“Ummat Islam, sebenarnya merupakan satu jama’ah , dan maju mundurnya jama’ah ini tergantung pada pencapaian ilmu, ciri-ciri khusus (karakteristik) dan komitmen ummat terhadap Islam, ” demikian menurut Al-Ustadz Sa’id Hawwa (lihat “10 Aksioma Tentang Islam” penerbit Al-Ishlahy Press, hal. 76). Lebih tegas lagi, di dalam Badihiyat Ketujuh hal. 36 beliau katakan bahwa: “Kaum muslimin dalam suatu negara, bahkan di seluruh dunia harus merupakan satu sekutu, satu blok dan satu jama’ah. Sekutu ini adalah sekutu iman dan politik. Apapun bentuknya yang mencoba untuk memisahkan dan mengesampingkan hal ini adalah satu kekufuran dan kesesatan yang amat besar. Sekutu dan blok tersebut harus mempunyai Imam tersendiri.”
Semenjak 3 Maret 1924/ 27 Rajab 1342, kaum muslimin praktis tidak lagi memiliki institusi formal-konstitusional yang melindungi keberadaannya sebagai satu sekutu, satu blok dan satu jama’ah. Kala itu berakhirlah kejayaan Khilafah Utsmaniyah yang berpusat di Turki. Suatu kedaulatan yang membentang sedemikian luas dari Maroko di barat sampai Maluku di timur sehingga memperoleh sebutan “The Ottoman Empire” dari kaum Nasrani Eropa. Suatu kebanggaan historis yang menyebabkan orang muslim Turki dewasa ini sangat gemar memajang peta wilayah kekuasaan khilafah Utsmaniyah di dinding masjid-masjid mereka di Belanda dan Jerman. Para ulamanya masih dapat menghayati betapa Maroko, Sudan, Semenanjung Balkan, Azarbaijan, Afghanistan, India dan segenap kepulauan Nusantara merupakan bagian dari “negara milik kita, kaum muslimin bersama.” Jiwa ke-negarawan-an atau lebih tepatnya “ke-khilafahwan-an” sedemikian kuat mengalir di dalam darah mereka.
Padahal menurut sebuah hadis Nabi saw mengenai “pergantian kepemimpinan” riwayat Ahmad sesungguhnya masa khilafah Utsmaniyah Turki ini bukanlah merupakan masa kepemimpinan Islam yang ideal. Ia tidak merepresentasikan sistem Al-Khilafah ‘ala Minhaaj An-Nubuwwah atau Khilafah sesuai sistem Kenabian. Ia justeru mewakili zaman kepemimpinan Mulkan ‘Aadhdhon atau Raja-raja yang menggigit. Yaitu suatu masa kepemimpinan terpanjang di dalam sejarah Islam yang belangsung selama sekitar 13 abad semenjak Dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyyah hingga Khilafah Ustmaniyah Turki. Husain Muhammad Ali Jabir mengomentari hal ini menulis: “…umat Islam memasuki era pemerintahan baru di mana khilafah dijadikan barang warisan di antara Bani Umayyah di Syam. Setelah Bani Umayyah berakhir, tampil Bani Abbas (kerajaan Abbasiyyah) melanjutkan khilafah (baca: kerajaan) tersebut di Irak, kemudian pindah ke Mesir hingga datang Sultan Sulaim yang menjadi raja terakhir dari kerajaan Abbasiyyah ini. Sesudah itu muncul khilafah Utsmaniyah yang merupakan lembaran terakhir dari bentuk pemerintahan yang diawali oleh Bani Umayyah tersebut. Lembaran ini, sejak Bani Umayyah sampai dengan Khilafah Utsmaniyah, mencerminkan periode ketiga dari periodisasi pemerintahan yang pernah disebutkan Rasulullah saw.” (Lihat “Menuju Jama’atul Muslimin”; Rabbani Press, hal. 105)
Dalam hadits riwayat Ahmad dari Hudzaifah bin Yaman bahwa Rasulullah SAW bersabda:
تَكُوْنُ النُّبُوَّةُ فِيْكُمْ مَا شَاءَ ا للهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلآفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ اَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا عَاضًا ، فَتَكُوْنُ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا جَبَّرِيًّا ، فَتَكُوْنَ مَا شَاءَ اللهُ أَنْ تَكُوْنَ ، ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ، ثُمَّ تَكُوْنُ خِلآفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ، ثُمَّ سَكَتَ
“Masa kenabian akan berlangsung pada kalian dalam beberapa tahun, kemudian Allah mengangkatnya, setelah itu datang masa kekhalifahan atas manhaj keNabian, selama beberapa masa hingga Allah mengangkatnya, kemudian datang masa raja-raja yang menggigit selama beberapa masa hingga Allah mengangkatnya, selanjutnya datang masa raja-raja dikatator dalam beberapa masa hingga waktu yang ditentukan Allah, setelah itu akan terulang kembali kekhalifahan atas manhaj keNabian. Kemudian Rasul SAW terdiam.”
Kaum muslimin telah melampaui tiga dari lima fase perjalanan periodisasi pemerintahannya. Masa “Kenabian” telah berlalu dengan wafatnya Rasulullah Muhammad saw. Masa “Khilafah sesuai dengan sistem kenabian” telah berlalu dengan berlalunya kepemimpinan Khulafa ArRasyidin Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin ‘Affan dan Ali bin Abi Thalib semoga Allah meridhai mereka semua. Dan masa “Raja yang menggigit” telah berlalu dengan berlalunya Dinasti Umayyah, Abbasiyyah dan Utsmaniyah Turki.
Saat ini kaum muslimin, bahkan seluruh ummat manusia berada di bawah kepemimpinan pemerintahan “Mulkan Jabriyyan” (raja-raja diktator). Pada mulanya “imamah” raja diktator tersebut belum memiliki konsolidasi terpusat. Ia terbelah menjadi dua kekuatan global blok barat dan blok timur. Namun mengingat bahwa al-kufru millatun wahidah (kekufuran adalah jalan hidup yang menyatu), maka semenjak 1989 dunia menyaksikan bahwa ia dipimpin oleh satu blok tunggal, yakni blok barat. Mulailah dunia menyaksikan hegemoni “the sole international police” negeri Paman Sam dengan satelitnya yang berkoalisi di dalam institusi G-7 (AS, Inggris, Perancis, Jerman, Itali, Kanada, Jepang plus Rusia sang pendompleng). Selanjutnya future engineering (rekayasa masa depan) umat manusia dan perjalanan dunia seolah disetir dan dirancang oleh kedelapan aktor di depan layar ini. Dengan kaum yahudi-zionis-kuffar berperan secara halus, cantik dan canggih sebagai sang aktor intelektual “behind the screen” (di belakang layar). Wajarlah bilamana perjalanan peradaban umat manusia saat in cenderung membangun sebuah “godless civilization” (peradaban anti-tuhan). Karena pada hakikatnya dunia saat ini sedang dipimpin oleh fihak yang tak seorangpun di antara mereka ruku’ dan sujud di hadapan Allah swt! Inilah fihak yang disebut Al-Qur’an sebagai hizbusy-syaithan.
Tetapi kita tidak perlu berputus asa. Sebab di samping Nabi saw menjanjikan masih akan terjadinya perubahan kepemimpinan sesuai hadis di atas, kitapun dijanjikan oleh Nabi saw sebuah hadis sebagai berikut:
لَا تَزَالُ طَائِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي قَائِمَةً بِأَمْرِ اللَّهِ لَا يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ
أَوْ خَالَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللَّهِ وَهُمْ ظَاهِرُونَ عَلَى النَّاسِ
“Tidak akan hentinya ada suatu kelompok dari ummatku yang senantiasa menegakkan kebenaran. Mereka tidak dapat dicelakakan oleh siapapun yang menentang mereka atau berusaha memotong suplai fasilitas perjuangannya. Dan mereka akan selalu hadir sampai hari kiamat” (HR Bukhari dan Muslim).
Inilah fihak yang disebut Al-Qur’an sebagai hizbullah. Kehadiran hizbullah tidak dapat dipengaruhi oleh siapapun yang sedang memimpin pejalanan pemerintahan umat manusia. Dan ketika hizbusysyaithan memimpin dunia maka satu-satunya fihak yang dapat mengalahkan, setidaknya mereduksi kebatilan perencanaan hizbusysyaithan hanyalah hizbullah!
Kaum muslimin di dunia saat ini perlu mewaspadai segala rencana busuk hizbusysyaithan. Mereka tidak akan membiarkan negeri muslim manapun dipimpin oleh fihak yang dapat menghalangi niat jahat melestarikan “godless civilization” mereka. Setiap negeri muslim tanpa kecuali, termasuk Indonesia, perlu menyadari betapa sistematis dan terprogramnya upaya hizbusysyaithan mengorbitkan ataupun menjatuhkan siapa saja aktor di depan layar panggung poltik yang menurutnya perlu diorbitkan atau perlu dijatuhkan. Dan Hizbullah berada pada garis terdepan untuk memastikan bahwa betapapun pahitnya pilihan-pilihan realita sosial-politik yang ada, namun ia bertanggung-jawab untuk meng-endorse aktor yang akan dijatuhkan oleh hizbusysyaithan dan sebaliknya menolak setiap aktor kandidat pemimpin yang sejatinya diorbitkan oleh pasukan kebatilan.