Dari sekitar 100 ribu kata dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata “rakyat” dan “umat” menjadi barang seksi. Sesuatu yang cepat untuk dijual jadi keuntungan berlipat-lipat.
Sedang negeri ini dibangun dari jutaan peluru, ribuan liter darah, dan belasan juta nyawa. Mereka berkorban tanpa pamrih. Semata membela agama dan bangsa. Mewariskan untuk generasi.
Lalu, kita berteriak: UUD 1945 dan Pancasila. Kenyataannya, UUD saat ini hasil amandemen satu produk reformasi. Pancasila? Sekadar catatan dan hafalan. Bahkan makin banyak yang tak hafal.
Bukankah rumusan Pancasila diambil dari intisari ayat-ayat Quran? Naif juga, beberapa umat Muslim masih ada yang menolaknya. Kemudian Piagam Jakarta dihapuskan.
Lupa, jika rumusan itu lahir dari panggilan jihad, pekik takbir, rentetan peluru, ledakan bom, ceceran darah, gelimang nyawa anak bangsa. Terutama para santri dan ulama.
Dan yang mengaku penyampai agama, kini, di tengah derita bangsa yang kesulitan ekonomi, terjebak pesona kemewahan. Bahkan dipamerkan.
Mau diletakan dimana wajah kita pada Ulama-ulama terdahulu? Taruh dimana nurani kita, pada pengorbanan tanpa pamrih mereka?