Sebentar lagi perhelatan pemilu akan berlangsung yang diadakan secara serentak seluruh Indonesia. Tujuannya adalah memilih wakil rakyat yang duduk di daerah (kabupaten/ kota dan provinsi), serta tingkat pusat di senayan Jakarta. Pesta itu sudah menjadi agenda rutin lima tahunan untuk mengganti anggota legislatif yang masa kerjanya akan berakhir.
Pemilu kali ini lebih banyak competitor yang terlibat, mereka mengadu peruntungan dikursi panas kekuasaan. Diantara jumlah tersebut, tentu sebagian kecilnya yang terpilih menjadi wakil rakyat, sedangkan selebihnya kembali menjadi rakyat biasa.
Suksesi makin menggila
Persaingan dalam memperebutkan jumlah kursi terkadang sudah tak wajar, bertentangan dengan akal sehat dan naluri kemanusian. Walaupun setiap saat ada ikrar pemilu damai yang dideklarasikan secara bersama, tetap saja berbeda antara kata dan perbuatan. Itulah ‘tumbal’ (imbalan) yang tiap saat harus dibayar. Hampir tidak ada pemilu yang tidak menimbulkan kerusuhan, termasuk di bumi Serambi Mekah. Persoalan tersebut terus terjadi bahkan menjelang hari pencoblosan.
Hal lain dalam proses suksesi, para caleg harus bekerja keras dengan kucuran dana yang jor-joran. Sebagaimana prediksi banyak pihak bahwa pemilu kali ini bakal semakin sengit, karena ramainya jumlah caleg dan ‘harga’ kursi juga diperkirakan semakin mahal. Baik harga financial maupun jumlah suara yang harus diperoleh untuk bisa terpilih.
Namun ternyata, harga yang harus dibayar bukan sekedar kucuran dana, tetapi meminta sejumlah tumbal lain. Banyak caleg yang tidak terpilih jadi gila dan yang sudah terpilih malah gila harta. Banyak juga caleg yang bunuh diri dengan berbagai motifnya dan yang sudah terpilih malah ‘membunuh’ rakyat lewat kebijakannya. Terbukti dari berbagai produk peraturan yang justru mendhalimi rakyat.
Pemilu pada lima tahun yang lalu tidak sedikit menimbulkan duka terkait gangguan kejiwaan dengan kadar beragam. Sebagian para caleg yang tidak terpilih akhirnya menjadi pesakitan dengan berbagai ekspresi yang terjadi. Banyak yang gila karena tidak terpilih sebagai wakil rakyat dan kita berharap semoga saja tahun ini tidak banyak yang gila.
Melihat pengalaman pemilu pada 2009 lalu, sepertinya tahun 2014 ini jumlah caleg yang gila bakal mengalami peningkatan. Menurut data dari Kemenkes, pada pemilu 2009, ada 7.736 caleg yang mengalami gangguan jiwa berat alias gila. Sebanyak 49 orang caleg DPR, 496 orang caleg DPD dan 6.827 orang caleg DPRD II. Hal senada juga diperkirakan oleh Prof. Dadang Hawari “Pada 2014 ini saya pikir akan lebih banyak lagi caleg yang gila dibanding 2009.” (Media Umat, edisi 122).
Pemerintahpun sepertinya sudah mengetahui apa yang akan menimpa para caleg yang tidak terpilih pada april mendatang. Banyak daerah yang mulai siap siaga untuk menampung caleg-caleg gila tersebut. Di Aceh misalnya, Rumah sakit jiwa (RSJ) diberitakan telah menambah atau memperluas kamar penampungan, karena diperkirakan jumlah orang gila akan bertambah setelah pemilu berlangsung.
Selain mengalami ganguan jiwa, beberapa diantaranya yang tidak tahan menanggung malu karena gagal menjadi wakil rakyat, memilih jalan lain menyelesaikan persoalan dengan cara bunuh diri. Termasuk mengakhiri hidupnya karena tidak mampu lagi untuk membayar hutang yang menumpuk. Padahal bunuh diri dalam pandangan Islam sangat terlarang.
Setelah Terpilih
Biaya yang dikeluarkan untuk menjadi anggota legislatif tidaklah kecil. Modal kecil seringkali tidak bisa meningkatkan popularitas ketokohan, apalagi jika sumbangannya untuk kegiatan masyarakat kurang sudah pasti tidak dikenal. Cara jitu adalah memperbesar jiwa sosial melalui kebijakan bagi yang sedang berkuasa, namun yang belum punya tahta harus rela merogoh kocek lebih dalam.
Dana yang telah dikeluarkan tidak gratis begitu saja, meskipun tidak diucapkan secara nyata. Pengembalian modal adalah langkah selanjutnya saat kekuasaan sudah didapatkan. Berharap dari gaji dan penghasilan tentu sangat minim adanya, karena di setiap bulan bahkan setiap hari harus pandai-pandai menjaga hati konstituen. Dana akhirnya habis tak bersisa dan terkadang tidak mencukupi untuk diberikan pada konstituen.
Langkah praktis akhirnya menggarong harta Negara dengan maksud memperkaya diri dan mempersiapkan konstituen untuk mencalonkan kembali. Praktik korupsi semakin marak yang merambah berbagai instansi pemerintah. Mulai lembaga legislatif yang memproduksi peraturan (legislasi), sampai lembaga pendidikan yang mencetak generasi.
Lembaga legislatif menduduki posisi puncak dalam hal korupsi. Riset PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi) pada semester II tahun 2012 dengan fokus utama terkait korupsi dan pencucian uang oleh anggota legislatif, menyebutkan sebanyak 69,7% anggota legislatif terindikasi tindak pidana korupsi. Detiknews.com (3/5/2013).
Legislator yang terjerat korupsi berasal dari partai koalisi setgab (Sekretariat Gabungan). Semua parpol yang tergabung di dalamnya terlibat. Inilah sebabnya Ketua DPR Marzuki Ali mengatakan korupsi semacam arisan. Semua melakukan dan semua di seret ke pengadilan. Tingginya tingkat korupsi yang dilakukan elit parpol dan pemerintahan, menyebabkan rapuhnya pemerintahan akibat digerogoti korupsi.
Rakyat selain menjadi korban saat proses pemilu dimulai, juga setelah pemilu itu usai. Saat proses pemilu rakyat menjadi korban keganasan orang-orang yang sangat rakus dengan jabatan. Sikut kesana kemari, menjilat kemana-mana demi mendapatkan kekuasaan yang menurut sebagian orang menggiurkan.
Menggiurkan dari segi pendapatan gaji yang diperoleh dan kebijakannya setiap saat bisa menghasilkan jumlah uang yang besar. Anggota legislatif setelah terplih memiliki hak legislasi terhadap berbagai peraturan yang dibuat eksekutif. Perancangan undang-undang yang terjadi selama ini lebih banyak merugikan rakyat dan menguntungkan para pajabat. Pejabat memperoleh keuntungan karena kerjasama yang saling menguntungkan dengan pengusaha hitam.
Politik Mulia
Sebenarnya tujuan politik itu mulia. Dalam Islam aktivitas politik adalah kegiatan mengatur seluruh kepentingan rakyat. Kebutuhan rakyat terpenuhi dengan baik, tanpa ada yang dirugikan secara adil dan merata. Kesejahteraan rakyat merupakan yang utama, mengalahkan keseahteraan penguasa. Begitu seharusnya.
Teladan kita adalah khulafaur Rasyidin yang diberi kemulian di dunia dan juga di akhirat sebagai manusia istimewa. Simaklah pernyataan Khalifah Umar bin Khatab yang rela kelaparan asal rakyatnya kenyang. “Jika rakyatku lapar maka akulah yang lebih dahulu merasakan kelaparan, tetapi bila rakyatku kenyang maka akulah yang terakhir merasakannya”. Sungguh pribadi yang luar biasa yang tidak kita temukan di alam demokrasi saat ini.
Demokrasi telah mengajarkan persaingan yang tajam diantara kelompok masyarakat. persaingan itu begitu keras hingga harta dan nyawa saudaranya tiada berharga. Haruskah atas nama kekuasaan yang tidak pernah mengantarkan pada terujudnya aturan Islam itu, anak-anak menjadi yatim dan para ibu menjadi janda? Harta benda mereka dirusak dengan semana-mena, padahal mereka saudara seiman. Sungguh peristiwa yang memilukan.
Begitulah, demokrasi tidak pernah memberikan kebahagian bagi pengusungnya. Bila kebahagian diukur dari melimpahnya uang dan sederet jabatan mungkin sudah tepat. Memiliki segala kemewahan dan sejuta sanjungan. Tetapi bila kebahagiaan yang dimaksud adalah terujudnya ketentraman, kedamaian dan tegaknya aturan Islam, tentu tidak. Demokrasi hanya berhasil mengganti menteri dan angota DPR atau mungkin menjadi presiden. Sedangkan perubahan yang signifikan untuk mengganti sistem mahal kapitalis, menjadi sistem Islam yang beradab tidak pernah terjadi. Bila demikian adanya, lantas apa yang dicari?.Wallahu’alam.
PNS Pemkab. Aceh Barat daya
Email: [email protected]