Titik Temu Demokrasi dan Islam, Mungkinkah?

islam demokrasiSering kita temukan beberapa tokoh politisi muslim, baik yang berlatar belakang parpol berbasis massa Islam maupun bukan, selalu mengulang-ngulang retorika bahwa Islam berkorelasi dengan demokrasi; demokrasi sesuai dengan Islam; Islam memperbolehkan demokrasi; demokrasi tidak bertentangan dengan Islam; bahkan ada politisi yang nekat menciptakan genre baru yaitu demokrasi Islam atau Islam demokrasi yang konon sebagai lawan demokrasi liberal, dan tentunya berbagai retorika lainnya sebagai rayuan agar umat Islam tidak meninggalkan demokrasi.

Pertanyaannya, betulkah retorika-retorika yang disampaikan tersebut? Apakah benar Islam berkorelasi dengan demokrasi? Hal ini tentunya mesti dijawab, agar umat bijak dalam bersikap dan tidak terombang-ambing berbagai wacana yang ada dalam hiruk pikuk pesta demokrasi kini.

 

Menilai Sebuah Istilah

Sebelum menjawab pertanyaan diatas, sebagai seorang muslim kita dituntut objektif dalam menilai suatu konsep, ide atau gagasan. Artinya, jika sebuah istilah (berasal dari luar Islam) sudah terpengaruh dan lahir dari sebuah pandangan hidup tertentu, maka makna istilah tersebut mesti didefinisikan sesuai dengan deskripsi umat atau penggagas istilah tersebut, dan sifat gagasan atau ide dari istilah tersebut menjadi tidak universal dan tidak bisa digunakan oleh umat yang lain. Sedangkan jika sebuah istilah (berasal dari luar Islam) tidak terpengaruh oleh pandangan hidup tertentu, maka istilah tersebut menjadi universal, sehingga bersifat netral dan bisa digunakan oleh umat lainnya.

Contohnya, kata Negara atau State yang dalam bahasa Arab diterjemahkan menjadi Daulah. Kata tersebut hanya menggambarkan kondisi atau fakta sebuah wilayah yang memiliki: pemimpin, aturan, aparat penegak hukum/militer, masyarakat, dan teritorial tertentu. Maka makna kata Negara atau State/Daulah masih netral universal. Sedangkan beda halnya dengan istilah Negara Demokrasi atau Negara Islam, keduanya tidak netral dan universal, masing-masing sudah terpengaruh dan dibangun berdasarkan pandangan hidup tertentu. Sehingga secara prinsip keduanya memiliki perbedaan.

Beberapa Aspek Perbedaan

Selain alasan diatas, Islam dan demokrasi sejatinya memang tidak memiliki korelasi, dan juga tidak ada titik temu, hal tersebut berdasarkan beberapa hal sebagai berikut:

  1. Dari sisi historis, demokrasi muncul secara mapan semenjak abad ke-18 M, meskipun secara primitif nilai-nilainya sudah ada di Yunani semenjak 500 SM. Sedangkan Islam turun ke dunia bukan di Yunani maupun Eropa, ia muncul di jazirah Arab pada abad ke-7 M; Demokrasi digagas dan diramu oleh Montesque, JJ Rousseau, dan John Locke. Sedangkan Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, beliau yang membawa risalah Islam ini.
  2. Asas yang melahirkan demokrasi adalah sekularisme (pemisahan agama dari kehidupan), yang dilatarbelakangi konflik antara kalangan pro gereja dan para filosof/cendekiawan, akhirnya munculah prinsip jalan tengah, agama diakui namun dikebiri. Sedangkan Islam asasnya adalah akidah Islam; Islam muncul tidak dilatarbelakangi kepentingan apapun, namun muncul berdasarkan wahyu dari sang Khaliq yang maha mengetahui solusi terbaik problem manusia, kini dan yang akan datang.
  3. Dalam demokrasi, negara adakalanya berbentuk kesatuan dengan otonomi daerah atau berbentuk federal. Dalam Islam negara berbentuk kesatuan tanpa otonomi daerah, dimana sistem politiknya bersifat sentralisasi, adapun sistem administrasi berbentuk desentralisasi.
  4. Pemerintahan demokrasi berbentuk republik, sedangkan Islam berbentuk Khilafah atau Imamah, hal ini sesuai penjelasan para fukaha.
  5. Bentuk kepemimpinan dalam demokrasi bersifat kolektif atau sharing of power, yang terbagi menjadi eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam Islam kepemimpinan bersifat tunggal di tangan Khalifah, dan tidak dibagi secara kolektif.
  6. Dalam demokrasi, kepala negara adakalanya disebut presiden, perdana menteri, atau bahkan raja (jika berbentuk demokrasi monarki). Namun dalam Islam, seorang kepada negara disebut dengan istilah yang sama sekali berbeda dari sistem politik manapun yang ada di dunia, kepala negara dalam Islam disebut Khalifah, Imam al-A’zham, atau Amirul Mukminin.
  7. Kepala negara dalam demokrasi memiliki syarat yang berbeda-beda antar satu negara dengan negara lainnya, hal tersebut disesuaikan rumusan hukum yang disepakati lembaga legislatif. Sedangkan dalam Islam, ada dua syarat menjadi kepala negara: pertama, syarat in’iqad (legal) seperti, muslim, berakal, baligh, laki-laki, merdeka, adil, dan mampu; kedua, syarat afdhaliyyah (keutamaan) seperti, Quraisy, ahlul ijtihad, ahlus siyasah perang, pemberani dll.
  8. Ketentuan panji negara dalam demokrasi diserahkan masing-masing bangsa dan negara. Dalam Islam, sebagaimana ditemukan dalam hadis dan sirah, panji negara dalam Islam memiliki nama, warna dan desain spesifik, yakni: al-Liwa’ (bendera berlatar putih, tulisan syahadat berwarna hitam) dan ar-Rayah (panji berlatar hitam dengan tulisan syahadat berwarna putih).
  9. Wilayah atau teritorial dalam negara demokrasi selalu tetap dan final, hal tersebut biasanya berdasarkan pengakuan PBB, bahkan bisa saja terjadi pemisahan wilayah sehingga luas wilayah negara semakin kecil jika referendum menghendaki demikian. Sedangkan Islam memandang dunia ini milik Allah dan semua manusia berhak mendapat dakwah Islam, sehingga konsekuensinya wilayah negara Islam tidak bersifat tetap, namun selalu bertambah dan terus meluas, hal ini karena setiap negeri yang penduduknya memeluk Islam, secara otomatis akan bergabung dengan Khilafah Islam.
  10. Ikatan yang mempersatukan warga negara dalam demokrasi adalah nasionalisme, ikatan ini agar tetap eksis memerlukan common enemy (musuh bersama), namun ketika musuh bersama hilang maka ikatan retak dan goyah, jadi ikatan nasionalisme bersifat temporer. Adapun dalam Islam, ikatan yang mempersatukan warga negara adalah ukhuwah Islamiyah yang lahir dari akidah Islam, ikatan ini bersifat ideologis, kuat dan tetap, baik terdapat musuh bersama maupun dalam kondisi damai.
  11. Dalam demokrasi, kedaulatan (otoritas membuat hukum) dan kekuasaan (otoritas mengangkat kepala negara) berada di tangan rakyat. Dalam Islam, kedaulatan (otoritas membuat hukum) di tangan syara’, sedang kekuasaan (otoritas mengangkat kepala negara) di tangan umat melalui baiat semata.
  12. Dalam demokrasi, standar kebenaran ditentukan suara terbanyak manusia, tanpa memperhatikan sumber suara tersebut. Dalam Islam standar kebenaran hanya diukur berdasarkan hukum syara’. Artinya dalam demokrasi sumber hukum adalah akal manusia, sementara Islam menyatakan sumber hukum adalah wahyu semata.
  13. Dalam demokrasi, warga negaranya memiliki kebebasan beragama (berpindah-pindah agama), bebas berpendapat meski menghina Islam, bebas bertingkah laku asal tidak menggangu selainnya, dan bebas untuk memiliki (mengeksploitasi) apapun juga selama memiliki modal. Dalam Islam warga negaranya tidak memiliki kebebasan seperti dalam demokrasi, namun seluruh warga negara wajib terikat syariah Islam, mereka tidak boleh bertindak, berpendapat, kecuali setelah mengetahui hukum syara’nya. Adapun bagi warga negara non muslim, mereka dibiarkan menjalankan hukum sesuai agama masing-masing dalam bidang akidah, nikah dan ibadahnya, termasuk makanan, minuman dan pakaian, diperlakukan sesuai dengan agama mereka, sebatas apa yang diperbolehkan hukum-hukum syara’. Namun jika menyangkut hukum muamalah dan uqubat (hukum-hukum publik) mereka terikat sebagaimana warga negara muslim.
  14. Wakil rakyat dalam demokrasi (MPR/DPR) berfungsi melegislasi hukum, menetapkan APBN, memberi pendapat, dan menerima aspirasi masyarakat. Sedangkan wakil rakyat dalam Islam (majelis umat) berfungsi untuk mengoreksi kebijakan penguasa jika tidak sesuai syariah Islam, mengajukan pendapat, dan membatasi jumlah calon Khalifah.
  15. Proses penetapan UU dalam demokrasi melalui mekanisme sidang DPR/MPR, sedangkan dalam Islam penetapan UU melalui tabanni Khalifah, sesuai dengan ijtihad yang shahih.
  16. Dalam demokrasi, hukum berfungsi sekedar membuat jera pelaku, meski dalam pelaksanaan tidak berjalan optimal, karena tidak dibarengi ketakwaan aparat, hakim, atau jaksa, masih tersandung banyak skandal, seperti suap dan gratifikasi. Dalam Islam, hukum itu berfungsi sebagai penimbul efek jera, sekaligus sebagai kaffarah atau penebus dosa, sehingga bagi seorang muslim ketika dia dihukum hakikatnya membersihkan dosa, sehingga di akhirat dosanya diampuni.
  17. Bentuk peradilan dalam demokrasi adalah bertingkat, ada peradilan banding dan kasasi, sedang dalam Islam tidak bertingkat, ketika sudah divonis maka keputusan mengikat dan dijalankan seketika itu juga, tanpa banding dan kasasi, sehingga sangat efektif dan efisien. Ditambah dengan sistem pembuktian yang ketat. Dalam demokrasi, perubahan keputusan hukum bisa disiasati dengan pengajuan banding, pemberian grasi dll. Sedangkan dalam Islam, vonis bisa berubah atau bahkan dibatalkan jika hanya terbukti menyalahi syariah atau menyalahi fakta pembuktian.
  18. Peradilan dalam demokrasi dklasifikasikan menjadi: peradilan umum, militer, peradilan agama, pajak, dan tata usaha negara. Sedangkan dalam Islam, peradilan dibagi tiga: peradilan umum (al-khushumat), peradilan hisbah (al-muhtasib), dan peradilan mazhalim. Tidak ada dikotomi peradilan sipil dan agama, karena semua berdasarkan syariah.
  19. Dalam demokrasi terdapat privilege (hak istimewa kebal hukum) terhadap person-person tertentu: seperti presiden dan wakilnya. Dalam Islam tidak ada yang seperti itu, dimata hukum semua sama. Jika bersalah dan terbukti maka wajib dihukum.
  20. Demokrasi menerapkan sistem ekonomi kapitalisme, sedangkan Islam menerapkan sistem ekonomi Islam. Dalam demokrasi mata uang diserahkan kepada negara masing-masing, dengan basis uang kertas, sedangkan dalam Islam mata uang adalah Dinar dan Dirham yang berbasis emas dan perak, sesuai hukum syara’. Yang tak kalah penting, demokrasi memperbolehkan riba sebagai basis transaksinya, sedangkan Islam mengharamkan riba, dan mendorong ekonomi riil.
  21. Dalam sistem ekonomi kapitalisme demokrasi, privatisasi Sumber Daya Alam (SDA) dibolehkan, sedangkan dalam Islam diharamkan; SDA adalah kepemilikan umum yang mesti dikelola negara yang hasilnya dikembalikan kepada rakyat.
  22. Dalam politik luar negeri, demokrasi sejati menerapkan kebijakan kolonialisme & imperialisme; Islam menerapkan kebijakan dakwah dan jihad (jika dakwah dihalangi oleh kekuatan bersenjata negeri lain); Asas politik luar negeri demokrasi adalah manfaat semata. Namun dalam Islam asas politik luar negeri adalah kemashlahatan dalam negeri Khilafah dan kepentingan dakwah. Serta daulah Islam diharamkan membina hubungan diplomatik dengan kafir harbi muhariban fi’lan, karena mereka memusuhi Islam.

 

Berdasarkan analisis terhadap beberapa hal diatas, maka bisa tarik kesimpulan bahwa demokrasi tidak memiliki korelasi dengan Islam, masing-masing tidak bisa dipertemukan, karena banyaknya prinsip yang sangat jauh berbeda, karena itu wacana Islamisasi demokrasi yang kini digagas sebagian kaum muslim, nampaknya akan menemukan jalan buntu.

Islam sejatinya memiliki paradigma tersendiri dalam membangun peradabannya yang mulia, jadi tidak perlu meminjam paradigma kehidupan peradaban lain. Islam pun sudah memiliki konsep solusi kehidupan yang paripurna. Untuk menyelesaikan berbagai problem yang dihadapi manusia, Islam memiliki metode spesifik yakni ijtihad berdasarkan metode yang shahih, inilah yang diajarkan Rasulullah saw kepada kita semua.

Terakhir, penulis teringat sepenggal kisah tatkala Umar bin Khattab ra dilarang Nabi saw, agar tidak mengambil paradigma kehidupan selain Islam. Dalam sebuah riwayat, Rasul saw sempat geram kepada Umar hanya lantaran membawa secarik lembaran Taurat (sebagai representasi peradaban non Islam kala itu), lalu memerintahkan agar hanya mengambil Islam saja sebagai paradigma kehidupan (Al-Quran) dan membuang paradigma kehidupan selain Islam. Beliau saw bersabda:

أَلَمْ آتِ بِهَا بَيْضَاءُ نَقِيَّةً وَلَوْ أَدْرَكَنِي أَخِي مُوْسَى لَمَا وَسِعَهُ إِلاَّ اتِّبَاعِي

Tidakkah aku datang dengan membawa kertas putih bersih (Al-Quran), seandainya saudaraku Musa melihatku, tentu Ia tidak akan berbuat apa-apa selain mengikutiku. (An-Nabhani, Kitab Mafahim; Hadis semakna diriwayatkan pula Imam Ahmad, Ibnu Syaibah dan al-Bazzaar).

 

Maka, jika Taurat Nabi Musa as saja dilarang diambil, apalagi demokrasi? Wallahu a’lam.

 

Oleh: Yan S. Prasetiadi, M.Ag (Dosen Studi Islam, STAI Darul Ulum Purwakarta)

 

Referensi:

  1. M. Husain Abdullah. 1996. Mafâhîm Islâmiyyah. Juz. II, Beirut: Dar al-Bayariq.
  2. Dr. Samih Athif Az-Zain. 1989. Nizhâm al-Islâm: al-Hukm, al-Iqtishâd, al-Ijtimâ’. Beirut: Dar al-Kitab Lubnan, cet. I.
  3. Dr. Samih Athif Az-Zain. 2009. Al-Mu’âmalât, al-Bayyinât, al-‘Uqubât. Beirut.
  4. Prof. Robert A Dahl. 2011. Democracy. Chicago: Encyclopædia Britannica.
  5. Syaikh Abdul Qadim Zallum. 2002. Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm. Min Mansyurat Hizb at-Tahrir, cet. VI.