Muhammad Quthb hafidzhohullah, adik kandung asy-Syahid Sayyid Quthb rahimahullah, menyebut dunia modern sebagai jahiliyah abad 20 atau jahiliyah modern. Menurutnya “jahiliyah” bukan hanya keadaan di jazirah Arab pada masa awal diutusnya Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam. Jahiliyah merupakan sifat yang mungkin berlaku bagi masyarakat manapun di zaman kapanpun bila memenuhi setidaknya empat kriteria.
Pada tulisan terdahulu kita telah membahas kriteria pertama yaitu tidak adanya iman yang sesungguhnya kepada Allah ta’aala, yakni sikap semestinya yang membuktikan kesatuan antara akidah dan syariat tanpa pemisahan.
Ciri kedua ialah tidak adanya pelaksanaan hukum menurut apa yang telah diturunkan Allah ta’aala, yang berarti menuruti “hawa nafsu” manusia. Padahal jelas di dalam Al-Qur’an Allah ta’aala perintahkan manusia untuk menegakkan hukum berdasarkan apa yang telah diwahyukanNya. Bila hal ini dilanggar berarti masyarakat tersebut telah menegakkan hukum berdasarkan hawa nafsu manusia bukan mengikuti arahan petunjuk ilahi. Dan sikap seperti itu menjadi indikasi bahwa mereka cenderung memilih hukum jahiliyah daripada hukum Allah ta’aala. Maka masyarakat semacam itu pantas dijuluki sebagai masyarakat jahiliyah.
Ciri ketiga ialah bilamana hadir di dalamnya berbagai thaghut yang membujuk manusia supaya tidak beribadah dan tidak taat kepada Allah ta’aala serta menolak syariat-Nya. Lalu, mengalihkan peribadatannya kepada thaghut dan hukum-hukum yang dibuat menurut nafsunya. Perkara ini sudah kita singgung dalam tulisan terdahulu berjudul ”Wali Allah Versus Wali Thaghut”.
Adapun ciri keempat suatu masyarakat jahiliyah ialah hadirnya sikap menjauh dari agama Allah ta’aala, sehingga penyelewengan menjurus kepada nafsu syahwat. Masyarakat itu tidak melarang dan tidak merasa berkepentingan untuk melawan perbuatan asusila. Sehingga dalam masyarakat seperti itu segenap upaya untuk menjunjung tinggi akhlak mulia menjadi sia-sia bahkan memperoleh penentangan hebat dari kebanyakan manusia.
Sikap menjauh dari agama Allah ta’aala menyebabkan manusia selalu menjadikan pertimbangan syar’i sebagai pertimbangan terakhir bukan pertimbangan pertama dan utama. Hampir semua kebijakan mempertimbangkan hal-hal selain agama Allah ta’aala. Misalnya, yang lebih diutamakan adalah pertimbangan ekonomi atau stabilitas nasional atau penilaian dunia internasional.
Inilah yang terjadi pada kasus kaum wanita yang berprofesi sebagai pelacur. Pemerintah dan masyarakat membiarkan bahkan mendukung eksistensi profesi tersebut dengan alasan hak berpenghasilan. Soal bahwa menurut pandangan agama Allah ta’aala hal itu haram tidak menjadi persoalan. Sampai-sampai nama profesi tersebut “diperhalus” menjadi Pekerja Seks Komersial untuk mendongkrak kehormatan para pelakunya.
Contoh lainnya ialah dibiarkannya pabrik rokok dan bisnis rokok karena cukai menjadi penambah pendapatan negara yang begitu fantastis. Soal bahwa ia merupakan perbuatan haram dari perspektif agama Allah ta’aala, maka hal itu tidak dipersoalkan. Apalagi survey membuktikan bahwa sebagian kalangan para pemuka agama Islam (baca: para kyai) masih banyak yang merokok dan berfatwa bahwa rokok hukumnya “cuma” makruh, bukan haram.
Ini pula yang menjadi argumentasi mengapa aliran-aliran sesat tetap dibiarkan beraktifitas menyebarluaskan kesesatannya di tengah masyarakat. Ahmadiyah, misalnya, tidak kunjung diberangus karena berlindung di balik alasan hak asasi manusia atau menjaga stabilitas nasional atau menjaga image di mata dunia internasional. Bahwa dari sudut pandang agama Allah ta’aala ajarannya sudah jelas-jelas menentang Allah ta’aala dan RasulNya, maka hal itu tidak pernah menjadi pertimbangan yang patut diperhatikan.
Berbagai tayangan televisi yang masuk kategori pornografi atau pornoaksi tidak kunjung berkurang apalagi berakhir karena –kata mereka- memiliki rating yang tinggi, mendatangkan banyak iklan dan profit bagi para pemiliki stasiun TV. Soal bahwa dari segi agama Allah ta’aala tayangan-tayangan seperti itu termasuk haram, maka hal ini tidak pernah menjadi perhatian para pengusaha TV. Prinsip mereka “Anjing menggonggong, kafilah berlalu.” Dengan liciknya mereka bilang: “Kami hanya melayani aspirasi masyarakat luas. Kebanyakan pemirsa TV memang menghendaki hadirnya tayangan-tayangan seperti itu.”
Saudaraku, memang perbedaan pokok masyarakat jahiliyah dengan masyarakat Islam atau masyarakat orang-orang beriman ialah pada landasan berdirinya masyarakat tersebut. Masyarakat jahiliyah bertolak dari hawa nafsu dan selera masyarakat dalam mengembangkan kehidupan dan peradaban. Sedangkan masyarakat orang-orang beriman bertolak dari ketundukan dan penghambaan diri kepada Allah ta’aala.
Kedua-duanya sama-sama mengaku ingin menegakkan kebebasan. Yang satu kebebasan dalam pengertian bebas untuk bermaksiat kapan saja dan bagaimana saja sesuka hati. Sedangkan yang satu lagi kebebasan untuk taat dan patuh hanya kepada Allah ta’aala, pemilik otoritas tertinggi di alam raya. Jahiliyah tidak pernah menyebut perbuatan manusia sebagai maksiat, melainkan kreatifitas. Sedangkan Islam tidak membenarkan adanya kebebasan untuk bermaksiat, yang dibenarkan hanyalah kebebasan untuk taat. Apapun boleh dikerjakan dan dikembangkan di dalam Islam asalkan masih dalam koridor taat kepada Allah ta’aala.
أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَهَهُ هَوَاهُ وَأَضَلَّهُ اللَّهُ عَلَى عِلْمٍ وَخَتَمَ عَلَى سَمْعِهِ
وَقَلْبِهِ وَجَعَلَ عَلَى بَصَرِهِ غِشَاوَةً فَمَنْ يَهْدِيهِ مِنْ بَعْدِ اللَّهِ أَفَلَا تَذَكَّرُونَ
وَقَالُوا مَا هِيَ إِلَّا حَيَاتُنَا الدُّنْيَا نَمُوتُ وَنَحْيَا وَمَا يُهْلِكُنَا إِلَّا الدَّهْرُ
وَمَا لَهُمْ بِذَلِكَ مِنْ عِلْمٍ إِنْ هُمْ إِلَّا يَظُنُّونَ
”Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya, dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? Dan mereka berkata: “Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa”, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” (QS Al-Jatsiyah ayat 23-24)
Masyarakat jahiliyah menjadikan segala pertimbangan hidupnya berdasarkan kepentingan yang dibatasi oleh kehidupan dunia belaka. Mereka tidak pernah dan tidak tertarik menjadikan pertimbangan agama Allah ta’aala sebagai pertimbangan pertama dan utama karena mereka tidak memiliki visi akhirat. Mereka hanya mengerti perkara dunia semata. Mereka meragukan bahkan mengingkari kehidupan akhirat. Mereka telah tertipu oleh dunia.
Sedangkan masyarakat Islam sangat peduli dengan agama Allah ta’aala. Segala sesuatu dinilai berdasarkan agama Allah ta’aala. Mengapa demikian? Karena mereka sangat bersyukur akan ni’mat Iman dan Islam yang Allah ta’aala limpahkan kepada mereka. Sebagai wujud rasa syukur itu mereka mengembangkan rasa cinta kepada keimanan dan segala sesuatu yang berkaitan dengan keimanan. Sambil sebaliknya, mereka kembangkan rasa benci terhadap kekafiran, kefasikan dan kemaksiatan.
وَلَكِنَّ اللَّهَ حَبَّبَ إِلَيْكُمُ الْإِيمَانَ وَزَيَّنَهُ فِي قُلُوبِكُمْ
وَكَرَّهَ إِلَيْكُمُ الْكُفْرَ وَالْفُسُوقَ وَالْعِصْيَانَ أُولَئِكَ هُمُ الرَّاشِدُونَ
”…tetapi Allah menjadikan kamu cinta kepada keimanan dan menjadikan iman itu indah dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus.” (QS Al-Hujurat ayat 7)
Benarlah Rasulullah shollallahu ’alaih wa sallam dengan sabdanya sebagai berikut:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ
حُجِبَتْ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ وَحُجِبَتْ الْجَنَّةُ بِالْمَكَارِهِ
“Neraka dilapisi oleh hal-hal yang menyenangkan (syahwat) manusia, sedangkan surga dilapisi hal-hal yang tidak disukai manusia.” (HR Bukhary 6006)