Hidup dan berkelakuan berdasarkan petunjuk Allah subhaanahu wa ta’aala merupakan suatu tuntutan sekaligus indikator beriman tidaknya seseorang. Seorang yang beriman tentu akan berusaha keras agar segenap gerak-gerik hidupnya berada di bawah naungan dan bimbingan Allah subhaanahu wa ta’aala. Ia sadar bahwa jika ia tidak mengikuti pertunjuk ilahi, maka niscaya ia akan ditunggangi musuh Allah subhaanahu wa ta’aala, yaitu syethan. Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam menegaskan bahwa sholat berjamaah di masjid merupakan bagian penting dari SUNANUL HUDA (perilaku berdasarkan hidayah/petunjuk)
إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى الصَّلَاةَ فِي الْمَسْجِدِ الَّذِي يُؤَذَّنُ فِيهِ (صحيح مسلم)
Rasulullah s.a.w. mengajarkan kepada kami SUNANUL HUDA (perilaku berdasarkan hidayah/petunjuk), dan di antaranya ialah sholat di masjid di mana terdengar kumandang adzan. (HR Muslim 3/386)
Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam dan para shohabat radhiyallahu ’anhum ’ajma’iin telah mencontohkan kepada kita bagaimana mereka sangat peduli dan konsisten dalam menegakkan sholat lima waktu berjamaah di masjid. Sedemikian kerasnya anjuran untuk melakukannya sehingga Nabi shollallahu ’alaih wa sallam pernah mengutarakan keinginan kuat dalam dirinya untuk mendatangi rumah-rumah mereka yang tidak menyambut seruan muadzin, kemudian membakar rumah mereka.
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ أَثْقَلَ صَلَاةٍ عَلَى الْمُنَافِقِينَ صَلَاةُ الْعِشَاءِ وَصَلَاةُ الْفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُونَ مَا فِيهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْوًا وَلَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ مَعِي بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ (مسلم)
Bersabda Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam: “Sesungguhnya sholat yang paling berat bagi kaum munafik adalah sholat isya dan subuh. Andai mereka tahu apa manfaat di dalam keduanya niscaya mereka akan mendatanginya walaupun harus merangkak-rangkak. Sungguh aku ingin memerintahkan sholat untuk didirikan, lalu aku perintahkan seseorang untuk mengimami manusia dalam sholat. Kemudian aku pergi bersama mereka dengan membawa beberapa ikat kayu bakar menuju kaum yang tidak menghadiri sholat berjamaah, lalu aku bakar rumah mereka dengan api. (HR Muslim 2/123)
Suatu ketika khalifah Abu Bakar Ash-shiddiq radhiyallahu ’anhu saat berangkat menuju masjid untuk mengimami sholat melewati rumah putera beliau, Abdullah bin Abu Bakar radhiyallahu ’anhuma yang masih berstatus penganten baru. Baru beberapa bulan ia menikah dengan wanita sholehah nan cantik jelita bernama ’Atikah radhiyallahu ’anha. Ketika beliau lewat di depan rumah anaknya terdengar suara senda gurau antara suami isteri penuh kecintaan. Lalu ia berlalu dengan harapan anaknya akan segera menyusul ke masjid bergabung dengan orang-orang beriman melaksanakan sholat fardhu berjamaah. Begitu selesai mengimami sholat yang pertama kali ia cari di tengah jamaah yang sholat di belakangnya adalah anaknya, Abdullah radhiyallahu ’anhu. Satu per satu ia teliti, berkali-kali ia cari tidak ditemukan anaknya di sana.
Ketika pulang, Abu Bakar Ash-shiddiq radhiyallahu ’anhu kembali berlalu melewati rumah anaknya, sekali lagi ia dapati senda gurau, suasana penuh keceriaan, kebahagiaan, ketenteraman antara sepasang suami-isteri yang baru memasuki pelaminan, masih terdengar oleh beliau dari luar rumah. Berkali-kali Abu Bakar Ash-shiddiq radhiyallahu ’anhu ber-istighfar, dia ketuk pintu rumah anaknya dengan pelan…
Abdullah radhiyallahu ’anhu, anaknya, membuka pintu. Begitu terkejut ia ketika mendapati ayahnya di depan rumahnya. ’Atikah radhiyallahu ’anha juga begitu terperangah ketika menyadari bahwa yang datang adalah mertuanya.
Abu Bakar Ash-shiddiq radhiyallahu ’anhu mengatakan kepada Abdullah radhiyallahu ’anhu serta isterinya ’Atikah radhiyallahu ’anha: ”Wahai anakku Abdullah, kamu dapatkan kebahagiaan duniawi dengan isterimu, tapi engkau lalaikan jihad, engkau telah lalai terhadap perintah-perintah Allah subhaanahu wa ta’aala, engkau telah lalaikan sholat berjamaah.
Wahai menantuku ’Atikah, engkau tidak bisa membahagiakan anakku. Kecantikanmu, keikhlasanmu untuk berbakti kepada suamimu menyebabkan dia lalai menegakkan sholat berjamaah.
Hari ini, wahai anakku Abdullah, aku minta kau ceraikan isterimu, pisahkan dia dari tempat tinggalmu..! Talak dia dan perlakukan dia sebagaimana wanita-wanita lainnya..!”
Pucat pasi kedua pengantin baru tersebut. Akhirnya Abdullah radhiyallahu ’anhu menceraikan ’Atikah radhiyallahu ’anha. Waktu terus berjalan semenjak perceraian antara mereka berdua. Satu hari perceraian mereka, dua hari, tiga hari, satu pekan, dua pekan, Abu Bakar Ash-shiddiq radhiyallahu ’anhu melihat penderitaan mereka. Penderitaan suami yang mencintai isteri yang telah ia ceraikan. Penderitaan seorang isteri yang telah diceraikan suami yang ia cintai.
Kemudian Abu Bakar Ash-shiddiq radhiyallahu ’anhu memanggil anaknya Abdullah radhiyallahu ’anhu dengan berkata: ”Aku minta kamu rujuk kembali dengan mantan isterimu, ’Atikah. Saya izinkan kamu mengembalikan dia sebagai isterimu dengan harapan kamu jadikan ini sebagai pelajaran kecintaan kepada jihad fi sabilillah di atas kecintaanmu kepada siapapun, termasuk kepada isterimu ’Atikah.”
Ya Allah, ya Rahmaan ya Rahiim, jadikanlah kecintaan kami kepada sholat berjamaah di masjid laksana kecintaan kami kepada Engkau, RasulMu dan al-Jihad fii sabilillah yang lebih kami cintai dari apapun dan siapapun di dunia yang fana ini. Amin