Alumni Pendidikan Bahasa Jerman UPI Bandung
Indonesia terkenal bangsa penggobral kekayaan tanahnya kepada tengkulak asing, setelah sukses menyelenggarkaan APEC kemarin, dan kini tengah berlangsung WTO di Nusa Bali 3-6 Desember. World Trade Organisation (WTO) atau Organisasi Pedagangan Dunia adalah agresi barat yang hendak melakukan liberalisasi perdagangan dengan menghapus segala bentuk perlindungan ekonomi domestik suatu negara, deregulasi keuangan dengan menempatkan sektor keuangan sebagai jasa dan uang sebagai komoditi perdagangan semata, dan privatisasi sektor publik dengan mendorong pembukaan investasi swasta pada sektor publik. Walaupun sekilas isu WTO seolah menguntungkan negara berkembang termasuk Indonesia yaitu fasilitasi perdagangan dan paket untuk negara-negara kurang berkembang (Least Developed Countries’s Package),dan perundingan bidang pertanian.
Kenapa menolak WTO
Pertama, kita sadari bersama bahwa keberadaan Indonesia di WTO hanya akan menguntungkan negara-negara maju, yaitu ketika Indonesia membuka peluang seluas-luasnya bagi investor asing untuk menggelola kekayaan alam, seperti adanya explorasi kilang minyak besar-besaran, belum ditambah dengan pertambangan dan emas.
Kedua, negara menghilangkan subsidi di sektor pertanian, misalnya, anggota WTO akan dipaksa menghapuskan subsidi pertanian dan membuka pintu seluas-luasnya bagi impor. Inilah momok yang paling ditakuti oleh para petani, petani kita akan lesu tak bergairah melihat kondisi pasar dibanjiri produk pertanian impor, dari kualitas tentu barang impor jauh lebih baik, ketiadaan subsidi pupuk menyebabkan harga pupuk melambung tinggi tak terbeli. Kondisi inilah yang menyebakan kondisi petani kita semakin menyusut tajam, semakin banyak orang yang tidak mau menjadi petani, mereka lebih memilih menjadi TKI.
Ketiga, WTO membawa kampanye terselubung dalam bidang perhutangan yakni berbagai bank inevstasi internasional seperti IMF dan ABD (Asian Development Bank) yang siap menjerat negara berkembang.
Keempat, berbeda dengan APEC, kesepakatan WTO bersifat menggikat anggotanya sehingga Indonesia digiring tunduk dan legowo mematuhi keputusan.
Kelima, elektabilitas SBY dimata rakyat Indonesia menurun tajam, setelah partai Demokrat rapuh dengan korupsinya, SBY semakin merapat kepada asing memperlihatkan loyalitasnya, diantaranya sebagai tuan rumah WTO, kita paham SBY adalah agen setia barat yang manut, barat pun tahu bagaimana cara memelihara peminmpin negara bonekanya, yaitu dengan memberi gelar utopis seperti World Statesman Award dari US dan Knight Grand Cross in the Order of Bath’ dari Ratu Elizabeth dari Inggris. dengan gelar tersebut SBY berkomitmen menjadi mitra setia.
Sudah sangat jelas bahwa WTO adalah manifestasi penjajahan barat yang terencana, seharusnya pemimpin kita cerdas membiokot penyelenggaraan WTO, namun sayang sebagian dari pemimpin kita malah merasa diuntungkan dengan ajang tersebut, karena boleh jadi setiap tender investasi yang direncanakan WTO mereka mendapat keuntungan. Inilah ironi bangsa kaya sumber daya alam tapi hasil kekayaannya dijarah barat, dan yang lebih parah mental pemimpin kita pemuja barat.