Jika ini dijadikan entry point beliau dalam mengawali da’wah Islam tentulah akan begitu banyak pendukung berbaris di belakang beliau. Bukankah ini jauh lebih kondusif daripada mengibarkan bendera La Ilaha ill-Allah yang hanya menimbulkan kegoncangan dan perlawanan dari kebanyakan bangsa Arab? Lalu mengapa bukan jalan ini yang ditempuh Nabi shollallahu ’alaih wa sallam? Mengapa beliau malah menempuh jalan yang susah-payah menghasilkan begitu banyak rintangan bahkan repons balik yang keras? Simaklah penjelasan Sayyid Quthb selanjutnya:
Tetapi Allah Yang Mahasuci mengetahui bahwa bukan itu jalannya. la mengetahui bahwa akhlak hanya dapat berdiri di atas dasar suatu aqidah yang meletakkan ukuran dan menetapkan nilai : sebagaimana juga menetapkan kekuasaan yang akan menjadi sandaran ukuran dan nilai ini dan pembalasan yang dimiliki kekuasaan ini, dan memberikannya baik kepada yang mematuhi maupun kepada yang melanggar. Sebelum aqidah yang seperti ini ditetapkan, dan kekuasaan yang seperti ini ditentukan maka seluruh nilai-nilai akan tetap terombang- ambing, dan kesusilaan yang berdiri di atasnya akan tetap terombang-ambing juga, tanpa pengendalian, tanpa kekuasaan dan tanpa sanksi.
Islam merupakan ajaran yang memposisikan aqidah sebagai fondasi sedangkan akhlak sebagai bangunan yang berdiri di atas fondasi tersebut. Itulah sebabnya Nabi shollallahu ’alaih wa sallam diperintahkan untuk mengibarkan bendera La ilaha ill-Allah terlebih dahulu bukan panji Akhlak atau Moralisme. Sebab bendera La ilaha ill-Allah yang mencerminkan penancapan fondasi aqidah haruslah didahulukan sebelum berharap masyarakat dapat merubah atau memperbaiki akhlaknya. Sehingga jelas dan tegas Sayyid Quthb menyatakan: ” Sebelum aqidah yang seperti ini ditetapkan, dan kekuasaan yang seperti ini ditentukan maka seluruh nilai-nilai akan tetap terombang- ambing, dan kesusilaan yang berdiri di atasnya akan tetap terombang-ambing juga, tanpa pengendalian, tanpa kekuasaan dan tanpa sanksi.”
Bilamana aqidah telah tertancap dengan benar dan lengkap dalam suatu masyarakat maka mereka akan memiliki motivasi yang tidak terkait dengan kepentingan duniawi apapun ketika menegakkan segenap tuntutan aqidah tersebut. Mereka akan menjadikan sesuatu di luar dunia sebagai pendorong utama mereka dalam mewujudkan kelengkapan bangunan Islam di atas fondasi aqidah kokoh tadi. Motivasi tersebut berupa cita-cita menikmati janji Allah di akhirat, yakni: Surga. Hal inilah yang menyebabkan mereka sejak awal rela bersusah-payah mengibarkan bendera La Ilaha ill-Allah walaupun berakibat derita dan permusuhan dari keluarga dan masyarakat mereka sendiri. Inilah yang ditulis Sayyid Quthb selanjutnya:
Untuk mendirikan agama ini mereka telah mendapat satu janji, di mana kemenangan dan kekuasaan tidak ikut serta dan bahkan juga tidak bagi agama yang berada di tangan mereka ini, suatu janji yang tidak berhubungan dengan sesuatupun dalam kehidupan dunia ini, sebuah janji, yaitu: sorga. Inilah hanya yang dijanjikan kepada mereka atas perjuangan yang penuh derita dan penderitaan yang pahit, dan terus berda’wah dan menghadapi kejahiliyahan dengan sesuatu hal yang dibenci oleh mereka yang berkuasa di tiap zaman dan di tiap tempat : yaitu: La ilaha illa-llah.
Para sahabat tatkala diajak kepada seruan aqidah tidak dijanjikan oleh Nabi suatu kepentingan duniawi apapun. Mereka tidak dijanjikan apapun selain surga di akhirat. Mereka tidak dijanjikan bakal mendapat perbaikan nasib berupa gaji besar atau kedudukan prestisius berupa jabatan formal di tengah masyarakat. Maka pantaslah bilamana istri Nabi shollallahu ’alaih wa sallam, yaitu Aisyah radhiyallahu ‘anha melontarkan kalimat sebagai berikut:
لو أن أول ما نزل من القرآن لا تشربوا الخمر لقالوا لا والله لا نترك الخمر أبدا و لو كان أول ما نزل من القرآن لا تزنوا لقالو لا و الله لا نترك الزنا أبدا و لكن كان أول ما نزل من القرآن سور المفصل فيها ذكر الجنة و النار حتى ثابت القلوب إلى ربها ثم نزل الحلال و الحرام
“Andaikan awal yang diturunkan dari Al-Qur’an adalah jangan minum khamr, niscaya mereka berkata “Demi Allah kami takkan meninggalkan khamr”. Andaikan awal yang diturunkan dari Al-Qur’an adalah jangan berzina, niscaya mereka berkata “Demi Allah kami takkan meninggalkan zina”. Akan tetapi awal yang diturunkan ialah surah-2 detail mengenai surga dan neraka, sehingga hati menjadi teguh mengingat Allah. Barulah kemudian (lambat-laun) diturunkan (daftar perkara) halal dan haram.