Ada maskapai swasta seperti NAM Air yang telah membuktikan sanggup mengangkut vaksin untuk didistribusikan di daerah Kalimantan Barat dengan pesawat ATR 72-600.
Lalu, kenapa harus memakai maskapai asing? Apakah biayanya lebih murah? Biaya penerbangan sebenarnya tidak ada yang murah. Biaya penerbangan juga berbeda antar satu negara dengan negara lain. Ada banyak faktor yang mempengaruhi biaya penerbangan, yaitu internal dan eksternal. Internal adalah pengelolaan operasional maskapai, misalnya terkait armada pesawat, sumber daya manusia, konsep manajemen seperti layanan penuh atau low cost dan hal-hal operasional lain seperti kondisi traffic penerbangan, kondisi bandara, kondisi cuaca dan sebagainya.
Sedangkan faktor eksternal seperti persaingan usaha, pasar, regulasi, iklim sosial politik dan pertumbuhan ekonomi nasional. Termasuk di faktor eksternal itu adalah nilai tukar mata uang terhadap dolar AS. Karena hampir semua transaksi internasional maskapai berbasis dolar AS, seperti misalnya beli dan sewa pesawat, beli sparepart, biaya pemeliharaan dan lainnya. Sedangkan pemasukan maskapai lebih banyak dari mata uang dalam negerinya.
Membandingkan biaya yang dikeluarkan maskapai Singapura dan Indonesia dengan demikian tidak bisa apple to apple. Jika memakai ukuran Indonesia, justru penerbangan SQ dari China ke Indonesia itu bisa jadi mahal karena harus transit dan penumpang yang diangkut sedikit.
Penerbangan langsung dari Indonesia ke China langsung PP, menurut salah seorang direktur maskapai nasional kepada penulis, biayanya sekitar Rp 1,8 – 2 Miliar. Uang sebesar itu tentu sangat dibutuhkan oleh maskapai nasional dalam situasi yang sulit saat ini.
Kalau ternyata SQ dapat menjual penerbangannya lebih murah dari maskapai Indonesia, selain hal-hal di atas, kemungkinan juga karena strategi bisnis dan akibat dukungan pemerintah Singapura kepada maskapai nasionalnya tersebut. Dan hal inilah yang perlu dicermati pemerintah Indonesia.
Pada saat pandemi COVID-19 ini, semua maskapai penerbangan global terkena dampak yang sangat parah, termasuk Singapore Airlines dan maskapai-maskapai Indonesia. SQ beruntung karena pemerintah Singapura beberapa kali berkomitmen membantu baik dari sisi keuangan maupun yang lain agar maskapainya mampu bertahan.
Sementara maskapai Indonesia tidak seberuntung itu. Selain kepada Garuda group yang merupakan maskapai BUMN, pemerintah, baik itu melalui Kementerian Perhubungan maupun kementerian lain, tidak terlihat memberikan komitmen bantuan kepada maskapai swasta nasional. Maskapai diminta berusaha sendiri dengan diperbolehkan mengangkut kargo di kabin. Pemerintah menganggarkan bantuan justru pada penumpang berupa penggratisan passenger service charge (PSC) di 13 bandara daerah tujuan wisata pada akhir tahun 2020 lalu. Di awal tahun 2021, PSC gratis itu tidak ada lagi.
Pada awal pandemi di tahun 2020, pemerintah bahkan membatasi kapasitas pesawat menjadi 50 persen, meningkat 70, dan baru pada awal tahun 2021 ini mencabut pembatasan ini dengan alasan untuk menjaga jarak antar penumpang. Padahal, di penerbangan global, tidak ada pembatasan tersebut dan penerbangan tetap dinyatakan sehat karena adanya sirkulasi dalam pesawat yang sanggup menyaring virus hingga lebih 99 persen.
Jika pemerintah tidak dapat membantu secara langsung pada maskapai penerbangan nasional, setidaknya bisa membantu secara tidak langsung dengan cara yang lebih elegan. Contohnya adalah dengan mengerahkan maskapai nasional dalam pengambilan vaksin dan pendistribusiannya ke daerah-daerah, daripada memakai maskapai asing.