Ketika Rabi’a ibn ‘Amir radiyallahu ‘anhu menemui pimpinan kekaisaran Persia ia ditanya oleh mereka: “Mengapa kamu datang ke negeri kami? Jika kamu datang untuk uang, maka kami akan beri kalian masing-masing gaji. Maka biarkanlah kami seperti ini.” Namun Rabi’a berkata: “Itu bukan sebab saya datang kemari…
ابتعثنا الله لنخرج الناس من عبادة العباد لعبادة الله وحده و من ضيق الدنيا إلى سعت الدنيا و الآخرة و من جور الأديان إلى عدل الإسلام
… Kami diutus untuk membebaskan segenap makhluk dari penghambaan satu sama lain untuk menjadi hamba Allah ta’aala Sang Pencipta semata. Dan dari penindasan berbagai agama menuju keadilan Islam. Lalu kami ingin mengantar manusia dari sempitnya dunia menuju lapangnya dunia dan akhirat.”
Rabi’a ibn ‘Amir radiyallahu bukan seorang mahasiswa ilmu perbandingan agama. Namun ia mengatakan bahwa semua agama menuju kepada penindasan dan kezaliman. Ia tidak perlu belajar perbandingan agama karena ia telah belajar dari wahyu Allah ta’aala bahwa segenap agama menimbulkan penindasan dan hanya agama Islam-lah yang menawarkan keadilan. Ia telah belajar dari wahyu bahwa semua agama berujung pada kerugian serta bencana dan hanya Islam-lah yang menawarkan keselamatan dan Ridho ilahi.
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآَخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
”Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (QS Ali Imran ayat 85)
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الْإِسْلَامُ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah ta’aala hanyalah Islam.” (QS Ali Imran ayat 19)
Islam datang untuk mengeluarkan manusia dari lalimnya berbagai agama menuju keadilan Islam. Artinya, seorang muslim yang benar imannya tidak pernah beranggapan apalagi berkeyakinan bahwa semua agama sama baiknya dan sama benarnya. Ia yakin bahwa Allah ta’aala tuhan semesta alam tidak mungkin akan membiarkan manusia dalam kebungungan memilih jalan hidup yang benar untuk menghantarkan dirinya hidup dalam keadilan di dunia dan keselamatan di akhirat.
Sedangkan orang yang berfaham pluralisme adalah manusia yang bingung memilih jalan hidup sehingga untuk gampangnya ia katakan bahwa semua agama sama baiknya dan sama benarnya. Mereka berpendapat bahwa hanya dengan pluralisme masyarakat heterogen akan sanggup hidup damai dan toleran satu sama lain. Andaikan kita hidup tanpa petunjuk dari Allah ta’aala Yang Maha Benar tentulah kita akan sependapat dengan logika berfikir seperti itu. Karena itu berarti bahwa tidak ada fihak manapun di dalam masyarakat yang boleh meng-claim bahwa agamanyalah yang memiliki monopoli kebenaran, sebab semua agama dipandang benar. Padahal di dalam Al-Qur’an Allah ta’aala bantah pandangan ini:
وَلَوِ اتَّبَعَ الْحَقُّ أَهْوَاءَهُمْ لَفَسَدَتِ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ بَلْ أَتَيْنَاهُمْ بِذِكْرِهِمْ فَهُمْ عَنْ ذِكْرِهِمْ مُعْرِضُونَ
”Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan mereka tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.” (QS Al-Mu’minun ayat 71)
Melalui ayat di atas jelas Allah ta’aala menolak logika absurd pluralisme yang beranggapan bahwa kebenaran berbagai agama adalah sah dan benar. Padahal mustahil kebenaran jumlahnya banyak. Sebagaimana Allah ta’aala fimankan di atas, andai kebenaran jumlahnya sebanyak jumlah selera dan hawa nafsu manusia maka tentu masing-masing kebenaran itu akan menunjukkan kedigdayaannya sehingga akan terjadi konflik yang menyebabkan binasa dan hancurnya langit dan bumi beserta segenap isinya.
Itulah rahasianya mengapa agama Allah ta’aala, yakni Al-Islam datang dengan membawa ajaran inti berupa tauhid. Yaitu ucapan:
لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
“Tiada tuhan (Kebenaran) selain Allah ta’aala.” (QS Muhammad ayat 19)
Bahkan dalam ayat lain jelas Allah ta’aala firmankan bahwa Allah ta’aala Dia-lah hakikat Kebenaran itu sendiri, sedangkan semua seruan selain Allah ta’aala hanya mengajak manusia kepada kebatilan.
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْحَقُّ وَأَنَّ مَا يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ هُوَ الْبَاطِلُ وَأَنَّ اللَّهَ هُوَ الْعَلِيُّ الْكَبِيرُ
“(Kuasa Allah ta’aala) yang demikian itu, adalah karena sesungguhnya Allah ta’aala, Dialah Al- Haq (Kebenaran) dan sesungguhnya apa saja yang mereka seru selain Allah ta’aala, itulah yang batil, dan sesungguhnya Allah ta’aala, Dialah Yang Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS Al-Hajj ayat 62)
Bilamana kalangan pendukung absurditas pluralisme menuduh orang-orang beriman menafsirkan seenaknya dan secara subyektif firman-firman Allah ta’aala di atas berarti sama saja mereka menuduh Allah ta’aala tidak kuasa mewahyukan kitab suci sederhana yang mudah dicerna oleh manusia berakal cipataan diri-Nya sendiri. Repotnya, argumentasi ini mereka kemukakan sambil berlindung di balik “sedemikan tinggi dan sucinya wahyu Allah ta’aala" sehingga manusia yang lemah dan nisbi tidak berhak meng-claim penafsirannya terhadap wahyu Allah ta’aala.
Berarti para pendukung pluralisme menuduh para sahabat Nabi shollallahu ’alaih wa sallam -termasuk Rabi’a ibn ‘Amir radiyallahu ‘anhu- tidak berhak melontarkan penafsirannya seperti yang telah ia lontarkan di hadapan para pimpinan Persia. Suatu penafsiran yang bahkan telah menyebabkan mereka menjadi terperanjat, terpesona dan kehabisan argumentasi menghadapinya.