Upaya penghapusan agama di pemerintahan Jokowi sederajat atau bahkan lebih rendah level (hina)nya dibanding upaya “pemerintahan“ Badui Dalam di Cibeo Banten Selatan sana.
Kalau di “pemerintahan” Badui Dalam Cibeo tidak pernah mereka mengutik-utik kolom agama di KTP agar dihapus. Tetapi di pemerintahan Jokowi, upaya penghapusan kolom agama itu disuarakan dengan lantang, bahkan dengan menipu tanpa malu-malu. Penipu ulungnya, yang semula hanya jadi wakil gubernur DKI Jakarta, kemudian secara gigih diangkat sejadi-jadinya untuk jadi gubernur DKI Jakarta, walau diprotes oleh Umat Islam Jakarta karena berbagai persoalan yang dinilai tidak layak untuk memimpin DKI Jakarta. Namun atas jasa tipuan ulung dengan mengatakan KTP Malaysia juga tidak pakai kolom agama (padahal jelas-jelas ada kolom agama di KTP Malaysia), maka Ahok orang Nasrani (Kafir Kitabi menurut istilah Islam) itu didukung penuh untuk disahkan dan dilantik jadi gubernur DKI di pemerintahah Jokowi. Padahal penduduk mayoritas hampir 90 persen adalah Muslim, sedang Ahok telah terbukti pembohong dan banyak berkata-kata yang sangat menyakiti Umat Islam demi membela hal yang sangat menentang agama. Misalnya demi membela pelacuran bahkan akan mengadakan tempat pelacuran, yang hal itu jelas bertentangan dengan agama bahkan merusak masyarakat, namun justru pihak penolaknya yakni Umat Islam dicibir dengan sebutan munafik. Siapa yang tidak marah ketika seorang pejabat berkata setidak sopan itu dan bahkan demi merusak agama dan masyarakat? Tetapi rupanya justru di situlah nilai tinggi dia, di pemerintahan Jokowi.
Dari situ rupanya menjadi “pelajaran berharga” bagi pihak-pihak yang haus jabatan ingin meraih jabatan ataupun naik jabatan dengan cara-cara yang dianggap ampuh seperti itu. Arah penghapusan agama dengan aneka tipu daya itulah yang punya nilai kredit poin tinggi.
Bermunculan lah kucing garong-kucing garong yang mengharapkan dapat kucuran dan kicritan ini dan itu. Mereka yang jadi tokoh Islam bahkan kyai haji bahkan memimpin ormas atau lembaga agama (Islam) seakan berlomba untuk melepas “jubah” apa yang mungkin akan menjadikan risih bila dianggap fanatik Islam. Ketua umum MUI (Majelis Ulama Indonesia) Din Syamsuddin pun terang-terangan melawan fatwa MUI tentang haramnya Umat Islam ikut perayaan natal bersama (Kristen-Katolik) dan haramnya mengucapkan selamat Natal kepada pihak yang merayakannya. Fatwa yang dikeluarkan MUI pimpinan Buya Hamka 1981 itu pun di tahun 2014 seakan diingkari substansinya oleh Din Syamsuddin dengan terang-terangan mengaku dirinya tiap tahun mengucapkan selamat natal.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia Din Syamsuddin mengatakan ucapan selamat Natal tidak secara spesifik diatur dalam fatwa mereka. Din bahkan mengatakan ucapan selamat Natal boleh saja dilakukan oleh muslim.
“Selama itu tidak memengaruhi akidah muslim, maka (ucapan selamat Natal) dapat dilakukan,” ujar Din saat menghadiri acara di Kompleks MPR/DPR RI, Jakarta, Selasa (23/12 2014).
Di situ Din Syamsuddin sedang menyembunyikan sesuatu yang besar. Justru adanya fatwa itu karena kaitannya dengan akidah Muslim. Maka perkataan Din: “Selama itu tidak memengaruhi akidah muslim, maka (ucapan selamat Natal) dapat dilakukan,” itu adalah perkataan menyembunyikan makna. Karena inti fatwa bahkan ucapan selamat kaitannya dengan agama lain adalah persoalan akidah.
Orang-orang yang selama ini masih merasa “menyandang jubah” kefanatikan Islam pun ikut ramai-ramai membolehkan ucapan selamat natal, dengan aneka dalih yang dibuat-buat sekenanya. Bahkan sampai menanyakan dalil haramnya segala, seolah mereka itu ahli dan peduli tentang dalil. Sedang Islam itu sendiri sudah mereka singkiri tetapi mulutnya menanyakan dalil. Untuk apa?
Padahal, kalau mereka mau menghafal satu potongan dari ayat saja, maka akan tahu.
Keridhaan terhadap kekufuran adalah kekufuran juga. Ucapan selamat itu menunjukkan keridhoan. Sedangkan Allah Ta’ala tidak ridha kepada kekufuran:
{وَلَا يَرْضَى لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ } [الزمر: 7]
dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; (QS Az-Zumar/39: 7).
Keyakinan tersebut telah membuat Allah Ta’ala murka.
تَكَادُ ٱلسَّمَٰوَٰتُ يَتَفَطَّرۡنَ مِنۡهُ وَتَنشَقُّ ٱلۡأَرۡضُ وَتَخِرُّ ٱلۡجِبَالُ هَدًّا ٩٠ أَن دَعَوۡاْ لِلرَّحۡمَٰنِ وَلَدٗا ٩١ وَمَا يَنۢبَغِي لِلرَّحۡمَٰنِ أَن يَتَّخِذَ وَلَدًا ٩٢
- hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu, dan bumi belah, dan gunung-gunung runtuh
- karena mereka mendakwakan Allah Yang Maha Pemurah mempunyai anak
- Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak (QS Maryam: 90-92).
Sebegitu beraninya pemimpin MUI yang baru itu berkata “Selama itu tidak memengaruhi akidah muslim, maka (ucapan selamat Natal) dapat dilakukan,”. Na’udzubillahi min dzalik.
Ketika kolom agama di KTP agar dihapus, sedang pelontar dengan menipu bahwa KTP Malaysia tanpa kolom agama tersebut justru diangkat jadi gubernur di Ibukota negara, maka pelontar berikutnya dengan seolah lebih ma’qul (masuk akal). Yaitu kolom agama di KTP dapat dikosongi (tidak usah diisi). Seolah ini amunisi baru yang “pas” dalam upaya menghapus agama (Islam) namun formulanya tampak seakan rapi jali.
Seandainya yang melontarkan itu orang lewat di jalan yang tidak usah digubris perkataannya, maka anggap saja itu angin lalu. Tetapi ketika justru pejabat dan petinggi negara, maka sejatinya menunjukkan ketidak profesionalannya. Karena, pemimpin yang baik adalah menciptakan sistem yang efektif, tidak banyak timbul problem. Lha dengan membolehkan kolom agama di KTP dikosongi, maka justru menimbulkan masalah. Orang pun mudah faham, kalau seorang meninggal di jalan, ternyata KTPnya kosong agama, bagaimana merawatnya? Tidak jelas. Mau dikubur atau dibakar. Kalau mau dikubur, di kuburan mana, karena tak ada kuburan khusus bagi yang tak beragama. Juga tak dapat dicampurkan dengan kuburan Islam tentunya.
Lontaran itu arahnya untuk menghapus agama (Islam) tapi sekaligus pembodohan total dan menunjukkan para pelontarnya… mutunya ya seperti itu.
Untuk menghapus Islam pun diupayakan lewat pendidikan. Tidak mau-malu orang yang ketiban sampur memimpin pendidikan di negeri ini dari kalangan sekuler pro aliran sesat syiah mempersoalkan doa cara Islam di sekolah. Baru kali ini doa cara Islam diusik-usik oleh seorang menterinya Jokowi dengan dalih yang dibuat-buat. Kalau caranya seperti itu, nantinya guru atau siapapun masuk ruang mengucapkan assalamu’alaikum bisa dia larang, karena kemungkinan di ruangan ada yang bukan Islam, sedang assalamu’alaikum itu mengandung doa Islam.
Setelah mendapatkan protes dari Umat Islam, bahkan ada yang menyebut Menteri Anis Baswedan dari Parahmadina (seharusnya Paramadina), maka tampaknya dia surut.
Lain lagi dengan lontaran Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang ingin menjadikan Candi Borobudur jadi pusat kunjungan ritual orang budha sedunia pertahun, sebagaimana Ka’bah di Makkah yang jadi pusat ibadah haji Umat Islam sedunia tiap tahun. Alasan Ganjar, karena jumlah orang Budha di dunia ini 300 juta. Jadi kalau Borobudur jadi pusat ziarah ritual mereka tiap tahun, maka akan ini dan itu, kaitannya dengan pendapatan.
Bagi Ummat Islam yang faham akan tarikh Islam, maka ide itu telah didahului Abrahah. Ide Abrahah yang ingin mengadakan keramaian di negerinya sebagaimana Ka’bah di Makkah dengan membangun gedung Quailis di Yaman, bahkan dengan jalan ingin menyerang Ka’bah, ternyata berakhir dengan azab. Hingga Abrahah dan bala tentaranya hancur. Itulah yang diabadikan dalam Al-Qur’an Surat Al-Fiil.
Anehnya, ide yang mengakibatkan bencana besar berupa azab itu kini ada yang menirunya, bahkan sampai dipidatokan di depan para kyai.
Candi Borobudur nantinya akan dijadikan tempat ritual religi setiap tahun bagi pemeluk Buddha di seluruh dunia yang saat ini berjumlah 300 juta orang. Bahkan saking semangatnya, Ganjar Pranowo yang pernah bersekolah di SMA Katolik De Britto Jogjakarta itu sampai menegaskan ide gilanya itu di hadapan para kyai dan santri Ponpes API di Tegalrejo, Magelang, Jawa Tengah pada Khotbah Kebudayaaan beberapa waktu lalu.
Di zaman pemerintahan Jokowi ini tampaknya semakin bermunculan aneka keganjilan dari para pejabatnya yang mengandung bahaya. Itupun menyangkut bahaya yang dapat merusak keimanan masyarakat Muslimin. Itulahnya musibah agama namanya. Artinya, bukan hanya menimpa materi, namun mengancam keimanan (Islam).
Aneh tenan! Menutup kuburan Gunung Kemukus yang jadi sarang pelacuran dan sudah memalukan bangsa Indonesia ke tingkat dunia saja tidak dilakukan, padahal wilayah di bawah kekuasaan sang gubernur; tapi malah akan mewujudkan ide Abrahah yang sudah jelas kena azab hingga hancur lebur. Dia kira itu ide cemerlang ya? Tak tahunya justru sudah didahului Abrahah, dan sampai mengorbankan diri dan wadyabalanya dengan kematian yang sagat mengenaskan. (Na’udzubillaah… Gubernur Jawa Tengah Menirukan Ide Abrahah, By nahimunkar.com on 5 December 2014).
Upaya penghapusan agama (Islam) digariskan pula di pemerintahan Jokowi dengan level yang setarap atau bahkan lebih hina dibanding “pemerintahan” Badui Dalam Cibeo. Dusun yang dihuni 40-an keluarga Badui Dalam di Cibeo Banten Selatan dipimpin seorang kepala “pemerintahan” disebut Po’on. Sang Po’on itu (ketika saya dan teman-teman menginap di sana tahun 1980-an) punya kebijakan-kebijakan yang diterapkan. Di antaranya, hanya dia dan keluarganya yang boleh berak di bagian atas sungai (yang airnya diambil untuk keperluan sehari-hari). Yang lain harus di kali bagian bawah.
Orang Badui Dalam tidak mandi-mandi hingga kumal-kumal, walau di pelataran rumahnya ada gentong air untuk cuci kaki kalau mau naik ke rumah. Wanitanya telanjang dada walau sudah dewasa bahkan setengah tua ataupun tua. Mereka memiliki keyakinan, tuhan adalah roh kokolot (roh leluhur yang dituakan). Itulah kepercayaan animisme, kemusyrikan. Konon mereka mengasingkan diri ke dusun terpencil itu karena menyingkir dari Islam yang mulai berkembang zaman lalu. Demi melestarikan penyingkirannya dari Islam itu, ketika kami tanyakan saat itu, maka garis kebijakan “pemerintahan” Badui Dalam adalah melarang warganya untuk sekolah atau belajar. Karena kalau sekolah atau belajar maka akan jadi penipu. Jadi haram belajar. Titik.
Coba bandingkan, dengan salah satu kebijakan di pemerintahan Jokowi sekarang ini. Ada menteri yang melarang siapapun tenaga asing maka dilarang mengajar agama dan teologi. Karena dikhawatirkan akan ada radikalisme.
“Pemerintahan” Badui Dalam melarang belajar, karena khawatir kalau belajar nantinya jadi penipu. Itu tentu ada yang sejatinya disingkiri, yaitu jangan sampai belajar, apalagi belajar agama. Karena kalau belajar agama seperti yang dilakukan oleh Badui Luar, maka kemudian mereka masuk Islam. Sedang dari awalnya sampai mereka menyingkir ke daerah sangat terpencil (kami tahun 1980-an harus jalan kaki naik turun bukit dari jam 07 pagi sampai jam 17 sore untuk sampai ke lokasi Badui Dalam) itu karena mereka menyingkiri Islam. Bukan karena menyingkiri penipuan. Karena untuk jadi tukang tipu, tanpa belajar pun bisa.
Memalukan, ide yang cukup hina itu ternyata kini justru diadopsi oleh orang-orang sekelas menteri di zaman pemerintahan Jokowi hanya untuk menyingkiri Islam dengan aneka dalih.
Allahul Musta’an.
Jakarta, Selasa 15 Rabi’ul Awwal 1436H/ 6 Januari 2015.