Dalam buku Jahiliyyah Abad Duapuluh, Muhammad Quthb menyebutkan adanya kriteria sebuah masyarakat jahiliyyah. Ia membantah pendapat yang membatasi jahiliyyah hanya pada masyarakat Arab di masa awal da’wah Nabi shollallahu ’alaih wa sallam. Menurutnya di zaman kapanpun dan di negeri manapun suatu masyarakat pantas disebut masyarakat jahiliyyah bila memenuhi empat kriteria.
Pertama, tidak adanya iman yang sesungguhnya kepada Allah ta’aala. Yaitu, sikap yang membuktikan kesatuan antara akidah dan syariat tanpa pemisahan.
Kedua, tidak adanya pelaksanaan hukum menurut apa yang telah diturunkan Allah ta’aala, yang berarti menuruti “hawa nafsu” manusia (QS al-Maidah: 49-50).
Ketiga, hadirnya berbagai thaghut di muka bumi yang membujuk manusia supaya tidak beribadah dan tidak taat kepada Allah ta’aala serta menolak syariat-Nya. Lalu, mengalihkan peribadatannya kepada thaghut dan hukum-hukum yang dibuat menurut nafsunya. (QS al-Baqarah: 257).
Keempat, hadirnya sikap menjauh dari agama Allah ta’aala, sehingga penyelewengan menjurus kepada nafsu syahwat. Masyarakat itu tidak melarang dan tidak merasa berkepentingan untuk melawan perbuatan asusila.
Dalam poin ketiga disebutkan istilah thaghut. Apa dan siapakah thaghut? Dalam kitab Fi Zhilalil Qur’an, Sayyid Quthb menulis: “Thaghut” adalah variasi bentuk kata dari “thughyan”, yang berarti segala sesuatu yang melampaui kesadaran, melanggar kebenaran dan melampaui batas yang telah ditetapkan Allah ta’aala bagi hamba-hambaNya. Tidak berpedoman kepada aqidah Allah ta’aala, tidak berpedoman kepada syariat yang ditetapkan Allah ta’aala. Dan, yang termasuk dalam kategori thaghut adalah juga setiap manhaj “tatanan, sistem” yang tidak berpijak pada peraturan Allah ta’aala. Begitu juga setiap pandangan, perundang-undangan, peraturan, kesopanan atau tradisi yang tidak berpijak pada peraturan dan syariat Allah ta’aala.”
Adapun oknum thaghut ialah siapa saja yang memiliki otoritas kepemimpinan. Dan dalam mengelola kepemimpinannya ia berlaku melampaui batas dalam menuntut ketaatan, penghormatan dan pengagungan dari para pengikutnya. Maka sebagian ulama mendefinisikannya sebagai:
طاغوت: كل ما يعبد من دون الله من صنم أو بشر أو جن أو غير ذلك
Thaghut: “semua yang disembah selain Allah berupa berhala atau manusia atau jin atau selainnya.”
Dalam sejarah, Allah ta’aala abadikan sosok thaghut yang paling fenomenal, yakni Fir’aun. Tatkala memimpin rakyat Mesir Fir’aun berlaku sedemikian represif dalam menuntut ketaatan rakyatnya sampai ia berani memproklamirkan dirinya sebagai tuhan yang maha tinggi.
فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَى
”(Fir’aun) berkata, “Akulah tuhanmu yang paling tinggi.” (QS An-Naazi’at ayat 24)
Dalam Islam keimanan seseorang baru menjadi benar dan sempurna bila keimanannya kepada Allah ta’aala diiringi pengingkarannya akan thaghut. Ia ibarat dua sisi mata uang atau koin.
فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَى
“…barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah ta’aala, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.” (QS Al-Baqarah ayat 256)
Dalam suatu masyarakat jahiliyyah kehadiran thaghut sangat signifikan. Ada thaghut kecil, sedang dan besar. Ada thaghut organisasi, asosiasi, kelompok, suku, bangsa, lembaga, mafia atau partai. Ada thaghut perkotaan dan pedesaan. Dialah fihak atau person yang memperoleh perlakuan dalam hal ketaatan, penghormatan dan pengagungan berlebihan sampai menyaingi penghormatan, pengagungan dan ketaatan semestinya kepada Allah ta’aala.
Islam datang untuk menghapus eksistensi thaghut dalam segenap macam, bentuk dan skalanya. Sehingga semua warga menjadi hamba-hamba Allah ta’aala yang saling bersaudara, saling mencintai dan saling menghargai semata karena Allah ta’aala. Namun, dalam sebuah masyarakat jahiliyyah thaghut-thaghut yang ada saling bersaing, saling menjatuhkan dan saling berlomba memperlihatkan kebesaran pengaruh massa dan kekayaan.
Karena masyarakat orang beriman hanya mengagungkan, menghormati dan mencintai Allah ta’aala Yang Maha Esa dan Maha Tunggal di atas segala sesuatunya, maka masyarakat tersebut menjadi solid. Terpelihara kesatuan dan persatuannya karena Allah ta’aala semata. Masyarakat tersebut akan bergerak menuju cahaya yang terang. Sedangkan masyarakat jahiliyyah pasti menjadi masyarakat yang rapuh dan selalu potensial tercerai-berai, karena di dalamnya terdapat banyak thaghut yang saling berebut pengaruh dan kekuasaan. Masyarakat tersebut pasti akan menuju kegelapan yang menghancurkan.
اللَّهُ وَلِيُّ الَّذِينَ آَمَنُوا يُخْرِجُهُمْ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ وَالَّذِينَ كَفَرُوا أَوْلِيَاؤُهُمُ الطَّاغُوتُ يُخْرِجُونَهُمْ مِنَ النُّورِ إِلَى الظُّلُمَاتِ أُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
”Allah ta’aala Wali orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). Dan orang-orang yang kafir, wali-walinya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada kegelapan (kekafiran). Mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya.” (QS Al-Baqarah ayat 257)
Ketika Allah ta’aala dijadikan sebagai wali (pemimpin, pelindung dan penolong), maka orang-orang beriman akan keluar dari kegelapan kekafiran menuju cahaya iman. Sedangkan ketika orang-orang kafir menjadikan berbagai thaghut sebagai para wali mereka, maka mereka bakal menuju kegelapan kekafiran yang berujung pada derita neraka di akhirat.
Pahitnya lagi, menurut Sayyid Quthb, dalam sebuah masyarakat jahiliyyah fihak yang termasuk paling sering terjebak menjadi thaghut ialah para pemegang otoritas keagamaan. Artinya, tidak jarang ditemui dalam suatu masyarakat jahiliyyah justeru para pemuka agamalah yang menjadikan dirinya sebagai fihak yang berlebihan dalam menuntut penghormatan, pengagungan dan ketaatan dari para pengikut atau jama’ahnya.