Eramuslim.com – Silahkan segera merevisi UUD 1945, terutama Pasal 33 ayat 3. Nggak ada gunanya lagi kalimat: “Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Toh, bumi, air dan kekayaan alam negeri ini cuma jadi rebutan kelompok elit saja.
Lihat saja, proyek reklamasi, siapa yang menikmati? Pengembang raksasa! Mereka menggerakkan uang trilyunan rupiah, menggarap proyek bernilai puluhan hingga ratusan trilyun rupiah, dan pemerintah cuma dikasih rusun, dikasih taman, dikasih CSR yang hanya upil, mereka sudah tertawa bahagia.
Rencana pemerintah melanjutkan reklamasi laut Jakarta jelas sekali tidak berpihak pada keadilan sosial. Proyek ini hanya menguntungkan orang2 super kaya, mereka bikin pulau sendiri, catat baik2, satu rumah di sana, yang paling kecil sekalipun, harganya tidak akan kurang dari 3-4 milyar. Berapa gaji kalian sekarang? 10 juta/bulan? Kalian butuh 300 bulan menabung, alias 25 tahun! Itupun persis di tahun ke-25, harga rumahnya sudah jadi 30-40 milyar, uang kalian tidak lagi berharga, harga tanah naik lebih cepat dibanding bunga bank. Kalau daun pintunya sih bisa lah beli.
Mereka selalu bilang soal Jakarta tenggelam, berisik soal tanggul penahan air laut. Kenyataannya adalah, mereka sebenarnya melindungi kelompok tertentu, terutama perumahan2 super elit, super mewah yang berada di lokasi pantai utara Jakarta. Mereka sedang melindungi kepentingan tertentu saja.
Menteri terkait nampaknya PD sekali proyek reklamasi ini bisa dilanjutkan, dia sudah bicara di media2, yakin sekali. Lagaknya itu luar biasa. Seolah tidak ada lagi masalah dengan reklamasi. Seolah sudah bersih, clear, padahal tidak ada kemajuan berarti dari penjelasan soal reklamasi ini dari dampak lingkungannya, bahkan itu pasir untuk menimbun dari mana, kalian gelagapan jawabnya. Silahkan, Tuan, Nyonya, silahkan dilanjutkan.
Kalian mau merevisi UUD 1945 juga silahkan. Tapi ketahuilah, rakyat Indonesia itu tidak bodoh2 amat, negeri ini bukan Singapore yang semua orang bisa disuruh diam jika keberatan dengan pemerintah, di sini ada 250 juta orang, dan mereka bisa bicara apa saja. Di sini, 250 juta orang, sangat cair dan fleksibel.
Akan tiba masanya, saat generasi baru, yang benar2 paham tentang “keadilan sosial” akan memimpin negeri ini. Jabatan, kekuasaan itu tidak langgeng, maksimal 10 tahun, kalian akan digantikan. Saat penggantinya tiba, dan kali itu mereka adalah yang punya pemahaman terbaik tentang keadilan sosial, kita saksikan akan seperti apa proyek reklamasi ini. Terutama kalian Tuan, Nyonya yang sudah investasi, membeli milyaran properti di sana, tanggung resikonya saat arah angin berubah. Dan kalian yg berkuasa sekarang, syukur2 masih diingat loh.
Dulu, di jaman orde baru, saya menyaksikan sendiri betapa muak melihat kelompok elit mengangkangi berbagai aspek bisnis, dia kuasai semua hanya karena bagian keluarga penguasa tak terkalahkan–tidak ada yang berani melawan. Tahun berganti tahun, rezim ini tumbang, hancur lebur semua bisnisnya. 30 tahun lebih, hangus tak bersisa hanya dalam hitungan hari. Apalagi kalau cuma 10 tahun berkuasa, segala sesuatu bisa dengan cepat berubah.
Tuan, Nyonya, silahkan beli itu properti di area reklamasi, berharap sajalah investasi kalian akan untung, awet dan aman. Catat baik2, penolakan reklamasi tidak akan pernah berhenti, ribuan orang akan terus bersuara, pertarungan di pengadilan akan semakin serius, kalian memang bisa memenangkan hati penguasa sekarang, juga bisa berinvestasi di calon2 penguasa berikutnya lewat dana kampanye, dll, tapi besok lusa, kita tidak pernah tahu. Saya yakin sekali, akan tiba generasi yang benar2 paham tentang “keadilan sosial”, dan mereka tidak bisa dibeli dengan uang segunung.
Silahkan hadapi generasi itu ketika masanya tiba.
Negeri ini dibangun atas prinsip: keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia!! Itu tidak bisa ditawar, Bung. Negeri ini bukan cuma punya elit politik, cukong2 licik, dan makelar2 oportunis. Nilai keadilan sosial tidak akan pernah bisa dipadamkan di hati 250 juta penduduk Indonesia.
(Tere Liye/fb Tere Liye/ppy)