Ketika saya membaca artikel di atas (Rubrik Oase Iman edisi Jumat tanggal 24 April 09), memang sangat membuat saya sedih, tapi timbul di fikiran saya untuk memastikan informasi ini apakah benar apa tidak. Hal ini saya tanyakan ke salah seorang rekan saya yang bekerja di MIGAS.
Berikut tanggapannya:
– Mengenai gas yang terbuang bisa ada banyak penyebab :
1. Mempunyai kandungan CO dan H2S tinggi jadi jika untuk diproses malahan mendatangkan banyak kerugian karena investasi alat penyaring gas itu lumayan mahal. salah satu cara yang efisien adalah dibakar. Saya yakin si kepala pabrik tidak tahu hal itu, karena yang mengetahui komposisi gas awal biasanya General manager perusahaan yang berbasis di Jakarta.
2. Dari berita dibuat kalau kontrak adalah 10 tahun, hal ini ditentukan berdasarkan kesepakatan awal antara yang punya gas dan yang punya perusahaan, disini beda pengelolaan minyak dan gas, kalau minyak diproduksi sebesar-besarnya, kalau gas diproduksi berdasarkan kesepakatan awal. Gas akan diproduksikan jika sudah ada pembelinya, disini kemungkinan jika pada pengetesan sumur diketahui ada kapasitas 20 , maka akan dijual 5 pada perusahaan LPG, 5 pada perusahaan listrik dll. nah kalau sudah diteken 5 , maka si perusahaan LPG hanya boleh menerima 5, jika mau menaikkan kapasitas , maka dia harus menyelesaikan kontrak 10 tahun berjalan, nah sekarang kenapa diawal si LPG hanya mau 5, bisa jadi juga karena pabriknya masih dalam tahap uji coba perekayasaan. Kemudian setelah 10 tahun bisa jadi si penjual gas tidak mau memberikan lebih jadi tetap 5, karena memang harga pembelian lebih rendah dari PLN atau pabrik pupuk.
Nuansa politik tetap ada tetapi di zaman sekarang saya rasa tidak separah zaman dulu, nuansa politis biasanya tergantung dengan pemda setempat, bisa jadi Pemda setempat lebih mengutamakan pabrik Pupuk, karena dibutuhkan pertanian,
Atau bisa juga, setelah diproduksikan ternyata gas yang ditemukan malahan 30, berarti ada 10 yang belum ter Kontrakan, jadi yah terpaksa dibakar, atau ditawarkan ke kontrak yang lain, masalahnya apa kapasittas pabrik mencukupi ??, atau masalah lain, apakah nilai 30 itu bisa lama berttahan, bisa jadi hanya cukup untuk 2 tahun.
Memang banyak hal-hal yang biasanya tidak dijelaskan secara mendetail ke awam karena akan memunculkan banyak asumsi asumsi.
Contoh lain adalah di Batam, orang men-demo kenapa gas dijual lebih banyak ke Singapore, padahal batam byar pett, karena balik ke kesepakatan awal jual beli, kasarnya singapore dari awal kontrak sudah mau membeli 2 X kapasitas yang dibutuhkan, namun Batam tidak, sehingga ketika pertumbuhan kebutuhan Batam tiba-tiba naik, Batam tidak bisa meng amandemen kontrak, Batam harus membuat kontrak Baru jika ingin meningkatkan kebutuhannya.
Mudah-mudahan bermanfaat.
Eka Syukria