Mpud..
Mungkin kau ingin ber-alasan bahwa sejarah-lah yang kau angkat, tapi bagi kami alasan yang kau bawa hanyalah sebuah permainan kata. Apa yang tersirat, sudah bisa di baca meskipun tidak secara tersurat kau katakan.
Jika maksudmu ingin adakan rekonsiliasi, maka bukan seperti ini cara yang baik. Kau memancing bara api agar berkobar, tapi di tempat lain kau mengatakan ingin memadamkan.
“Kau padamkan api dengan menyiramkan Pertamax ke bara-nya”
Bukan memadamkan, tapi kau memperbesar nyala-nya.
“Apakah kau paham “dek…?”
Rasanya kami rugi ketika uang kami di pakai untuk meng-gaji orang2 seperti dirimu. Tidak sedikit bayaran yg kau terima dengan jabatan tenaga ahli BPIP. Hanya melontarkan kata tanpa berpikir, kau bisa memanen ratusan juta. Driver ojek pun harus berpeluh untuk mendapatkan uang 200 ribu sehari, namun kau…cukup memainkan tunjuk dan melontar kata, maka rekening mu menjadi berwarna.
Luar biasa “dek…ternyata kami kembali di buat kecewa.
Usiamu sudah tua, seharusnya aku memanggil-mu dengan sebutan bapak, Paman atau Abang jika usia kita tidak jauh berbeda.
Tapi aku lebih memilih memanggilmu dengan sebutan adik. Karena terbukti, perkataan mu di video itu tidak mencerminkan kedewasaan yang terpancar di kerut wajahmu. Perkataan-mu, tidak menunjukkan bahwa kau adalah seorang cendekiawan ulung, perkataan-mu tidak mencerminkan seorang tokoh yang sudah malang melintang di berbagai jabatan.
Kau hanyalah anak kecil yang lagi emosi kala mainannya tidak di temukan setelah usai bermain tadi pagi.
Selayaknya kakak, aku harus memberi koreksi pada dirimu.
Contoh lah aku abang-mu, walau muda dari mu tapi memilih diam melihat dukungan yang berbeda dari setiap daerah. Tidak mau menampik api permusuhan, hanya ingin melihat akhir dari masalah ini. Kami sabar dan menunggu tanpa perlu melontar kata-kata tidak perlu.
Sehat terus ya “dek…
Salam buat ayah ibu yang telah mendidik-mu.
Dari aku..
Abang muda-mu.
Setiawan Budi Reborn
(sumber)