Di dalam Al-Qur’an Allah telah ridha kepada para Sahabat yang telah berbaiat (berjanji-setia) di bawah pohon (bai’at al-Riḍwān), yang berjumlah 1.400 orang, diantaranya ada 10 orang mendapat jaminan masuk surga (al-‘asyrah al-mubasysyarūn bi al-jannah).
Allah memuji para Sahabat yang memeluk Islam sebelum Fatḥ Makkah (“Pembebasan Kota Mekah”) dan setelahnya. Dijelaskan pula bahwa siapa saja yang memeluk Islam sebelum Fatḥ Makkah kedudukannya lebih mulia (afḍal). Seluruh mereka dijanjikan oleh Allah mendapat anugerah kebaikan.
Allah juga menjelaskan di dalam Al-Qur’an bahwa istri-istri Rasulullah Saw. adalah ibu seluruh kaum beriman (ummahāt al-mu’minīn). Di sini Allah tidak memberikan pengecualian kepada siapapun dari mereka. Juga, Allah menjelaskan bahwa ketika istri-istri Nabi Saw. disuruh memilih antara kenikmatan duniawi dan hidup bersama Rasul-Nya, mereka memilih untuk hidup bersama beliau sampai wafatnya. Sekiranya mereka memilih duniawi, niscaya di dalam Islam mereka tidak dibenarkan hidup sehidup-semati bersama Nabi. Bahkan, beliau harus menceraikan mereka seluruhnya.
Allah juga sangat memuji kaum al-Muhājirīn dan kaum al-Anṣār. Kaum al-Muhājirīn disebut oleh Allah sebagai orang-orang yang beruntung (al-mufliḥūn). Sementara kaum al-Anṣār disebut oleh Allah sebagai orang-orang yang jujur dan benar dalam beragama (al-Ṣādiqūn). Plus, Allah juga menegaskan bahwa kaum beriman setelah mereka semua adalah: orang-orang yang mendoakan mereka dan memohon ampun atas dosa-dosa mereka kepada Allah. Jadi mereka bukan orang-orang yang suka mencaci-maki setiap pagi dan petang.
Jangan Caci-maki Sahabatku!
Selain beberapa ayat Al-Qur’an di atas, sabda Nabi saw. menegaskan kewajiban mencintai dan menghormati para Sahabat. Karena mereka adalah manusia-manusia mulia dan terhormat di hadapan Allah. Rasulullah Saw. menjelaskan, “Allah telah memilih para Sahabatku atas “al-Tsaqalain” (jin dan manusia) selain para nabi dan para rasul.” (HR. al-Bazzār).
Sahl ibn Sa’d bertutur ketika persiapan Perang Khandaq. Katanya, “Kami bersama Rasulillah Saw. ketika beliau menggali parit sementara kami memindahkan tanah. Kemudian beliau melewati kami dan berdoa: ‘Ya Allah, sungguh tidak ada kehidupan sejati kecuali kehidupan dalam naungan persaudaraan, maka ampunilah kaum Anshar dan Muhajirin.” (HR. al-Bukhārī, Muslim, al-Nasa’ī, dan al-Tirmidzī).
Rasulullah Saw. bersabda, Lā tasubbū aṣḥābī, falawu anna aḥadakum anfaqa mitsla Uḥud dzahaban mā balagha mudda aḥadihim walā nuṣaifahu (Jangan kalian caci-maki Sahabat-sahabatku! Sekiranya seorang dari kalian menginfakkan hartanya berupa emas sebesar (seukuran) Gunung Uhud, dia tidak akan menyamai keutamaan seorang dari mereka, bahkan setengahnya pun tidak akan sampai) (HR. al-Bukhārī dan Muslim).
Oleh karena itu, Ahl al-Sunnah wa al-Jamā‘ah sepakat bahwa mencintai seluruh Sahabat dan menjadikannya sebagai panutan hukumnya wajib. Tidak ada yang mengingkari hal ini kecuali ahli bid’ah. Imam al-Lālikā’ī dalam Syarḥ Uṣūl I‘tiqād Ahl al-Sunnah wa al-Jamā‘ah menyebutkan satu riwayat dari Qabīṣah ibn ‘Uqbah, beliau berkata, “Mencintai seluruh Sahabat Nabi saw. adalah sunnah.”
Bahkan, ketika al-Ḥasan al-Baṣrī ditanya, “Apakah mencintai Abū Bakr dan ‘Umar hukumnya sunnah?” Beliau menjawab, “Tidak, tapi wajib!” Lebih indah lagi, Ayyūb al-Sakhtiyānī menyatakan, “Siapa saja yang mencintai Abū Bakr al-Ṣiddīq berarti telah menegakkan agama. Siapa yang mencintai ‘Umar berarti telah memperjelas jalan (agama). Siapa yang mencintai ‘Utsmān berarti telah menerangi hidupnya dengan cahaya agama. Dan siapa yang mencintai ‘Alī ibn Abī Ṭālib berarti telah berpenggang-teguh kepada tali Tawhid. Dan, siapa saja yang berkata-kata yang baik tentang Sahabat Nabi Saw. berarti telah terbebas dari kemunafikan.”
Syi’ah Mencaci-maki Sahabat
Berbeda dengan Ahl al-Sunnah wa al-Jamā‘ah adalah Syi’ah. Dalam masalah Sahabat kedua mazhab ini memiliki perbedaan yang sangat mencolok. Mereka tak segan-segan untuk menghujat fondasi-fondasi akidah seperti hujatan terhadap Sahabat Nabi. Padahal masalah penghujatan terhadap para Sahabat Nabi Saw. merupakan perbuatan yang tidak dapat dibenarkan.
Kang Jalal (sapaan akrab Jalaluddin Rakhmat), ketua Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI), menyampaikan dalam acara ‘Satu Meja’ (Kompas TV)-Episode Syi’ah bahwa ‘hinaan’ terhadap Sahabat Nabi hanyalah perbedaan persepsi.
Dalam Buku Putih Mazhab Syiah yang ditulis oleh Tim Ahlul Bait Indonesia (ABI) juga disebutkan pandangan yang keliru mengenai konsepsi Ahl al-Sunnah wa al-Jamā‘ah mengenai ‘udūl-nya para Sahabat. Menurut tim penulis buku itu,
“Pada kenyataannya, meski sebagai prinsip umum para ulama Ahlus Sunnah menyebut bahwa semua sahabat bersifat terlindungi dari kesalahan (‘udul), tak jarang dalam kenyataannya sebagian di antara mereka – berdasar hadis-hadis sahih – menyebutkan kesalahan sebagian orang yang termasuk dalam golongan sahabat.”
Mengartikan ‘udūl dengan ‘bersifat terlindung dari kesalahan’ juga salah kaprah dan tidak dapat dibenarkan. Karena sebagaimana manusia biasa para Sahabat tidaklah ma‘ṣūm (bebasa dan kesalahan dan dosa). Meskipun begitu seluruh kesalahan para Sahabat yang pernah keliru bahkan meragukan agama Rasulullah, seperti dalam kasus Perang Tabūk, telah diampuni oleh Allah. Begitu mereka sadar bahwa mereka keliru dan bertubat, taubat mereka diterima oleh Allah Swt.
Coba pula renungkan sabda Rasulullah Saw. mengenai para syuhada’ Perang Badar. Kata beliau, “Semoga Allah melihat Ahli Badar, lalu Dia berfirman: ‘Bekerjalah kalian menurut yang kalian kehendaki, karena kalian wajib masuk surga, atau kalian telah Aku ampuni’.” (HR. al-Bukhārī). Tidak hanya itu, Imam al-Tirmidzī meriwayatkan bahwa Rasulullah Saw. bersabda, “Tidak akan disentuh oleh api neraka seorang Muslim yang melihatku atau melihat orang yang pernah melihatku.” (HR. al-Tirmidzī, dari Jābir ibn Abdillāh).
Meskipun begitu, Ulama’ Ahl al-Sunnah wa al-Jamā‘ah tidak pernah menganggap para Sahabat sebagaimana manusia yang ma‘ṣūm (terhindar dari salah dan dosa). Namun mereka sepakat bahwa mereka adalah manusia pilihan, manusia terbaik, dan kesalahan dan kekeliruan mereka telah diampuni oleh Allah.
Mereka tidak seperti para “imam” di kalangan Syi’ah yang dianggap ma‘ṣūm bahkan dapat mencapai derajat yang tidak dapat dicapai oleh malaikat terdekat kepada Allah dan rasul sekalipun, seperti yang dikatakan oleh Al-Khomeini. Agar lebih meyakinkan, dapat kita lihat pernyataan Al-Khomeini di bawah ini:
وبموجب ما لدينا من الروايات والأحاديث فإن الرسول الأعظم (ص) والأئمة (ع) كانوا قبل هذا العالم أنوارا فجعلهم الله بعرشه محدقين، وجعل لهم من المنزلة والزلفى ما لايعلمه إلا الله. وقد قال جبريل – كما ورد فى روايات المعراج – : لو دنوت انملة لاحترقت. وقد ورد عنهم (ع): إن لنا مع الله حالات لا يسعها ((ملك مقرب ولا نبي مرسل)). (الإمام المجاهد السيد روح الله الخمينى، الحكومة الإسلامية (ألقاها الإمام الخمينى على طلاب علوم الدين فى النجف الأشرف تحت عنوان ((ولاية الفقيه))، 13 ذوالقعدة 1389)، ص: 52).
Jadi, para “imam” menurut Syi’ah lebih baik daripada malaikat dan rasul-rasul Allah. Ini jelas tindakan dan sikap yang berlebihan (al-ghuluww). Jika dalam pandangan Ahl al-Sunnah wa al-Jamā‘ah para Sahabat Nabi Saw. selurunya adalah ‘udūl (adil). Namun dalam pandangan Syi’ah menjadi berbeda. Gara-gara tidak memilih ‘Alī ibn Abī Ṭālib 114 ribu Sahabat sepeninggal Nabi Saw. itu harus menanggung dosa besar. (Maka tak heran jika Abū Bakr dan ‘Umar disebut sebagai al-Jibt wa al-Ṭāghūt (Patung atau Setan).
Bahkan kaum Syiah dari sekte al-Rāfiḍah menyebut Ahl al-Sunnah yang lebih mendahulukan Abū Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsmān daripada ‘Alī dalam masalah khilāfah sebagai kelompok yang oleh mereka disebut dengan ‘al-Nāṣibah’: orang yang membenci Ahlul Bait. Atau, yang mendahulukan kepemimpinan Abū Bakr dan ‘Umar, sebagaimana disebutkan oleh tokoh Syiah Al-Mamqānī dalam bukunya Tanqīḥ al-Maqāl di atas.
Kaum Syi’ah memang sangat memusuhi Sahabat, kecuali sebagian kecil saja (tidak lebih dari 13 orang). Bahkan, kebencian mereka ini meliputi Ahli Bait Rasul Saw. sendiri, seperti: al-‘Abbās (paman Rasul Saw.) dan anaknya, ‘Abd Allāh ibn ‘Abbās (berjuluk Ḥabr al-Ummah).
Hujatan terhadap Sahabat Nabi Saw. yang dilakukan siapapun, menurut ulama’ Ahl al-Sunnah wa al-Jamā‘ah, hukumnya sangat berat. Karena mereka, kata Ibn Ḥazm al-Andalusī, mutlak penghuni surga. Menurut Imam Aḥmad, siapa saja yang menghina Sahabat harus dihukum bahkan dipukul supaya jera. Karena mereka harus disucikan, dipuji, dan dihormati, kata Ibn Hajar al-Haitsamī (mazhab Syafi’i). Begitu pula menurut Syaikh al-Islām Ibn Taimiyyah (mazhab Hanbali), Ibn ‘Ābidīn (mazhab Hanafi), dan ulama Sunni lainnya. Sebagai catatan akhir, penting dikemukakan bahwa tidak akan pernah dicapai kesepahaman apalagi kehidupan yang harmonis antara kaum Sunni dan Syi’i selama masih ada caci-maki terhadap para Sahabat Rasulillah Saw.: manusia terbaik yang telah diampuni oleh Allah dan diridhai-Nya serta dibanggakan oleh Rasulullah Saw. sebagai generasi terbaik. Semoga Allah membukakan hati kita agar dapat berpikir dengan sehat dan jernih. Karena dalam masalah penghormatan maupun caci-maki terhadap Sahabat Nabi Saw. bukan sekadar caci-maki. Tapi ini bagian dari akidah yang akan dipertanggungjawabkan setelah mati. Wallāhu a‘lamu bi al-Ṣawāb.
Qosim Nursheha Dzulhadi <[email protected]>