya seseorang yang (terus-menerus) berlaku jujur akan ditetapkan sebagai shiddiqan (orang yang jujur).” (HR. Muslim No. 5629)
Berlaku jujur terus-menerus akan menyebabkan pelakunya terbimbing untuk selalu berbuat kebaikan. Orang yang jujur adalah orang yang setia dengan nilai-nilai kebaikan. Dan bila hidupnya telah diisi dengan rangkaian perbuatan kebaikan dengan sendirinya ia telah menginvestasikan bekal untuk memasuki surga Allah ta’aala di akhirat kelak. Demikian pesan Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam yang tidak pernah berdusta.
Lebih jauh lagi Nabi shollallahu ’alaih wa sallam bahkan memberi kabar gembira kepada para shiddiqin (orang-orang jujur) bahwa jika kebiasaan berlaku jujur sudah menjadi karakter utama dirinya, maka Allah ta’aala akan menempatkan orang tersebut sebagai shiddiqan atau orang yang diberi sertifikasi oleh Allah ta’aala sebagai ”orang yang jujur”. Subhanallah…! Betapa besarnya penghargaan yang diterima seorang yang jujur. Semoga Allah ta’aala karuniakan hal ini kepada saya dan Anda…!
Namun sebaliknya, seorang yang terus-menerus sibuk dalam berdusta maka dirinya akan terbimibing untuk berbuat dosa dan pelanggaran. Orang yang berdusta memiliki kecenderungan untuk berfihak kepada pelanggaran dan dosa. Ia memandang perbuatan dosa sebagai perkara ringan bahkan menyenangkan. Dan bila hidupnya telah sarat dengan rangkaian pelanggaran dan dosa, maka secara otomatis orang itu sedang memesan tiket untuk menghuni neraka Allah ta’aala di akhirat kelak. Dan Nabi shollallahu ’alaih wa sallam menegaskan bahwa barangsiapa yang sudah terbiasa berdusta sehingga banyak berbuat pelanggaran dan dosa, maka itu berarti ia bakal distempel oleh Allah ta’aala menjadi kadzdzaaban alias ”tukang berdusta.”
وَإِنَّ الْكَذِبَ يَهْدِي إِلَى الْفُجُورِ وَإِنَّ الْفُجُورَ يَهْدِي إِلَى النَّارِ وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ عِنْدَ اللَّهِ كَذَّابًا
“Dan sesungguhnya berdusta akan mengantarkan seseorang kepada kejahatan (dosa dan pelanggaran). Dan sesungguhnya kejahatan mengantarkan seseorang kepada neraka. Dan sesungguhnya seseorang yang (terus-menerus) berdusta akan ditetapkan sebagai kadzdzaaban (tukang berdusta).” (HR. Muslim No. 5629)
Di zaman penuh fitnah dewasa ini hampir setiap hari kita dijejali dengan janji-janji yang dilontarkan oleh para pejabat publik. Termasuk janji-janji yang dilontarkan oleh para calon presiden dan para calon wakil rakyat yang sedang sangat sibuk berkampanye. Lalu pengalaman membuktikan bahwa sebagian besar janji yang dilontarkan pada masa kampanye tidak kunjung ditepati ketika akhirnya terpilih menjadi pejabat publik. Kejadian seperti ini umum sekali terjadi. Bukan hanya di negeri kita, melainkan di seantero planet ini yang sedang mempertontonkan sandiwara berpolitik yang sarat nilai-nilai kebohongan dan tipudaya. Urusan ini bukan hanya terjadi di negeri yang masih di tahap awal berdemokrasi. Bukan semata ditemukan di Indonesia, tapi dapat dijumpai pula di negeri seperti Amerika Serikat. Coba lihat kasus paling anyer yang menimpa Gubernur negara bagian Illinois.
Mendapati para pejabat publik yang dengan santainya mengingkari janji-janji muluk yang pernah mereka lontarkan menimbulkan rasa muak di dalam diri kebanyakan manusia yang merindukan atmosfir kejujuran dan kesungguhan. Namun bilamana perilaku berdusta justru didemonstrasikan oleh para pejabat publik yang dikenal luas sebagai politisi yang berjuang atas nama Da’wah Islam, maka sungguh kemuakan yang ditimbulkannya menjadi berlipat ganda. Tidakkah mereka menyimak ayat Allah ta’aala di bawah ini?
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفْعَلُونَ كَبُرَ مَقْتًا عِنْدَ اللَّهِ أَنْ تَقُولُوا مَا لَا تَفْعَلُونَ
”Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat? Amat besar kebencian di sisi Allah ta’aala bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu kerjakan.” (QS. Ash-shaff [61] : 2-3)
Bagaimana mungkin seorang yang mengatasnakmakan Da’wah Islam dalam perjuangannya dengan ringannya mengatakan bahwa ideologi tidak lagi menjadi persoalan? Bagaimana mungkin dengan ringannya ia mempromosikan faham Nasionalisme dan Pluralisme padahal ia semestinya fihak yang paling sadar dan mengerti bahaya yang terkandung di dalam faham-faham tersebut? Bagaimana mungkin ia dengan ringannya mengangkat sebagai pahlawan sosok-sosok manusia yang sesungguhnya telah mempertontonkan perilaku zalim dalam masa hidupnya?
Saudaraku, sungguh berdusta akan mengantarkan seseorang kepada rangkaian perbuatan jahat. Berdusta dalam bentuk apapun. Namun, pertanyaannya saat ini ialah rangkaian kejahatan macam apa lagi yang akan dilakukan seseorang atau sekelompok orang bilamana mereka berdusta atas nama Da’wah Islam?
Ya Allah, lindungilah kami dari berbagai jenis kejahatan yang terang-terangan maupun yang samar lagi berlindung di balik nama Da’wah di jalanMu. Aamiin.