Salah satu media saya untuk menambah ilmu adalah rubrik tanya jawab Ustadz Menjawab, yang diasuh oleh ust Sigit Pranowo hafizhahullah.
Cuma kali ini saya sangat menyayangkan jawaban ustadz Sigit pada pertanyaan tentang suap menyuap. Dengan menyadari keterbatasan ilmu saya, saya berusaha memberikan tanggapan atas jawaban ustadz Sigit, dengan niat semoga menjadi nasehat buat kita semua.
Pada pertanyaan ini salah satu jawaban ustadz Sigit adalah: "jika anda adalah orang yang berhak menjadi tentara artinya nilai-nilai hasil tes anda memenuhi persyaratan untuk menjadi tentara namun anda tidak bisa mendapatkan hak anda itu kecuali jika anda membayarkan sejumlah uang suap maka dibolehkan bagi anda memberikan suap itu dan dosanya ditimpakan kepada yang menerimanya".
Ada dua catatan saya atas jawaban ini:
Pertama, jawaban ini amat berpotensi justru menyuburkan praktek suap di tengah negara kita yang sedang memerangi korupsi. Karena, boleh dibilang, di dalam tes penerimaan instansi apapun, setiap pelamar akan merasa dirinya berhak untuk lulus. Kalau sudah begini, maka fatwa ini akan membuat mereka memiliki "legitimasi syar’i" untuk melakukan praktek suap.
Jika dipersyaratkan hanya karena "nilai-nilai hasil tes" memenuhi persyaratan maka boleh menyuap, maka tetap akan ada kemungkinan jumlah peserta yang memiliki nilai tes yang memenuhi persyaratan untuk lulus, melebihi kuota penerimaan. Sehingga justru akan membuka peluang terjadinya praktek suap-menyuap.
Kedua, suap secara umum diharamkan di dalam Quran dan hadits.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوا بِهَا إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيقًا مِنْ أَمْوَالِ النَّاسِ بِالْإِثْمِ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui. (QS. Al Baqarah [2] : 188)
Menurut hemat saya, hakim di sini bukanlah semata hakim pemutus perkara di pengadilan, tapi siapapun yang karena kedudukannya bertugas untuk memutuskan sesuatu atas lebih dari satu pilihan. Maka termasuklah panitia seleksi, panitia tender, dan juga tentunya hakim pengadilan. Tugas mereka sama, yaitu memutus satu pilihan dari beberapa pilihan yang ada secara adil sesuai ketentuan yang berlaku.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
عَنْ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَلَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّاشِيَ وَالْمُرْتَشِيَ
قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ
Dari Abdullah bin Umar ia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknati penyuap dan yang disuap. Abu Isa berkata; Hadits ini hasan shahih. (HR. Tirmidzi)
Dalil-dalil di atas berlaku umum, sama sekali tidak ada pengecualian. Tidaklah sebuah dalil yang berlaku umum boleh dikecualikan kecuali ada dalil lain yang mengkhususkannya dengan tingkat keshahihan yang setara.
Adapun situasi di mana "terpaksa diperbolehkan menyuap", maka itu jatuh ke dalam kondisi darurat. Sesuai dengan kaidah ushul,
الضرورات تبيح المحظورات
Darurat membolehkan yang dilarang.
Lalu apakah situasi di mana seseorang yang merasa berhak untuk menjadi tentara atau PNS, lalu menyuap agar bisa masuk, itu termasuk di dalam keadaan darurat sehingga ia melakukan suap yang dilarang?
Inilah yang wajib diperhatikan oleh setiap orang yang berakal, bahwa pengertian keadaan darurat itu tidaklah boleh digunakan dalam setiap keadaan yang tidak mengenakkan bagi seseorang sebagai pembenarannya untuk melakukan hal yang dilarang/diharamkan oleh Syar’i.
Karena itu ulama menetapkan batasan darurat itu pada kondisi yang bisa menyebabkan seseorang terjerumus ke dalam bahaya yang menyebabkan kematian, atau cacat tetap, atau terperosok ke dalam kesulitan hidup yang dia tidak mampu menanggungnya.
Ketika berfirman tentang keharaman bangkai, darah, daging babi dan sembelihan yang tidak menyebut nama Allah, Allah subhanahu wa ta’ala menjelaskan:
فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ
Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. (QS. Al Baqarah [2] : 173)
Sehingga ulama merumuskan kaidah
الضرورة تقدر بقدر ها
Darurat itu diukur dengan kadar kedaruratannya.
Dalam keadaan darurat tidak dibenarkan adanya niat untuk mendapatkan kelapangan duniawi, atau untuk mendapatkan sesuatu yang tidak bersifat prinsipil (untuk melindungi nyawa, misalnya). Karena Quran menjelaskan bahwa kebolehan atas yang haram itu dalam keadaan:
- dia terpaksa;
- dia tidak menginginkannya;
- dia tidak melampaui batas.
Pengusaha muslim bermodal kecil, tidak ada kedaruratan atasnya untuk melakukan penipuan timbangan dengan alasan untuk memperbesar usahanya. Karena toh dia masih bisa hidup dengan hasilnya yang meskipun tidak besar.
Seorang pelamar tentara, polisi atau PNS, tidak ada kedaruratan atasnya untuk melakukan penyuapan dengan alasan dia berhak (karena nilai tesnya memenuhi). Tidak ada keterpaksaan atasnya untuk menjadi PNS, karena toh dia masih bisa hidup dengan mencari pekerjaan lain.
Adapun dalam situasi seperti mengurus KTP, yang tidak akan dikeluarkan oleh petugasnya kecuali diberi uang pelicin, maka ini tidak masuk ke dalam bab suap menyuap, tapi masuk ke dalam bab pemerasan atau perampokan. Tidak ada bedanya dengan seseorang yang berjalan dengan keluarganya, kemudian dicegat perampok, lalu perampok mengancam akan menodai kehormatan anak gadisnya kecuali dia menyerahkan seluruh harta.
Seperti itulah seharusnya kita melihat atsar sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ketika di Habasyah pernah terpaksa memberikan dua dinar untuk mendapatkan haknya. Tidak mungkin seorang sahabat yang ad’l melakukan penyuapan yang sudah dinyatakan perbuatan laknat oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.
Wallahu Ta’ala A’lam.
al faqir Dody (dodysuhendra [AT] gmail [DOT] com)