Persis era PKI. Kemiskinan dipelihara, polarisasi bangsa dijaga, Ulama dan umat Muslim jadi bulan-bulanan ketidakadilan. Bukankah komunis hanya bisa hidup dalam arus kemiskinan dan adu domba?
Hegemoni kaum elit dan penguasaan tanah serta bisnis, dikuasi segelintir orang. Rakyat hanya mendapat tetesan sisa. Itu pun masih dicekik-cekik pajak.
Kemudian, mahasiswa mau diuber pajak, diminta bikin NPWP. Padahal, sejak harga minyak dunia turun, BBM naik. Dalihnya, pencabutan subsidi.
Entah apa makna harfiah dan kenyataan subsidi. Entah pula kemana larinya uang rakyat. Infrastruktur yang digaungkan? Hanya sampai groundbreaking, lalu tenggelam.
Lucunya lagi, pengusaha dibuat kebingungan dengan data makro ekonomi. Data yang tak sesuai kenyataan lapangan. Ada-ada saja cara mengalihkan kejahatan finansial masa lalu.
Lesunya ekonomi diperparah sajian berita yang kerap memantik emosi rakyat. Ketidakadilan terhadap Islam, rakyat kecil, seolah menjadi bumbu memancing kemurkaan masyarakat.
Untung semua sabar. Tak terpengaruh provokasi murahan yang bisa mengarah kerusuhan. Belum selesai dicekik dan diprovokasi, muncul lagi sandiwara pancasilais sejati.
Indonesia makin dijajah dari dalam negeri sendiri. Kemerdekaan seolah hanya di atas kertas. Harga-harga melangit, lalu ada yang mengambil keuntungan dengan kran impor.