Dalam bab kedua buku Petunjuk Jalan yang berjudul Wujud Metode Al-Qur’an, Sayyid Quthb menganalisa mengapa Allah mengharuskan Nabi Muhammad shollallahu ’alaih wa sallam mengibarkan bendera La ilaha ill-Allah bukan bendera lainnya. Padahal dengan mengibarkan bendera La ilaha ill-Allah bangsa Arab bukan saja enggan menerima seruan tersebut, tetapi bahkan menentang dengan keras sampai ke tingkat mengusir dan memerangi Nabi shollallahu ’alaih wa sallam dan para sahabat.
Tidakkah ada pilihan strategi lain yang lebih memperkecil resiko dan mengandung maslahat lebih besar? Misalnya, mengapa Nabi shollallahu ’alaih wa sallam tidak diarahkan Allah untuk mengibarkan panji Moralisme yang lebih solutif menghadapi problema perilaku bangsa Arab yang saat itu sarat diwarnai kerusakan dan kebejatan? Bila bendera Moralisme yang dikibarkan sejak hari pertama sangat mungkin menghasilkan penerimaan kaum pejuang susila dari kalangan bangsa Arab yang sudah muak menyaksikan tersebarnya kerusakan moral. Perhatikanlahlah tulisan Sayyid Quthb berikut ini:
Pada waktu Rasulullah s.a.w. diutus, tingkat kesusilaan di Semenanjung Arab berada dalam titik yang amat rendah dalam banyak seginya, di samping hal-hal yang mulia yang asli baduwi (di perkampungan dan bukan di kota, pent) yang masih ada dalam masyarakat.
Ketidakadilan merajalela dalam masyarakat, tergambar dalam kata-kata penyair Zuhair bin Abi Salma :
“Siapa yang tidak mempertahankan kolam airnya dengan senjatanya akan diruntuhkan dan siapa yang tidak menganiaya manusia akan dianiaya.”
Hal itu digambarkan juga oleh perkataan yang terkenal di zaman jahiliyah: “Tolonglah saudaramu baik ia menganiaya atau dianiaya.”
Minuman yang memabukkan dan perjudian telah menjadi tradisi masyarakat yang tersebar luas. Dan menjadi suatu hal yang dibangga-banggakan.
Pelacuran dengan segala bentuknya telah menjadi tanda dari masyarakat ini, sebagaimana keadaannya dalam setiap masyarakat jahiliyah, baik yang kuno maupun yang modern.