Eramuslim.com – PRIHATIN menyelinap di lubuk sanubari saya pada hari Selasa 13 Juni 2017 menjelang tengah malam hari mendadak sesama warga Indonesia yang kurang beruntung terpaksa bermukim di kolong tol Kalijodo digusur oleh laskar Satpol PP yang ditugaskan oleh Pemerintah DKI Jakarta melakukan penggusuran terhadap sesama rakyat Indonesia.
Saya makin prihatin akibat ternyata yang ikut tergusur termasuk para ibu dan balita kemudian terlantar di pinggir jalan tanpa bisa melakukan sahur di bulan suci Ramadhan sebab tidak memiliki seteguk air minum dan sesuap nasi pun.
Saya makin prihatin sebab demi membenarkan penggusuran ternyata dilakukan serangan hujatan terhadap rakyat yang akan digusur sebagai warga liar, perampas tanah negara, pelacur, pejudi, pengguna dan pengedar narkoba dan lain-lain sehingga oleh publik dianggap sangat layak untuk digusur secara tidak manusiawi tanpa ganti rugi sepeser pun.
Pada pertemuan pribadi di Istana Merdeka, Kamis 8 Juni 2017, Presiden Jokowi secara pribadi langsung kepada saya menegaskan bahwa dirinya TIDAK pernah membenarkan penggusuran rakyat yang dilakukan tanpa ganti rugi.
Presiden Jokowi sendiri pernah merasakan sakitnya derita digusur pada masa kanak-kanak di kali Pepe, Solo dan juga sebenarnya tersedia dana cukup besar pada APBD DKI Jakarta yang memungkinkan pemberian ganti rugi bagi para warga tergusur.
Saya pribadi pernah memberikan ganti rugi sesuai yang dikehendaki sesama warga Indonesia yang bermukim di atas tanah hak milik almarhumah ibunda yang diwariskan kepada saya.
Jika saya pribadi saja mampu maka pasti pemerintah DKI Jakarta lebih mampu – kalau mau – memberi ganti rugi bagi rakyat tergusur. Tetapi jika tidak mau ya pasti tidak mampu!
Saya prihatin terhadap penggunaan istilah warga liar sebab setahu saya istilah “liar” hanya digunakan bagi binatang maka jelas bukan bagi sesama manusia dan sesama rakyat Indonesia.
Saya makin prihatin ketika teringat bahwa Republik Indonesia adalah negara hukum dimana seharusnya mereka yang dituduh pelacur, pejudi, pengguna dan pengedar narkoba bukan digusur tetapi diproses sesuai hukum yang berlaku terhadap para pelacur, pejudi, pengguna dan pengedar narkoba.
Prihatin saya makin menjadi-jadi pada saat menulis naskah ini menerima berita bahwa para warga yang masih bertahan di sekitar puing-puing tol Kalijodo kembali digusur.
Rasa prihatin akumulatif menumpuk di lubuk sanubari saya akibat rakyat sudah (berulang kali) digusur masih dihujat sehingga tidak ada pihak sudi membela rakyat digusur akibat terlanjur meyakini bahwa mereka adalah kaum kriminal dan warga liar yang memang hukumnya wajib untuk digusur.
Rasa prihatin berubah menjadi putus asa akibat saya pribadi tidak memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk mencegah penggusuran yang sudah terselenggara secara sistematis, terstruktur, dan masif.
Saya tidak berdaya apa pun kecuali menulis naskah yang dimuat atas budi baik Kantor Berita Politik RMOL ini dengan kesadaran bahwa tulisan saya sekedar seperti gonggongan anjing di gurun pasir di mana khafilah penggusuran maju tak gentar melakukan penggusuran atau penertiban demi pembangunan infrastruktur atau normalisasi sungai atau menanggulangi kemacetan jalan atau mencegah banjir atau entah apa pun sebutan alasannya.
Akibat akhir-akhir ini Pancasila kerap disebut-sebut maka kini kalbu saya dihantui pertanyaan, “apakah tragedi yang menimpa rakyat di kolong tol Kalijodo sesuai Pancasila?”.
Oleh: Jaya Suprana, Penulis adalah pendiri Sanggar Pembelajar Kemanusiaan (kl/rmol)