Semenjak digulirkannya proyek global dengan sebutan War On Terror (Perang Melawan Terorisme), dari waktu ke waktu masyarakat disuguhi berbagai berita mengenai aksi terorisme dan kontra-terorisme yang berlangsung di berbagai belahan dunia dengan aneka ragam kasusnya. Kadang peliputan beritanya sekedar sambil lalu, namun tidak jarang peliputannya berlangsung secara lengkap dan detil dari awal hingga akhir berlangsungnya drama. Di antara peliputan yang lengkap ialah drama penyanderaan di hotel Mumbai, India serta penggrebekan ”teroris bernama Ibrahim” oleh satuan Densus 88 Polri. Setiap kali drama berlangsung media dilibatkan untuk meliput dan mempublikasikannya ke masyarakat luas. Dan selalu saja timbul reaksi beragam di tengah masyarakat. Ada yang sangat kagum dan memuji pasukan elit anti-teroris namun tidak sedikit pula yang justeru mengecam dan bahkan mentertawakan cara kerja pasukan elit anti-teroris.
Bagaimanapun keadaannya, suatu hal yang pasti ialah fakta bahwa penguasa global yang telah menabuh genderang perang melawan terorisme tampaknya akan selalu dihadapkan pada dilema berkepanjangan. Di satu sisi penguasa global (baca: Gedung Putih) selalu sesumbar berkampanye ingin menyebarkan dan menegakkan nilai-nilai democracy and freedom (demokrasi dan kebebasan) ke seluruh dunia, termasuk ke negeri-negeri kaum muslimin. Namun pada sisi lain mereka sangat perlu untuk menjalankan berbagai langkah-langkah intelijen yang di dalamnya meliputi hal-hal seperti penyadapan, penguntitan bahkan mass surveillance (pemantauan massal/masyarakat). Di antara nilai dasar ajaran democracy and freedom adalah hak setiap orang untuk terjamin prifasi-nya, namun pada sisi lain demi menjamin keamanan warganya dari berbagai ancaman aksi terorisme, pemerintah memandang perlu merancang dan memberlakukan undang-undang yang memperbolehkan tindakan mass surveillance.
Mengomentari proyek mass surveillance Wikipedia menulis sebagai berikut:
“Mass surveillance adalah pengawasan meluas terhadap seluruh populasi, atau sebagian besar daripadanya. Pemerintah-pemerintah modern dewasa ini sering melakukan pengawasan terhadap warga negara mereka, menjelaskan kalau mereka percaya bahwa hal ini perlu untuk melindungi masyarakatnya dari kelompok-kelompok berbahaya seperti teroris, penjahat, atau gerakan subversif politik dan untuk mempertahankan kontrol sosial. Mass surveillance telah banyak dikritik karena beberapa alasan seperti pelanggaran terhadap hak-hak prifasi, melawan hukum, dan untuk mencegah kebebasan berpolitik dan bermasyarakat, yang sebagian lagi takut bila pada akhirnya akan mengarah kepada terbentuknya negara totaliter di mana perbedaan pendapat politik dihancurkan seperti oleh COINTELPRO-program.Negara seperti itu juga dapat disebut sebagai Electronic Polisi State (Negara Polisi Elektronik).”
Pemeriksaan begitu ketat saat memasuki kebanyakan bandara internasional dewasa ini menyebabkan hilangnya kenyamaan dalam bepergian masyarakat. Kondisi penuh pemantauan seperti ini jelas dapat mengurangi kebebasan bergerak dan kenyamanan para pelancong dan turis. Dan pada akhirnya bisa mempengaruhi arus devisa suatu negara melalui jalur pariwisata. Namun pada saat bersamaan segenap pemerintahan dunia diwajibkan untuk turut serta menunjukkan loyalitas kepada penguasa global dalam megaproyek WOT (War On Terror). Berapapun dana yang dibutuhkan mereka memandang perlu untuk mengucurkannya demi melindungi masyarakat luas dari bahaya terorisme. Sudahlah dana yang harus dikucurkan begitu besar sedangkan aksi terorisme tidak kian surut padahal dampak ekonominya seringkali sangat langsung terasa. Sungguh, peradaban kafir Sistem Dajjal dunia dewasa ini memang sarat kerugian. Di dunia saja mereka sudah merugi dan kerugian mereka di akhirat semakin pasti menjelang. Benarlah Allah ketika berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا يُنْفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ لِيَصُدُّوا عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
فَسَيُنْفِقُونَهَا ثُمَّ تَكُونُ عَلَيْهِمْ حَسْرَةً
ثُمَّ يُغْلَبُونَ وَالَّذِينَ كَفَرُوا إِلَى جَهَنَّمَ يُحْشَرُونَ
”Sesungguhnya orang-orang yang kafir itu, menafkahkan harta mereka untuk menghalangi (orang) dari jalan Allah. Mereka akan menafkahkan harta itu, kemudian menjadi sesalan bagi mereka, dan mereka akan dikalahkan. Dan ke dalam neraka Jahanamlah orang-orang yang kafir itu dikumpulkan”. (QS Al-Anfal ayat 36)
Lalu bagaimana semestinya hal ini disikapi? Islam mengajarkan bahwa suatu masyarakat kumpulan orang beriman adalah masyarakat yang di dalamnya wujud self-monitoring spirit (spirit pengawasan mandiri). Dan pengawasan mandiri tersebut tidak bisa dilepaskan dari perkara yang paling fundamental dari ajaran dienul Islam itu sendiri, yaitu ajaran Tauhid. Salah satu cabang utama ajaran Tauhid adalah penghayatan setiap warga akan muraqabatullah (pengawasan Allah) di setiap waktu dan dimanapun di muka bumi Allah. Bila dalam masyarakat tertanam dengan baik nilai-nilai muraqabatullah niscaya pemerintah tidak perlu menyibukkan diri melakukan berbagai pemantauan dan monitoring atas masyarakat luas. Demikian pula sebaliknya, walaupun seluruh aturan dan perundang-undangan sudah diselaraskan dengan syariat Islam namun masyarakat dibiarkan bodoh dan tidak menghayati ajaran Tauhid, khususnya nilai-nilai muraqabatullah, maka pada akhirnya tetap perlu diusahakan wujudnya sejenis Negara Polisi seperti yang diperlihatkan oleh berbagai pemerintahan sekuler-modern dewasa ini. Masyarakat orang beriman adalah masyarakat yang tegak dengan kokoh berdasarkan fondasi yang menghunjam sampai ke dalam hati setiap warganya. Sebab mereka menjadi demikian karena penghayatan bahwa cukuplah Allah sebagai Pengawas Yang Maha Hidup tidak pernah tidur dan tidak pernah mengantuk.
اللَّهُ لا إِلَهَ إِلا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلا نَوْمٌ
”Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur.” (QS Al-Baqarah ayat 255)
Setiap mukmin senantiasa menghadirkan Allah dalam setiap gerak hidupnya. Sebab mereka sudah bertekad menjadikan Allah sebagai andalan utama tempat bersandar yang dicintai, dipatuhi dan sekaligus ditakuti. Kesadaran akan kehadiran Allah dalam hidup seorang mukmin menjadikan dirinya senantiasa terkendali dalam batas-batas perilaku yang diridhai Allah sebab Ridha Allah itulah tujuan utama hidupnya di dunia agar memperoleh kebahagiaan kekal di alam akhirat kelak. Sehingga dalam sebuah masyarakat berlandaskan Tauhid tidak perlu dan tidak akan terjadi tindakan saling mengintip dan saling memonitor laksana Negara Polisi pemerintahan sekuler-modern.
Dalam kasus pertarungan antar-lembaga penegak hukum di Indonesia kita telah melihat bagaimana institusi Kepolisian mempermasalahkan KPK yang dalam menjalankan tugasnya melakukan penyadapan telepon yang dianggap telah melampaui wewenangnya. Lalu seolah melakukan langkah balas-dendam kemudian dalam rangka membuktikan tindak kejahatan mantan pimpinan KPK (yi Antasari) Polri memerlukan untuk menghadirkan saksi ahli untuk menginterpretasi rekaman kamera CCTV pembicaraan AA dengan Sigit. Lalu buat apa di persidangan dilakukan sumpah di bawah Kitab Suci segala bila kesaksian orang di bawah sumpah tersebut diingkari kebenarannya hanya karena adanya fakta BAP yang kontradiktif? Padahal saksi yang telah disumpah tadi mengaku dirinya telah dipaksa fihak penyidik untuk menyetujui BAP. Sungguh, sistem yang berjalan tanpa berlandaskan Tauhid sebagai keyakinan fundamentalnya tidak akan pernah menghasilkan masyarakat yang saling percaya satu sama lain. Pantaslah bila Allah mengumpamakan masyarakat yang tidak berlandaskan Tauhid laksana sebuah sarang laba-laba yang sangat lemah. Itulah masyarakat yang tidak pernah menempatkan Allah benar-benar hidup di dalam hatinya. Masyarakat yang menyangka bahwa Allah hanyalah hadir di dalam teori dan majelis ta’lim semata. Adapun dalam keseharian para warga Negara Polisi berlindung kepada berbagai kekuatan material duniawi.
مَثَلُ الَّذِينَ اتَّخَذُوا مِنْ دُونِ اللَّهِ أَوْلِيَاءَ كَمَثَلِ الْعَنْكَبُوتِ
اتَّخَذَتْ بَيْتًا وَإِنَّ أَوْهَنَ الْبُيُوتِ لَبَيْتُ الْعَنْكَبُوتِ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
”Perumpamaan orang-orang yang mengambil pelindung-pelindung selain Allah adalah seperti laba-laba yang membuat rumah. Dan sesungguhnya rumah yang paling lemah ialah rumah laba-laba kalau mereka mengetahui.” (QS Al-Ankabut ayat 41)
Karena rapuhnya Negara Polisi laksana sebuah sarang laba-laba, maka masyarakat sekuler-modern senantiasa diwarnai dilema berkepanjangan antara ingin mewujudkan kebebasan di satu sisi dengan mengharuskan loyalitas penuh kepada pemerintah di sisi lainnya. Suatu keadaan yang hanya bisa terjadi bila seluruh warga meyakini bahwa kebebasan sejati hanya akan terwujud bila ketaatan dan kepatuhan sepenuhnya diserahkan hanya kepada Allah Yang Maha Mengawasi, Maha Mengetahui, Maha Melihat, Maha Mendengar lagi Maha Berkuasa di langit maupun di bumi.
اللَّهُمَّ اقْسِمْ لَنَا مِنْ خَشْيَتِكَ مَا تحُولُ بَيْنَنَا
وَبَيْنَ مَعَاصِيتكَ وَمِنْ طَاعَتِكَ مَا تُبَلِّغُنَا بِهِ جَنَّتَكَ
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami rasa takut kepadaMu yang akan mencegah kami berbuat maksiat kepadaMu dan ketaatan kepadaMu yang akan menghantarkan kami kepada surgaMu. Amin ya Rabb.