Pertama: Keharaman Merayakan Hari Raya kaum Kafir dan Mengucapkan Selamat “Hari Raya”
Kaum Muslim haram mengikuti Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) merayakan Hari Natal atau hari raya mereka, serta mengucapkan ucapan “Selamat Natal”, karena ini merupakan bagian dari kegiatan khas keagamaan mereka, atau syiar agama mereka yang batil. Kita pun dilarang meniru mereka dalam hari raya mereka.
Keharaman itu dinyatakan dalam al-Kitab, as-Sunnah dan Ijma’ Sahabat. Pertama, dalam al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
وَالَّذِينَ لا يَشْهَدُونَ الزُّورَ وَإِذَا مَرُّوا بِاللَّغْوِ مَرُّوا كِرَاماً [الفرقان:72]
“Dan orang-orang yang tidak menyaksikankemaksiatan, dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berguna, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya.” (Q.s. al-Furqan [25]: 72)
Mujahid, dalam menafsirkan ayat tersebut menyatakan, “az-Zûr (kemaksiatan) itu adalah hari raya kaum Musyrik. Begitu juga pendapat yang sama dikemukakan oleh ar-Rabî’ bin Anas, al-Qâdhî Abû Ya’lâ dan ad-Dhahâk.” Ibn Sirîn berkomentar, “az-Zûr adalah Sya’ânain. Sedangkan Sya’ânain adalah hari raya kaum Kristen. Mereka menyelenggarakannya pada hari Ahad sebelumnya untuk Hari Paskah. Mereka merayakannya dengan membawa pelepah kurma. Mereka mengira itu mengenang masuknya Isa al-Masih ke Baitul Maqdis.”[1]
Wajh ad-dalâlah (bentuk penunjukan dalil)-nya adalah, jika Allah memuji orang-orang yang tidak menyaksikan az-Zur (Hari Raya kaum Kafir), padahal hanya sekedar hadir dengan melihat atau mendengar, lalu bagaimana dengan tindakan lebih dari itu, yaitu merayakannya. Bukan sekedar menyaksikan.
Kedua, mengenai as-Sunnah, dalil yang menyatakan keharamannya adalah hadits Anas bin Malik ra, yang menyatakan:
قَدَمَ رَسُوْلُ الله [صلم] اَلْمَدِيْنَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُوْنَ فِيْهِمَا، فَقَالَ: مَا هَذَا اْليَوْمَانِ؟ قَالُوْا: كُنَّا نَلْعَبُ فِيْهِمَا فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ، فَقَالَ رَسُوْلُ الله [صلم]: إنَّ اللهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْراً مِنْهُمَا: يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ [رواه أبو داود، وأحمد، والنسائي على شرط مسلم]
“Rasulullah saw. tiba di Madinah, sementara mereka (penduduk Madinah) mempunyai dua hari, dimana mereka sedang bermain pada hari-hari tersebut, seraya berkata, ‘Dua hari ini hari apa?’ Mereka menjawab, ‘Kami sejak zaman Jahiliyyah bermain pada hari-hari tersebut.’ Rasulullah saw bersabda, ‘Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan hari yang lebih baik: Hari Raya Idul Adhha dan Hari Raya Idul Fitri.” (Hr. Abu Dawud, Ahmad dan an-Nasa’i dengan syarat Muslim)
Wajh ad-dalâlah (bentuk penunjukan dalil)-nya adalah, bahwa kedua hari raya Jahiliyyah tersebut tidak diakui oleh Rasulullah saw. Nabi juga tidak membiarkan mereka bermain pada kedua hari yang menjadi tradisi mereka. Sebaliknya, Nabi bersabda, “Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya dengan hari yang lebih baik.” Pernyataan Nabi yang menyatakan, “mengganti” mengharuskan kita untuk meninggalkan apa yang telah diganti. Karena tidak mungkin antara “pengganti” dan “yang diganti” bisa dikompromikan. Sedangkan sabda Nabi saw, “Lebih baik dari keduanya.” mengharuskan digantikannya perayaan Jahiliyah tersebut dengan apa yang disyariatkan oleh Allah kepada kita.
Ketiga, tindakan ‘Umar dengan syarat yang ditetapkannya kepada Ahli Dzimmah telah disepakati oleh para sahabat, dan para fuqaha’ setelahnya, bahwa Ahli Dzimmah tidak boleh medemonstrasikan hari raya mereka di wilayah Islam. Para sahabat sepakat, bahwa mendemonstrasikan hari raya mereka saja tidak boleh, lalu bagaimana jika kaum Muslim melakukannya, maka tentu tidak boleh lagi.
‘Umar pun berpesan:
إِيَّاكُمْ وَرِطَانَةَ الأَعاَجِمِ، وَأَنْ تَدْخُلُوْا عَلَى الْمُشْرِكِيْنَ يَوْمَ عِيْدِهِمْ فِيْ كَنَائِسِهِمْ فَإِنَّ السُّخْطَةَ تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمْ [رواه أبو البيهقيإسناد صحيح].
“Tinggalkanlah bahasa kaum ajam (non-Arab). Janganlah kalian memasuki (perkumpulan) kaum Musyrik dalam hari raya mereka di gereja-gereja mereka. Karena murka Allah akan diturunkan kepada mereka.” (Hr. al-Baihaqi dengan Isnad yang Shahih)
Ibn Taimiyyah berkomentar, “Umar melarang belajar bahasa mereka, dan sekedar memasuki gereja mereka pada Hari Raya mereka. Lalu, bagaimana dengan mengerjakan perbuatan mereka? Atau mengerjakan apa yang menjadi tuntutan agama mereka. Bukankah melakukan tindakan mereka jauh lebih berat lagi? Bukanlah merayakan hari raya mereka lebih berat ketimbang hanya sekedar mengikuti mereka dalam hari raya mereka? Jika murka Allah akan diturunkan kepada mereka pada hari raya mereka, akibat tindakan mereka, maka siapa saja yang terlibat bersama mereka dalam aktivitas tersebut, atau sebagian aktivitas tersebut pasti mengundang adzab tersebut.”[2]
Hal senada juga dikemukakan oleh Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah dalam kitabnya, Ahkam Ahl ad-Dzimmah, Juz I/161. Beliau menyatakan, para ulama’ sepakat tentang keharaman mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada mereka, tidak ada perselisihan pendapat.
Kedua: Mereka yang Membolehkan
Dr. Quraisy Shihab menyatakan, memberikan ucapan selamat Natal sudah diajarkandalam al-Qur’an, seperti tertuang dalam surah Maryam ayat 34.
y7Ï9ºsÓ|¤Ïãßûøó$#zNtötB4^öqs%Èd,ysø9$#Ï%©!$#ÏmÏùtbrçtIôJtÇÌÍÈ
“Itu tentang Isa putera Maryam, yang merupakan perkataan yang benar, yang mereka berbantah-bantahan tentang kebenarannya.” (Q.s. Maryam [19]: 34)
Ayat ini sama sekali tidak membahas tentang hukum kebolehan mengucapkan “Selamat Natal”. Menurut al-Qurthubi, ayat ini menjelaskan tentang siapa Nabi ‘Isa —‘alaihissalam. Dia adalah putra Maryam, tidak seperti yang dituduhkan orang Yahudi, sebagai putra Yûsuf an-Najjâr, atau seperti klaim orang Kristen, bahwa dia adalah Tuhan (anak), atau putra Tuhan.[3]
Dr. Yusuf al-Qaradhawi mengatakan, bahwa merayakan hari rayaagama adalah hak masing-masing agama,selama tidak merugikan agamalain. Termasuk hak tiap agama untuk memberikan ucapan selamat saatperayaan agama lain. Dia mengatakan, “Sebagai pemeluk Islam, agama kami tidak melarangkami untuk untuk memberikan ucapan selamat kepada non-Muslim warga negarakami atau tetangga kami dalam hari besar agama mereka. Bahkanperbuatan ini termasuk dalam kategori al-birr (perbuatan yangbaik).
Sebagaimana firman Allah SWT:
wâ/ä38yg÷Ytª!$#Ç`tãtûïÏ%©!$#öNs9öNä.qè=ÏG»s)ãÎûÈûïÏd9$#óOs9ur/ä.qã_Ìøä`ÏiBöNä.Ì»tÏbr&óOèdry9s?(#þqäÜÅ¡ø)è?uröNÍkös9Î)4¨bÎ)©!$#=ÏtätûüÏÜÅ¡ø)ßJø9$#ÇÑÈ
“Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil kepada
orang-orang yang tiada memerangimu karena agama, dan tidak mengusir
kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berlaku adil.”(Q.s. al-Mumtahanah: 8)
Kebolehan memberikan mengucapkan selamat ini terutama bila pemeluk agama lain itujuga telah memberikan ucapan selamat kepada kita dalam perayaan hari rayakita:
#sÎ)urLäêÍhãm7p¨ÅstFÎ/(#qyssùz`|¡ômr’Î/!$pk÷]ÏB÷rr&!$ydrâ3¨bÎ)©!$#tb%x.4n?tãÈe@ä.>äóÓx«$·7Å¡ymÇÑÏÈ
“Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka
balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau
balaslah penghormatan itu. Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala
sesuatu.” (Q.s. an-Nisa’: 86)
Begitu, kata Dr. Yusuf al-Qaradhawi. Padahal, Q.s. al-Mumtahanah: 8 di atas, khususnya frasa “Tabarrûhum wa tuqsithû ilaihim”(berbuat baik dan berlaku adil kepada mereka) tidak ada kaitannya dengan mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada kaum Kafir yang tidak memerangi kita. Karena bersikap baik dan adil kepada mereka dalam hal ini terkait dengan mu’amalah, bukan ibadah.Sedangkan mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada mereka bagian dari ibadah. Konteks ayat ini terkait dengan Bani Khuza’ah, dimana mereka menandatangani perjanjian damai dengan Nabi untuk tidak memerangi dan menolong siapapun untuk mengalahkan baginda saw, maka Allah perintahkan kepada baginda saw untuk berbuat baik, dan menepati janji kepada mereka hingga berakhirnya waktu perjanjian.[4] Jadi, konteks “berbuat baik” di sini sama sekali tidak ada kaitannya dengan “Selamat Hari Raya” kepada mereka, yang merupakan bagian dari “berbuat baik”.
Demikian juga dengan Q.s. an-Nisa’: 86. Ayat ini menjelaskan tentang tahiyyah (ucapan salam) yang disampaikan kepada orang Mukmin. Tahiyyah juga bisa berarti doa agar diberi kehidupan. Menurut at-Thabari, “Jika kalian didoakan orang agar diberi panjang umur, maka diperintahkan untuk mendoakannya dengan doa yang sama.”[5] Namun, menurut al-Qurthubi, tahiyyah di sini bisa berarti ucapan salam. Jadi, “Jika kalian diberi salam, maka jawablah salamnya dengan lebih baik.” Hanya, menurut al-Qurthubi, balasan lebih baik ini dikhususkan kepada orang Islam, jika mereka yang mengucapkan salam. Jika yang mengucapkan salam orang Kafir, termasuk Ahli Dzimmah, maka tidak boleh membalas salam mereka, kecuali dengan jawaban yang diajarkan oleh Nabi, “Wa ‘alaikum.” [6]
Jadi, menggunakan ayat ini untuk membolehkan kaum Muslim mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada kaum Kafir jelas tidak tepat. Bahkan, bertentangan dengan sejumlah dalil, baik al-Qur’an, as-Sunnah maupun Ijma’ Sahabat. Meski begitu, Dr. Yusuf al-Qaradhawi secara tegas mengatakan, bahwa tidak
halal bagi seorang Muslim untuk ikut dalam ritual dan perayaan khas agama
lain.
Adapun Dr. Mustafa Ahmad Zarqa’ menyatakan bahwa tidak ada dalil yang secarategas melarang seorang muslim mengucapkan selamat kepada orang Kafir.Beliau mengutip hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah saw pernah
berdiri menghormati jenazah Yahudi. Penghormatan dengan berdiri ini
tidak ada kaitannya dengan pengakuan atas kebenaran agama yang dianut
jenazah tersebut.
Menurut beliau, ucapan “Selamat Hari Raya” kepada para pemeluk Kristiani yang sedang merayakan hari besar mereka, juga tidakterkait dengan pengakuan atas kebenaran keyakinan mereka, melainkanhanya bagian dari mujamalah (basa-basi) dan muhasanah seorang Muslimkepada teman dan koleganya yang kebetulan berbeda agama.Dia juga memfatwakan, bahwa karena ucapan selamat inidibolehkan, maka pekerjaan yang terkait dengan hal itu seperti membuatkartu ucapan selamat natal pun hukumnya ikut dengan hukum ucapannatalnya.
Namun dia juga menyatakan, bahwa ucapan selamat ini harus dibedakan
dengan ikut merayakan hari besar secara langsung, seperti dengan
menghadiri perayaan natal yang digelar di berbagai tempat.Menghadiri perayatan natal dan upacara agama lain hukumnya haram dantermasuk perbuatan mungkar.
Mengenai berdiri atau duduknya Nabi ketika jenazah Yahudi lewat, sebenarnya bukan dalil khusus, tetapi ini merupakan tindakan yang dilakukan Nabi secara umum terhadap jenazah, baik Muslim maupun non-Muslim. Karena dalam riwayat al-Hasan maupun Ibn ‘Abbas dinyatakan, bahwa Nabi terdakang berdiri dan terkadang duduk, saat ada jenazah melintas di hadapan baginda saw. Ini juga tidak ada kaitannya dengan mengucapkan “Selamat Hari Raya” kepada mereka. Karena konteksnya jelas-jelas berbeda.
Tentang pembuatan kartu Natal atau pernak-pernik Natal jelas haram, karena ini menyangkut madaniyyah khâshash yang terkait dengan peradaban lain, di luar Islam, yang nota bene adalah Kufur. Karena itu, hukum membuat, menjual, memanfaatkan dan mengambil harga dan keuntungan darinya juga haram.
Mengenai pernyataan Menteri agama yang menyatakan, bahwa ini hanyalah masalah mu’amalah, juga merupakan pernyataan yang tidak cermat. Karena tidak memilah mana yang ibadah dan mu’amalah. Merayakan Natal Bersama adalah bagian dari ibadah, yang haram dilakukan oleh kaum Muslim. Bahkan bisa menjerumuskannya dalam kemurtadan. Sedangkan memberi ucapan “Selamat Hari Raya” bagian dari mu’amalah yang haram dilakukan oleh kaum Muslim kepada non-Muslim, apapun alasannya. Apakah untuk mujamalah(basa-basi), yang nota bene adalah sikap nifaq, maupun tasamuh (toleransi).
Pernyataan yang juga menggelikan adalah pernyataan MUI, yang menyatakan boleh menghadiri, asal serimonialnya bukan ritualnya. Pernyataan seperti ini juga batil, yang sama sekali tidak ada dalilnya. Sebab, siapapun yang menelaah dalil-dalil yang dikemukakan di atas, pasti paham, bahwa jangankan untuk menghadiri seremoninya, karena melihatnya saja jelas-jelas tidak boleh.
Kesimpulan
Dari uraian tersebut bisa disimpulkan:
1- Hukum mengucapkan “Selamat Natal” atau “Selamat Hari Raya” bagi orang non-Muslim dalam hari raya mereka jelas haram. Dalam hal ini, menurut Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama’.
2- Hukum mengikuti ritual maupun seremoni hari raya orang non-Muslim juga haram, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama’.
3- Membuat kartu atau pernak-pernik natal atau hari raya agama lain juga diharamkan, karena ini menyangkut madaniyyah khashahyang bertentangan dengan Islam.
4- Dalil-dalil yang menyatakan keharamannya juga jelas, baik dalam al-Qur’an, as-Sunnah maupun Ijma’ Sahabat. Sedangkan dalil-dalil yang digunakan untuk menyatakan kebolehannya sama sekali tidak ada kaitannya, baik langsung maupun tidak. Karena itu, tidak layak dijadikan hujah dalam masalah ini.
Wallahu a’lam.
Biodata Penulis
Nama : Hafidz Abdurrahman
TTL : Lamongan, 10 Juli 1971
Pendidikan
Alumnus Ponpes Darul Ulum, Widang, Tuban, Jawa Timur (1989)
Sarjana Bahasa Arab, IKIP Malang, Jawa Timur (1994)
Magister Akidah dan Pemikiran Islam, Univesity of Malaya, Malaysia (2001)
Organisasi
Anggota Ikatan Pelajar Nahdhatul Ulama’ (1986);
Anggota Himpunan Mahasiswa Muslim (1989);
Bendahara Himpunan Mahasiswa Jurusan Bahasa Arab, IKIP Malang (1990-1991);
Ketua Umum BDM al-Hikmah, IKIP Malang (1991-1992);
Ketua DPO BDM al-Hikmah, IKIP Malang (1992-1993);
Ketua Dewan Syura BDM al-Hikmah, IKIP Malang (1993-1994);
Ketua Pusat Komunikasi Pusat LDK se-Indonesia (1991-1992);
Ketua Umum DPP HTI (2004-2009);
Ketua Lajnah Tsaqafiyah DPP HTI (2009-sekarang)
Buku
1. Diskursus Islam Politik dan Spiritual, (1998);
2. Metode Praktis Belajar Bahasa Arab,(2003);
3. Metode Belajar Ulumul Qur’an Praktis,(2004);
4. Ushul Fiqih: Membangun Paradigma Berfikir Tasyri’i,(2004);
5. Koreksi atas Kesalahan Pemikiran Kalam dan Filsafat Islam,(2003);
6. Membangun Indonesia Tanpa Pajak dan Hutang: Membedah APBN 2005-2010 Versus APBN Khilafah, (2010);
7. Muqaddimah Sistem Ekonomi Islam: Kritik Atas Sistem Ekonomi Kapitalisme hingga Sosialisme Marxisme,(2010);
8. Buku Pintar Bisnis Syar’i: Rancangan Undang-Undang Perdagangan Negara Khilafah, (2011).
Di samping itu, penulis menerjemahkan belasan kitab adopsi Hizbut Tahrir, tafsir, sirah, ushul fiqh dan menulis ratusan artikel di berbagai media massa nasional.[]
[1] Lihat, Ibn Taimiyyah,Iqtidha’ as-Shirath al-Mustaqim, Juz I/537; Anis, dkk, al-Mu’jam al-Wasith, Juz I/488.
[2] Lihat, Ibn Taimiyyah, Iqtidha’ as-Shirath al-Mustaqim, Juz I/515.
[3] Lihat, al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz XI/105.
[4] Lihat, al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz XVIII/59.
[5] Lihat, at-Thabari, Tafsir at-Thabari, Juz V/119.
[6] Lihat, al-Qurthubi, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz V/297.