BPJS memang selalu mengaku tekor. Setidaknya, tahun ini defisit mencapai Rp 28 triliun. Bukan hanya peserta yang dipangkas, bahkan kerjasama dengan beberapa rumah sakitpun terpaksa harus diputus.
Di luar itu, opsi suntikan dana pemerintah jelas tak bisa terlalu diharapkan. Tahu sendiri, pemerintah sudah pusing dengan beban utang yang makin membesar. Maka, jadilah opsi menaikkan iuran sebagai solusinya. Lagi-lagi rakyatlah yang dikorbankan.
Beginilah jika sistem kapitalisme yang diterapkan. Negara seolah sedang berdagang. Urusan nyawa rakyat pun dihitung dari keuntungan dan kerugian. Alih-alih berupaya memberikan mutu kesehatan terbaik buat rakyatnya. Negara, malah memeras rakyat atas nama iuran jaminan kesehatan.
Negara terus mempropagandakan, saling menolong sesama warga negara adalah bentuk kebaikan. Padahal negara sedang memindah paksa kewajibannya memenuhi hak rakyat atas jaminan kesehatan, hingga rakyatlah yang saling menjamin kesehatannya sendiri. Jika demikan, apa fungsi dan peran negara untuk rakyatnya?
Zhalim namanya, jika negara terus ‘memalak’ rakyat lewat iuran jaminan kesehatan yang nilainya terus dinaikkan. Padahal kondisi ekonomi kian sulit dirasakan. Dan lantas peserta PBI pun dinonaktifkan. Benarlah apa yang Sekjen Perhimpunan RS se-Indonesia, Wasista Budi Waluyo katakan. Bahwa aturan aktivasi dan pendaftaran yang ruwet menyebabkan jatuhnya korban.
Hal senada dikatakan Hariyanto, Peneliti kesehatan Pusat Studi Nusantara. Bahwa produk peraturan yang dibuat BPJS justru menyulitkan masyarakat. BPJS memiliki pola bagaimana memperbanyak jumlah iuran, bukan bagaimana memberikan pertolongan segera bagi rakyat yang membutuhkan.