Tidak bisa dipungkiri lagi saat ini memang kondisi kaum muslimin mengalami keterpurukan dalam segala aspek kehidupan. Dari sinilah banyak kaum muslimin dari berbagai kalangan berusaha untuk menegakkan Islam kembali. Mengingat latar belakang gerakan Islam yang beragam, aneka jalan yang mereka tempuh pun bermacam-macam. Ada yang mengambil metode secara revolusioner. Ada pula yang menempuh jalan parsial. Sebagian masih memegang teguh syariah. Sebagian lagi melenceng dari syariah tapi menggunakan nama syariah sebagai alat legitimasi.
Salah satu jalan yang sering ditempuh oleh gerakan-gerakan Islam dalam rangka menegakkan Islam adalah melalui jalan Demokrasi. Demokrasi dipandang oleh banyak kalangan umat Islam sebagai cara yang relevan. Mereka tidak menyadari bahwa jalan Demokrasi justru menjerumuskan mereka dalam sikap pragmatis.
Fakta menunjukkan, banyak kalangan umat Islam yang tergabung dalam gerakan dakwah dengan menempuh jalan Demokasi lambat laun mengalami pergeseran metode dakwah. Sehingga dapat mengakibatkan gerakan dakwah tersebut tergelincir dari arah perjuangan yang benar. Bukan tujuan awal yaitu tegaknya Islam kembali yang tercapai tetapi malah kenestapaan dan kesia-siaan.
Demokrasi sejatinya bukanlah jalan hakiki untuk menegakkan Islam. Sudah banyak fakta sejarah yang menunjukkan hal itu. Partai FIS di Aljazair memenangkan Pemilu pada tahun 1991 dengan mendapatkan 81% kursi di parlemen. Masyarakat menyambut kemenangan dan berharap sistem Islam ditegakkan mengganti sekulerisme selama ini. Ternyata muncullah Muhammad Boudiaf mewakili militer untuk mendirikan Dewan Tinggi Negara dan tak lama setelah itu partai FIS diberangus. Boudiaf pun mengambil alih kepemimpinan.
Kisah serupa terulang kembali di Palestina pada Pemilu tahun 2006. HAMAS behasil memenangkan Pemilu dengan memperoleh 74 dari 132 kursi legislatif. Media Barat seperti CNN menyebut kemenangan ini sebagai political earthquake. Ternyata barat bersama antek-anteknya mengintervensi Pemilu Palestina dengan menganulir kemenangan HAMAS.
Tidak cukup sampai di situ, sejarah kembali berulang. Setahun yang lalu Mesir mengalami peristiwa serupa. Partai Kebebasan dan Keadilan meraup 235 kursi dari 498 kursi di Majelis Rakyat mesir. Kalangan Militer melalui restu barat kembali menganulir kemenangan Partai Islamis. Jendral Abdul Fatah Al-Sisi memimpin kudeta militer pada 3 Juli 2013 dan mengumumkan pelengseran Presiden Mursi. Ikhwanul Muslimin pun ditetapkan sebagai organisasi teroris yang terlarang. Semua peristiwa itu menunjukkan tak ada harapan dalam Demokrasi.
Ironisnya, kaum muslimin tetap memilih jalan sesat Demokrasi tersebut. Pesona kursi dan jabatan yang menggiurkan sudah menutup hati nurani penikmat Demokrasi bahwa sejatinya Demokrasi telah gagal membangkitkan umat. Alih-alih kesejahteraan yang diperoleh justru kesengsaraan dan keterpurukan yang didapat. Gerakan-gerakan Islam yang pada awalnya cukup lantang menyuarakan tegaknya Islampun lambat laun mulai kendur. Mereka cenderung berkomitmen pada nilai-nilai Demokrasi Sekuler dan hanya fokus pada perbaikan ekonomi dan usaha stabilisasi negara.
Demokrasipun terbukti tak berpihak kepada umat. Sistem ini sarat dengan kepentingan segelintir manusia sebagai pembuat hokum, terutama kepentingan para kapitalis yang memiliki pengaruh besar dalam pembuatan undang-undang. Slogan kedaulatan di tangan rakyat itu hanyalah ilusi belaka. Nyatanya, para pemilik modal lah yang berdaulat, sementara umat semakin menderita.
Dengan menjadikan Rasulullah SAW sebagai teladan, maka dakwah dalam upaya untuk menegakkan Islam kembali bisa ditempuh dalam tiga tahapan. Pertama: melakukan kaderisasi. Kedua: melakukan penyadaran umat. Ketiga: penerapan sitem Islam melalui thalabun nushrah kepada pemilik kekuatan di tengah umat untuk menerapkan syariah Islam secara kaffah dalam institusi negara Khilafah.
Sumber : Majalah Al-Waie edisi Febuari 2014 “Jalan Sesat Demokrasi”