Oleh: Abdullah al-Mustofa
Homophobia meningkat di Indonesia. Demikian kesimpulan yang dibuat oleh Ourvoice, salah satu lembaga yang memperjuangkan hak-hak kelompok LGBT di Indonesia. Kesimpulan tersebut berdasarkan perbandingan hasil survei yang dilakukan Lingkar Survei Indonesia (LSI) terhadap responden yang menyatakan tidak nyaman hidup bertetangga dengan “generasi penerus kaum Nabi Luth” yang menunjukkan angka 64,7% pada tahun 2005 dan 80,6% pada tahun 2012.
Bicara mengenai homophobia, penulis menemukan fakta menarik yang disajikan oleh sebuah buku yang berjudul “Re-Orienting Western Feminisms Women’s Diversity In Postcolonial Word” (Cambridge: Cambridge University Press, 1998) karya Chilla Bulbeck yang penulis pinjam dari perpustakaan International Islamic University Malaysia (IIUM) Kuala Lumpur. Ternyata bukan Muslim Indonesia saja yang mengalami homophobia. Di bandingkan Timur, Barat baik masyarakat dan pemerintahnya yang lebih bisa mengakui dan menerima perilaku dan pelaku homoseksual, juga mengalami hal yang sama.
Kenyataan ini mematahkan pernyataan Dede Oetomo, aktivis homoseksual pendiri Gaya Nusantara, salah satu organisasi LGBT di Indonesia, dalam fit and proper test calon komisioner Komnas HAM di Komisi III DPR RI, Selasa (16/10/2012). Dia menegaskan:
“Kita ini meniru homophobia dari Barat, padahal di Barat homophobia sudah selesai.”
Seputar Homophobia
Dengan merujuk kepada beberapa sumber, laman Wikipedia mendefinisikan homophobia sebagai berikut:
“Homophobia is a range of negative attitudes and feelings toward homosexuality or people who are identified or perceived as being lesbian, gay, bisexual or transgender (LGBT).”
(Homophobia adalah berbagai sikap dan perasaan negatif terhadap homoseksualitas atau orang-orang yang diidentifikasi atau dianggap sebagai lesbian, gay, biseksual atau transgender (LGBT).
Informasi detil tentang homophobia bisa merujuk pada halaman web berikut:http://en.wikipedia.
Homophobia Dalam Masyarakat Barat Modern
Chilla Bulbeck, professor di jurusan Women’s Studies di University of Adelaide dalam bukunya tersebut dalam sub bab Homosexual Acts and Homosexual Lives (hal. 149) dengan mengutip dari buku “Epistemology of the Closet” (Berkeley and Los Angeles: University of California Press, 1990) karya Eve Kosofsky Sedgwick menyatakan meskipun masyarakat Barat memiliki subkultur homoseksual, mereka juga memiliki homophobia yang kuat dan sikap-sikap yang kontradiksi bagi ekspreksi identitas gay.
Sebagai contoh, kata Sedgwick, homophobia dan sikap kontradiksi yang ada di Amerika Serikat. Meskipun pengadilan di Amerika memperbolehkan seseorang menjadi gay tapi sejumlah negara bagian melarang perbuatan sodomi.
Contoh-contoh homophobia di Amerika Serikat diberikan oleh halaman web resmi jurusan psikologi University California cabang Davis. Contoh yang diberikan di antaranya seperti kurangnya proteksi legal terhadap diskriminasi anti gay dalam pekerjaan, akomodasi/perumahan, dan pelayanan umum; permusuhan kepada lesbi dan gay yang berkomitmen menjalin hubungan; dan adanya hukum sodomi di lebih dari sepertiga negara bagian.
Sedangkan homophobia di Eropa dilaporkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization). Wilayah Eropa. Dalam situsnya, organisasi tersebut menyatakan meskipun negara-negara anggota Dewan Eropa dan Eropa Bersatu dengan jelas telah menyatakan komitmennya untuk menghilangkan diskriminasi atas dasar orientasi seksual dan standar telah ditetapkan oleh lembaga-lembaga Hak Asasi Manusia Eropa, tapi masih merebak homophobia di Eropa dan masih adanya berbagai problem dalam melindungi dan mempromosikan hak-hak orang lesbi, gay, biseksual dan transgender seperti masih berlakunya aturan hukum di beberapa bagian wilayah Eropa seperti negara-negara bekas Uni Soviet yang menyatakan hubungan seks antara lelaki adalah tindakan kriminal. (www.euro.who.int)
Kampanye Melawan Homophobia
Setiap tanggal 17 Mei para pelaku dan pendukung homoseksual internasional merayakan International Day Against Homophobia (IDAHO). Event ini pertama kali diadakan pada tahun 1995 yang diselenggarakan di lebih 40 negara.
Pada tanggal yang sama, tepatnya 17 Mei tahun 1990 yang lalu. Hari itu adalah hari keramat, bersejarah dan tentu saja membahagiakan bagi komunitas gay dan lesbi internasional. Margaret Chan, Direktur Umum WHO, mengatakan WHO secara resmi pada hari itu telah menghilangkan homoseksualitas dari daftar the International Classification of Diseases. (www.euro.who.int)
Kebanyakan organisasi hak asasi manusia seperti Human Right Watch dan Amnesti Internasional mengutuk undang-undang yang menghukumi hubungan homoseksual antara orang dewasa yang suka sama suka sebagai tindakan kriminal. Sejak 1994, Komite Hak Asasi Manusia PBB juga telah menetapkan bahwa undang-undang semacam itu melanggar hak privasi yang dijamin Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan Perjanjian Internasional tentang Hak Sipil dan Politik.
Kesimpulan dan Harapan
Meskipun hasil survei LSI tersebut tidak bisa mewakili suara masyarakat Indonesia keseluruhan dan periode penelitiannya sangat singkat, suara responden yang menyatakan enggan dan tidak nyaman bertetangga dengan gay dan lesbi harus kita syukuri dan bisa dipahami. Mereka menyatakan suara demikian disebabkan oleh dorongan iman, pemahaman agama mereka yang baik, serta naluri kemanusiaan dan fitrah agama mereka yang masih berfungsi dengan baik yang menyebabkan benci, takut dan merasa jijik dengan perilaku homoseksual. Perasaan inilah yang mendorong mereka akhirnya juga merasakan hal yang sama kepada pelakunya sekaligus.
Masyarakat Barat yang “katanya” lebih modern, toleran, dan rasional dibanding masyarakat Timur saja juga masih banyak yang mengalami homophobia. Hal ini menunjukkan, secara naluri mereka menolak perbuatan-perbuatan keji dan mungkar.
Masyarakat Barat pun masih menyimpan rasa homophobia. Tidak mengherankan perjalanan masih panjang (atau bahkan tidak berujung), berliku, terjal, memayahkan dan sulit bagi para pelaku dan pendukung homoseksual di dunia Barat untuk “menghandel” bangsanya dalam usaha menghilangkan homophobia di kalangan mereka sendiri.
Oleh karena itu, dengan segala hormat, wahai para pelaku dan pendukung homoseksual, jangan “obok-obok” kami! Jangan paksakan standar yang kalian buat dan anut! Biarkan “homophobia” (dalam arti membenci dan takut perbuatan homoseksual tapi tidak membenci dan takut kepada pelaku homoseksual) melekat pada kami!
Meskipun “homophobia” ada juga pada lingkungan kami, namun kami terdorong untuk mengajak mereka terutama yang Muslim untuk “back to nature” (kembali ke fitrah) yakni menjalani kehidupan yang normal sesuai dengan tujuan penciptaannya. Wallahu a’lam.
Penulis Peneliti ISFI (Islamic Studies Forum for Indonesia) Kuala Lumpur Malaysia(169)